Mohon tunggu...
Billy Steven Kaitjily
Billy Steven Kaitjily Mohon Tunggu... Freelancer - Nomine Best in Opinion Kompasiana Awards 2024

Berbagi opini seputar Sustainable Development Goals (SDGs) terutama yang terpantau di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bagaimana Jika Ulat Sagu Jadi Menu Program Makanan Bergizi Gratis?

29 Januari 2025   10:30 Diperbarui: 29 Januari 2025   10:30 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar video viral seoang anak SD bawa bekal ke sekolah dengan lauk ulat sagu goreng | via Kompas.com

Gagasan untuk memasukkan serangga sebagai salah satu menu dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang disampaikan oleh Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, telah memicu perdebatan di kalangan masyarakat belakangan ini.

Salah satu kritik datang dari dr. Tifauzia Tyassumah, seorang dokter sekaligus pegiat media sosial, yang dikenal sebagai Dokter Tifa, yang mempertanyakan apakah kondisi Indonesia telah sedemikian buruk, sehingga anak-anak sekolah perlu mengonsumsi serangga sebagai bagian dari menu mereka.

Lebih lanjut, Dokter Tifa menegaskan bahwa, diperlukan penelitian mendalam, serta analisis dari berbagai perspektif sebelum menetapkan serangga sebagai menu dalam Program MBG.

Hemat saya, wacana ini, seharusnya, tidak langsung ditanggapi secara negatif. Sebaliknya, usulan tersebut perlu dilihat dari sudut pandang yang positif, mengingat Indonesia memiliki kekayaan kuliner lokal dengan kandungan protein tinggi, yang berpotensi dijadikan menu dalam Program MBG.

Saya sepakat dengan pandangan Dadan bahwa, sumber protein di setiap daerah tidak perlu uniform. Dengan demikian, menu MBG dapat disesuaikan berdasarkan sumber daya lokal yang tersedia di masing-masing wilayah.

Di Maluku, misalnya, salah satu sumber protein lokal yang menarik untuk dibahas adalah ulat sagu. Dalam tulisan ini, kita akan mengeksplorasi potensi ulat sagu sebagai menu MBG di Maluku dari tiga aspek utama, yakni: nilai gizi, ketersediaan dan keberlanjutan, serta penerimaan sosial dan budaya.

Nilai Gizi Ulat Sagu

Ulat sagu merupakan salah satu sumber protein yang tinggi dan telah lama dikonsumsi oleh masyarakat Maluku dan Papua.

Berdasarkan penelitian, ulat sagu mengandung protein berkisar antara 9--11 gram per 100 gram, serta kaya akan lemak sehat, vitamin, dan mineral seperti zat besi, kalsium, dan magnesium.

Kandungan nutrisinya menjadikan ulat sagu sebagai makanan yang mampu memenuhi kebutuhan energi dan protein harian, terutama bagi anak-anak yang berada dalam masa pertumbuhan.

Selain protein, ulat sagu, juga mengandung asam lemak esensial yang penting untuk perkembangan otak dan sistem saraf.

Hal ini menjadikan ulat sagu sebagai pilihan yang sangat baik untuk dimasukkan dalam program gizi yang bertujuan meningkatkan kecerdasan dan kesehatan anak-anak.

Dibandingkan dengan sumber protein lainnya seperti ayam atau ikan, ulat sagu juga lebih mudah dicerna, sehingga cocok untuk anak-anak yang mungkin memiliki masalah pencernaan.

Meski demikian, penting untuk memastikan bahwa, ulat sagu diolah dengan cara yang higienis dan aman untuk dikonsumsi.

Proses pengolahan yang tepat dapat membantu menjaga kandungan nutrisinya sekaligus menghindari risiko kontaminasi.

Ketersediaan dan Keberlanjutan

Salah satu keunggulan dari ulat sagu adalah ketersediaannya yang melimpah di Maluku, terutama di wilayah yang memiliki banyak pohon sagu seperti di Pulau Seram atau Pulau Saparua, Maluku Tengah.

Pohon sagu, yang sering disebut sebagai "pohon kehidupan," tidak hanya menyediakan bahan makanan utama berupa tepung sagu, tapi juga habitat alami bagi ulat sagu.

Dengan memanfaatkan ulat sagu, masyarakat dapat memaksimalkan potensi pohon sagu sebagai sumber daya lokal.

Dari perspektif keberlanjutan, ulat sagu memiliki dampak lingkungan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan peternakan konvensional seperti sapi atau ayam.

Produksi ulat sagu tidak memerlukan lahan yang luas, pakan yang mahal, atau air dalam jumlah besar.

Selain itu, siklus hidup ulat sagu yang cepat memungkinkan produksinya dilakukan dalam waktu yang relatif singkat, menjadikannya sumber protein yang efisien dan ramah lingkungan.

Namun, perlu dilakukan pengelolaan yang baik, agar eksploitasi ulat sagu tidak merusak ekosistem pohon sagu.

Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah dengan mengembangkan budidaya ulat sagu secara terkontrol.

Budidaya ini tidak hanya menjamin ketersediaan ulat sagu dalam jangka panjang, tapi juga dapat menjadi sumber pendapatan tambahan bagi masyarakat lokal.

Penerimaan Sosial dan Budaya

Aspek penerimaan sosial dan budaya menjadi tantangan terbesar dalam mengimplementasikan ulat sagu sebagai menu MBG.

Meski ulat sagu telah menjadi bagian dari budaya makan masyarakat Maluku, masih ada stigma di kalangan masyarakat yang belum terbiasa mengonsumsi ulat sagu.

Stigma ini, sering kali, muncul akibat kurangnya pemahaman tentang manfaat gizi ulat sagu dan cara pengolahannya. Untuk meningkatkan penerimaan, edukasi masyarakat menjadi langkah yang sangat penting.

Pemerintah dan pihak terkait dapat mengadakan kampanye tentang manfaat ulat sagu bagi kesehatan, disertai dengan demonstrasi cara pengolahan yang menarik dan lezat.

Mengintegrasikan ulat sagu ke dalam masakan tradisional atau modern, juga dapat membantu mengurangi resistensi masyarakat.

Misalnya, ulat sagu dapat diolah menjadi nugget, sate, atau ditambahkan dalam sup, sehingga lebih mudah diterima oleh anak-anak dan orang dewasa.

Selain itu, melibatkan tokoh masyarakat, pemuka agama, dan tokoh adat dalam proses sosialisasi dapat membantu mempercepat penerimaan ulat sagu sebagai bagian dari program MBG.

Jika masyarakat melihat bahwa, ulat sagu diterima dan dikonsumsi oleh orang-orang yang mereka hormati, kemungkinan besar mereka juga akan terbuka untuk mencobanya.

Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa, ulat sagu memiliki potensi besar untuk menjadi salah satu menu dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Maluku.

Dari segi nilai gizi, ulat sagu menawarkan kandungan protein dan nutrisi lainnya yang sangat baik untuk mendukung pertumbuhan dan kesehatan anak-anak.

Dari sisi ketersediaan dan keberlanjutan, ulat sagu adalah sumber protein lokal yang melimpah dan ramah lingkungan.

Namun, tantangan terbesar terletak pada penerimaan sosial dan budaya, yang memerlukan edukasi dan pendekatan yang tepat.

Dengan memanfaatkan potensi lokal seperti ulat sagu, Program MBG tidak hanya dapat meningkatkan gizi anak-anak, tapi juga mendukung keberlanjutan lingkungan dan memberdayakan masyarakat lokal.

Oleh karena itu, wacana menjadikan ulat sagu atau serangga sebagai menu MBG hendaknya didukung dengan riset, edukasi, dan kerjasama lintas sektor.

Dengan pendekatan yang komprehensif, maka ulat sagu dapat menjadi simbol inovasi gizi berbasis kearifan lokal yang membawa manfaat bagi masa depan generasi penerus bangsa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun