Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah dengan mengembangkan budidaya ulat sagu secara terkontrol.
Budidaya ini tidak hanya menjamin ketersediaan ulat sagu dalam jangka panjang, tapi juga dapat menjadi sumber pendapatan tambahan bagi masyarakat lokal.
Penerimaan Sosial dan Budaya
Aspek penerimaan sosial dan budaya menjadi tantangan terbesar dalam mengimplementasikan ulat sagu sebagai menu MBG.
Meski ulat sagu telah menjadi bagian dari budaya makan masyarakat Maluku, masih ada stigma di kalangan masyarakat yang belum terbiasa mengonsumsi ulat sagu.
Stigma ini, sering kali, muncul akibat kurangnya pemahaman tentang manfaat gizi ulat sagu dan cara pengolahannya. Untuk meningkatkan penerimaan, edukasi masyarakat menjadi langkah yang sangat penting.
Pemerintah dan pihak terkait dapat mengadakan kampanye tentang manfaat ulat sagu bagi kesehatan, disertai dengan demonstrasi cara pengolahan yang menarik dan lezat.
Mengintegrasikan ulat sagu ke dalam masakan tradisional atau modern, juga dapat membantu mengurangi resistensi masyarakat.
Misalnya, ulat sagu dapat diolah menjadi nugget, sate, atau ditambahkan dalam sup, sehingga lebih mudah diterima oleh anak-anak dan orang dewasa.
Selain itu, melibatkan tokoh masyarakat, pemuka agama, dan tokoh adat dalam proses sosialisasi dapat membantu mempercepat penerimaan ulat sagu sebagai bagian dari program MBG.
Jika masyarakat melihat bahwa, ulat sagu diterima dan dikonsumsi oleh orang-orang yang mereka hormati, kemungkinan besar mereka juga akan terbuka untuk mencobanya.
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa, ulat sagu memiliki potensi besar untuk menjadi salah satu menu dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Maluku.