Mohon tunggu...
Billy Steven Kaitjily
Billy Steven Kaitjily Mohon Tunggu... Freelancer - Nomine Best in Opinion Kompasiana Awards 2024

Berbagi opini seputar Sustainable Development Goals (SDGs) terutama yang terpantau di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tak Takut Bodoh, Tak Takut Gagal: Seni Bertumbuh dalam Hidup

20 Januari 2025   07:38 Diperbarui: 20 Januari 2025   07:38 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto hanya pemanis saja. Lokasinya di Benteng Durstede Saparua, Maluku Tengah | Sumber: Dokpri/Billy Kaitjily

Tulisan ini, sebetulnya, lahir dari percakapan saya dengan mentor akademik saya di WA, Rhesa Sigarlaki, yang saat ini menjadi utusan Injil di Tokyo, Jepang.

Ketika beliau menceritakan kondisi suhu dingin di Tokyo, beliau lalu mengaitkannya dengan adaptasi tubuh manusia terhadap dingin dan pertumbuhan kognitifnya.

Saya kira, hal ini menarik untuk dibahas, jadilah pagi ini saya mengembangkannya menjadi sebuah refleksi, semoga menarik untuk dibaca.

Tidak mudah, memang, beradaptasi dengan sesuatu yang baru. Misalnya, ketika seseorang dari Indonesia---dengan panas tropis yang sudah seperti teman lama---pindah ke Tokyo dan tiba-tiba harus hidup di suhu 4 derajat seperti yang dialami oleh mentor saya tadi.

Angin dingin menggigit pipi, nafas terlihat seperti uap, dan jemari terasa kaku hanya dalam beberapa menit di luar. Semua itu, awalnya, terasa seperti tantangan berat. Tubuh bergetar, mencari kehangatan yang tak kunjung ada.

Tapi, pelan-pelan, tubuh mulai menyesuaikan. Mungkin seminggu, mungkin sebulan, tapi perlahan, dingin itu tidak lagi terasa seperti musuh. Tubuh yang luar biasa ini belajar untuk bertahan.

Yang menarik, bukan hanya tubuh yang punya kemampuan adaptasi seperti itu. Pikiran kita juga loh.

Sama seperti tubuh yang pada awalnya menggigil saat dihadapkan pada suhu dingin, pikiran pun cenderung menolak hal-hal baru, terutama yang terasa asing dan sulit.

Namun, seperti tubuh yang akhirnya mampu menyesuaikan diri dengan suhu dingin, pikiran juga bisa belajar mencintai tantangan, asal diberi asupan yang cukup.

Ketika kita mencoba sesuatu yang benar-benar baru, perasaan pertama yang muncul sering kali adalah canggung, bahkan malu.

Ingat ketika kita pertama kali belajar naik sepeda? Berapa kali kita terjatuh? Berapa banyak lecet di lutut?

Rasanya, belajar sepeda adalah hal yang mustahil, bahkan menakutkan. Tapi, apa yang terjadi setelah beberapa waktu?

Ya, betul kita akhirnya bisa mengayuh tanpa jatuh, bahkan melaju kencang tanpa ragu.

Begitu juga dengan belajar hal baru lainnya---pada awalnya sulit, tapi jika kita terus mencoba, akhirnya hal yang terasa asing itu menjadi bagian dari diri kita.

Namun, ada satu hal yang sering kali menghalangi kita untuk terus belajar: rasa takut terlihat bodoh.

Kita hidup di dunia yang cenderung memuja kepintaran, keahlian, dan pencapaian. Orang-orang berlomba-lomba untuk menjadi yang paling tahu, paling ahli, paling sempurna.

Di tengah-tengah itu, ada tekanan besar untuk selalu terlihat super (pintar) , selalu tahu apa yang harus dilakukan, selalu punya jawaban atas segala pertanyaan.

Tapi, apa yang terjadi jika kita terlalu sibuk menjaga citra itu? Ya, kita berhenti belajar.

Ada keindahan dalam menjadi "orang bodoh." Bukan dalam artian benar-benar tidak tahu apa-apa, tapi dalam keberanian untuk mengakui bahwa kita tidak tahu.

Ketika kita berani menjadi orang yang tidak tahu di ruangan penuh orang pintar, kita membuka diri untuk belajar.

Ketika kita berhenti berpura-pura tahu segalanya, kita memberi ruang bagi pengetahuan baru untuk masuk.

Saya pernah mendengar sebuah analogi menarik tentang belajar. Bayangkan pikiran kita seperti gelas kosong.

Ketika gelas itu kosong, ia siap diisi dengan air, teh, atau kopi---apa pun itu yang kita pilih.

Namun, jika gelas itu sudah penuh, bahkan tetes tambahan saja akan tumpah. Pikiran yang merasa sudah tahu segalanya adalah seperti gelas penuh itu. Tidak ada ruang lagi untuk pertumbuhan. Ya. 

Jadi, bagaimana kalau kita membalik logika ini? Bagaimana kalau kita memilih untuk terus menjadi gelas kosong?

Memang, terkadang rasanya tidak nyaman. Menjadi gelas kosong berarti kita harus siap untuk mengakui ketidaktahuan kita, bahkan di depan orang lain.

Tapi, justru dari sanalah kita bisa tumbuh dan berkembang. Saya ingat pesan moral dari mentor saya, Rhesa Sigarlaki, dia mengatakan, 

"Tidak ada satupun orang hebat yang tak berhadapan dengan ketakutannya sendiri. Perjumpaan dengan yang menakutkan itulah yang merubah dia dari biasa-biasa menjadi luar biasa."

Saya pikir, tantangan terbesar dalam proses belajar bukanlah hal yang kita pelajari itu sendiri, melainkan perjuangan melawan rasa takut kita.

Takut terlihat bodoh. Takut gagal. Takut dibanding-bandingkan dengan orang lain.

Tapi, sebenarnya, siapa yang peduli? Hidup bukanlah soal perlombaan untuk menjadi yang paling tahu, melainkan perjalanan untuk menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri.

Bayangkan, jika setiap hari kita memilih untuk belajar satu hal baru---entah itu sekadar kosa kata dalam bahasa asing, teknik menggambar sederhana, teknik menulis cepat, atau fakta menarik tentang alam semesta.

Dalam setahun, kita akan memiliki 365 hal baru yang kita tahu. Dalam lima tahun, itu menjadi 1.825 hal baru. Bukankah itu terdengar luar biasa?

Namun, belajar tidak selalu tentang menambah pengetahuan. Kadang-kadang, belajar juga berarti mengubah cara kita memandang dunia.

Sama seperti tubuh yang belajar menerima dinginnya Tokyo, pikiran kita pun bisa belajar menerima hal-hal yang awalnya terasa aneh atau bahkan salah.

KMisalnya, mungkin kita tumbuh dengan satu cara berpikir tertentu, tapi seiring waktu, kita menemukan cara pandang lain yang membuat kita bertanya-tanya, "Apakah mungkin aku salah?"

Pertanyaan seperti itu adalah pintu menuju pertumbuhan. Ketika kita berhenti menganggap diri kita benar sepanjang waktu, kita membuka ruang untuk perspektif baru.

Ketika kita mau mendengarkan orang lain, bahkan yang pendapatnya bertentangan dengan kita, kita belajar lebih banyak tentang dunia, tentang orang lain, dan tentang diri kita sendiri.

Jadi, mari kita berhenti takut terlihat bodoh. Mari kita mulai merangkul ketidaktahuan kita sebagai peluang untuk belajar.

Biarkan orang lain sibuk menjadi pintar terus-menerus. Tidak apa-apa. Biarkan mereka sibuk menjaga citra, sementara kita fokus pada proses.

Karena pada akhirnya, proses itulah yang membuat kita tumbuh, berkembang, dan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Setuju?

Hidup ini terlalu singkat untuk hanya berada di zona nyaman. Sama seperti tubuh yang belajar mencintai dinginnya Tokyo, pikiran kita juga mampu belajar mencintai tantangan baru.

Jadi, apa pun yang saat ini terasa sulit, asing, atau bahkan mustahil untuk dipelajari, percayalah bahwa pelan-pelan, pikiran kita akan menyesuaikan.

Yang penting adalah memberi asupan terus, mencoba terus, dan tidak takut untuk gagal.

Dan, ketika kita melihat ke belakang, mungkin lima atau sepuluh tahun dari sekarang, kita akan tersenyum.

Ya, kita akan menyadari bahwa semua rasa takut dan keraguan itu tidak ada artinya dibandingkan dengan pencapaian yang telah kita raih.

Kita akan bangga pada diri kita yang dulu---yang berani mencoba, meski takut terlihat bodoh.

Karena pada akhirnya, belajar adalah tentang perjalanan. Dan perjalanan itu, dengan segala tantangannya, adalah bagian terbaik dari hidup.

Semoga refleksi kecil di Senin pagi ini menginspirasi Anda, para pembaca setia Kompasiana.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun