Ketika gelas itu kosong, ia siap diisi dengan air, teh, atau kopi---apa pun itu yang kita pilih.
Namun, jika gelas itu sudah penuh, bahkan tetes tambahan saja akan tumpah. Pikiran yang merasa sudah tahu segalanya adalah seperti gelas penuh itu. Tidak ada ruang lagi untuk pertumbuhan. Ya.Â
Jadi, bagaimana kalau kita membalik logika ini? Bagaimana kalau kita memilih untuk terus menjadi gelas kosong?
Memang, terkadang rasanya tidak nyaman. Menjadi gelas kosong berarti kita harus siap untuk mengakui ketidaktahuan kita, bahkan di depan orang lain.
Tapi, justru dari sanalah kita bisa tumbuh dan berkembang. Saya ingat pesan moral dari mentor saya, Rhesa Sigarlaki, dia mengatakan,Â
"Tidak ada satupun orang hebat yang tak berhadapan dengan ketakutannya sendiri. Perjumpaan dengan yang menakutkan itulah yang merubah dia dari biasa-biasa menjadi luar biasa."
Saya pikir, tantangan terbesar dalam proses belajar bukanlah hal yang kita pelajari itu sendiri, melainkan perjuangan melawan rasa takut kita.
Takut terlihat bodoh. Takut gagal. Takut dibanding-bandingkan dengan orang lain.
Tapi, sebenarnya, siapa yang peduli? Hidup bukanlah soal perlombaan untuk menjadi yang paling tahu, melainkan perjalanan untuk menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri.
Bayangkan, jika setiap hari kita memilih untuk belajar satu hal baru---entah itu sekadar kosa kata dalam bahasa asing, teknik menggambar sederhana, teknik menulis cepat, atau fakta menarik tentang alam semesta.
Dalam setahun, kita akan memiliki 365 hal baru yang kita tahu. Dalam lima tahun, itu menjadi 1.825 hal baru. Bukankah itu terdengar luar biasa?