Tulisan ini, sebetulnya, lahir dari percakapan saya dengan mentor akademik saya di WA, Rhesa Sigarlaki, yang saat ini menjadi utusan Injil di Tokyo, Jepang.
Ketika beliau menceritakan kondisi suhu dingin di Tokyo, beliau lalu mengaitkannya dengan adaptasi tubuh manusia terhadap dingin dan pertumbuhan kognitifnya.
Saya kira, hal ini menarik untuk dibahas, jadilah pagi ini saya mengembangkannya menjadi sebuah refleksi, semoga menarik untuk dibaca.
Tidak mudah, memang, beradaptasi dengan sesuatu yang baru. Misalnya, ketika seseorang dari Indonesia---dengan panas tropis yang sudah seperti teman lama---pindah ke Tokyo dan tiba-tiba harus hidup di suhu 4 derajat seperti yang dialami oleh mentor saya tadi.
Angin dingin menggigit pipi, nafas terlihat seperti uap, dan jemari terasa kaku hanya dalam beberapa menit di luar. Semua itu, awalnya, terasa seperti tantangan berat. Tubuh bergetar, mencari kehangatan yang tak kunjung ada.
Tapi, pelan-pelan, tubuh mulai menyesuaikan. Mungkin seminggu, mungkin sebulan, tapi perlahan, dingin itu tidak lagi terasa seperti musuh. Tubuh yang luar biasa ini belajar untuk bertahan.
Yang menarik, bukan hanya tubuh yang punya kemampuan adaptasi seperti itu. Pikiran kita juga loh.
Sama seperti tubuh yang pada awalnya menggigil saat dihadapkan pada suhu dingin, pikiran pun cenderung menolak hal-hal baru, terutama yang terasa asing dan sulit.
Namun, seperti tubuh yang akhirnya mampu menyesuaikan diri dengan suhu dingin, pikiran juga bisa belajar mencintai tantangan, asal diberi asupan yang cukup.
Ketika kita mencoba sesuatu yang benar-benar baru, perasaan pertama yang muncul sering kali adalah canggung, bahkan malu.
Ingat ketika kita pertama kali belajar naik sepeda? Berapa kali kita terjatuh? Berapa banyak lecet di lutut?