Banjir rob kembali menjadi sorotan di Jakarta. Dalam beberapa hari terakhir, air laut yang meluap telah merendam sejumlah wilayah di pesisir ibu kota, dengan ketinggian air mencapai 100 sentimeter.
Fenomena ini menimbulkan keresahan di kalangan warga dan menyorot salah satu isu infrastruktur krusial, yaitu pembangunan National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) atau yang dikenal sebagai proyek tanggul laut raksasa.
Sayangnya, progres pembangunan tanggul ini masih jauh dari kata selesai, dan penyelesaiannya diproyeksikan molor hingga tahun 2030. Pasalnya, sebelumnya pembangunan NCICD ditarget dapat rampung pada 2028.Â
Pembangunan tanggul laut NCICD, awalnya dirancang untuk mengatasi ancaman banjir rob yang semakin meningkat seiring dengan kenaikan muka air laut dan penurunan permukaan tanah di Jakarta.
Namun, hingga saat ini, dari total target 39 kilometer tanggul pantai yang direncanakan, baru sekitar 22,9 kilometer yang berhasil dibangun.
Sebagian besar pembangunan dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sepanjang 14,7 kilometer, sementara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Daerah Khusus Ibu kota (DKI) Jakarta menyelesaikan 8,2 kilometer.
Ini berarti, masih ada 16,1 kilometer yang belum terealisasi, dan tanggung jawab terbesar berada di pundak Pemprov DKI untuk menyelesaikan sekitar 12,8 kilometer sisanya.
Tulisan ini akan menyoroti tiga hal penting: penyebab pembangunan tanggul molor hingga 2030, dampak yang mungkin timbul dari molornya pembangunan tanggul, serta sikap Pemprov DKI Jakarta dalam menyikapi situasi saat ini.
Pembangunan Tanggul Molor, Apa Sebabnya?
Keterlambatan ini bukan tanpa alasan. Menurut Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta, Ika Agustin Ningrum, seperti yang dilansir dari msn.com, ada dua faktor utama yang menjadi penghambat progres pembangunan.
Pertama, kendala terkait pengadaan barang dan jasa. Pengadaan material dan perlengkapan untuk proyek besar seperti ini, tentu membutuhkan proses yang panjang dan sering kali menemui hambatan administratif maupun teknis.
Kedua, koordinasi dengan komunitas lokal, khususnya para nelayan yang bermukim di wilayah pesisir, menjadi tantangan tersendiri.
Nelayan, sering kali merasa terancam oleh proyek-proyek besar seperti ini karena dikhawatirkan akan mengganggu aktivitas ekonomi mereka.
Pemprov DKI harus memastikan bahwa, pembangunan tanggul ini tidak merugikan mereka secara ekonomi maupun sosial, yang tentunya memerlukan waktu dan dialog panjang.
Selain dua faktor tersebut, pembangunan tanggul laut juga terhambat oleh kondisi geografis dan cuaca. Misalnya, banjir rob yang terjadi saat ini, justru menghambat progres pembangunan sepanjang 4 kilometer tanggul pantai yang sedang berjalan.
Meskipun progresnya sudah mencapai 90 persen, penyelesaian proyek ini harus tertunda karena kondisi lapangan yang tidak mendukung.
Dengan segala kendala ini, target penyelesaian 4 kilometer tanggul tersebut baru diperkirakan selesai pada triwulan pertama 2025, tepatnya pada Februari atau Maret mendatang.
Setelah itu, Pemprov DKI masih harus menyelesaikan sekitar 8,8 kilometer tanggul lagi, yang ditargetkan rampung pada 2030.
Dampak yang Mungkin Timbul dari Molornya Pembangunan Tanggul
Namun, penundaan ini bukan hanya soal angka-angka dan target teknis. Pertanyaan yang lebih besar adalah: apa dampaknya bagi Jakarta, jika pembangunan tanggul laut ini terus molor?
Pertama, dampak yang paling nyata adalah meningkatnya risiko banjir rob yang berulang. Dengan kondisi sebagian besar wilayah pesisir Jakarta yang berada di bawah permukaan laut, tanggul laut menjadi benteng utama untuk melindungi kota dari ancaman air laut yang meluap.
Ketika tanggul ini belum selesai, wilayah-wilayah seperti Muara Angke dan Muara Baru, Penjaringan, akan terus menjadi langganan banjir rob.
Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh warga yang harus mengungsi atau merelakan rumah mereka tergenang, tetapi juga oleh sektor ekonomi yang terhenti akibat kerusakan infrastruktur dan terganggunya aktivitas perdagangan.
Dampak kedua adalah kerugian ekonomi jangka panjang. Setiap kali banjir rob melanda, kerusakan yang ditimbulkan dapat mencapai miliaran rupiah. Infrastruktur publik seperti jalan raya, saluran air, dan fasilitas umum lainnya sering kali menjadi korban.
Di sisi lain, warga juga harus mengeluarkan biaya tambahan untuk memperbaiki rumah, mengganti barang-barang yang rusak, atau bahkan untuk kebutuhan mendesak seperti makanan dan air bersih selama banjir berlangsung.
Jika banjir rob ini terus terjadi tanpa adanya solusi jangka panjang, beban ekonomi ini akan semakin besar dan dapat mempengaruhi daya tahan masyarakat maupun anggaran pemerintah.
Ketiga, penundaan pembangunan tanggul juga berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah, baik di tingkat lokal maupun nasional.
Proyek NCICD telah lama menjadi janji besar pemerintah untuk mengatasi masalah banjir di Jakarta. Ketika target penyelesaiannya terus mundur, maka publik mulai mempertanyakan keseriusan dan kemampuan pemerintah dalam menyelesaikan proyek ini.
Hal ini dapat memicu ketidakpuasan yang lebih luas, terutama di kalangan warga yang merasa langsung terdampak oleh banjir rob.
Keempat, dari sisi lingkungan, penundaan pembangunan tanggul dapat memperburuk kerusakan ekosistem pesisir. Saat ini, pesisir utara Jakarta sudah menghadapi tekanan besar akibat urbanisasi, pencemaran, dan penurunan permukaan tanah.
Banjir rob yang berulang hanya akan memperparah kondisi ini, misalnya dengan menyebabkan intrusi air laut ke daratan yang dapat merusak tanah pertanian, mengganggu ekosistem mangrove, dan mencemari sumber air bersih.
Dalam jangka panjang, kerusakan ekosistem ini juga akan berdampak pada kualitas hidup masyarakat pesisir yang sangat bergantung pada sumber daya alam lokal.
Bagaimana Pemprov DKI Jakarta Menyikapinya?
Lalu, pertanyaannya: bagaimana solusi untuk mengatasi keterlambatan ini? Apa yang harus dilakukan Pemprov DKI Jakarta dalam situasi seperti saat ini?
Pertama, diperlukan percepatan proses pengadaan barang dan jasa. Pemerintah dapat mempertimbangkan untuk menyederhanakan prosedur administrasi tanpa mengorbankan transparansi dan akuntabilitas.
Kerja sama dengan pihak swasta atau mitra internasional juga dapat menjadi opsi untuk mempercepat penyediaan material dan teknologi yang diperlukan.
Kedua, pemerintah harus meningkatkan dialog dengan komunitas lokal, khususnya para nelayan, untuk memastikan bahwa, pembangunan tanggul ini tidak akan merugikan mereka.
Program-program kompensasi, pelatihan, atau penciptaan alternatif mata pencaharian dapat membantu mengurangi resistensi dari komunitas tersebut.
Selain itu, keterlibatan mereka dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek dapat menciptakan rasa memiliki yang lebih kuat.
Ketiga, pemantauan dan evaluasi yang lebih ketat diperlukan untuk memastikan bahwa setiap target dapat dicapai tepat waktu.
Pemerintah, juga harus bersikap transparan dalam mengkomunikasikan progres pembangunan kepada publik, termasuk menjelaskan kendala yang dihadapi dan langkah-langkah yang diambil untuk mengatasinya.
Dengan demikian, publik dapat memahami situasi yang sebenarnya dan tetap mendukung upaya-upaya pemerintah.
Kesimpulan
Sebagai penutup, penundaan pembangunan NCICD hingga 2030, memang menimbulkan berbagai tantangan, tetapi hal ini juga dapat menjadi momen refleksi bagi pemerintah untuk memperbaiki strategi dan pendekatan mereka.
Proyek ini bukan hanya soal membangun infrastruktur fisik saja, tetapi juga tentang membangun kepercayaan, ketahanan, dan masa depan yang lebih baik bagi Jakarta.
Dengan komitmen yang kuat dan kerja sama semua pihak, semoga banjir rob tidak lagi menjadi ancaman yang menakutkan bagi ibu kota.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H