Kedua, koordinasi dengan komunitas lokal, khususnya para nelayan yang bermukim di wilayah pesisir, menjadi tantangan tersendiri.
Nelayan, sering kali merasa terancam oleh proyek-proyek besar seperti ini karena dikhawatirkan akan mengganggu aktivitas ekonomi mereka.
Pemprov DKI harus memastikan bahwa, pembangunan tanggul ini tidak merugikan mereka secara ekonomi maupun sosial, yang tentunya memerlukan waktu dan dialog panjang.
Selain dua faktor tersebut, pembangunan tanggul laut juga terhambat oleh kondisi geografis dan cuaca. Misalnya, banjir rob yang terjadi saat ini, justru menghambat progres pembangunan sepanjang 4 kilometer tanggul pantai yang sedang berjalan.
Meskipun progresnya sudah mencapai 90 persen, penyelesaian proyek ini harus tertunda karena kondisi lapangan yang tidak mendukung.
Dengan segala kendala ini, target penyelesaian 4 kilometer tanggul tersebut baru diperkirakan selesai pada triwulan pertama 2025, tepatnya pada Februari atau Maret mendatang.
Setelah itu, Pemprov DKI masih harus menyelesaikan sekitar 8,8 kilometer tanggul lagi, yang ditargetkan rampung pada 2030.
Dampak yang Mungkin Timbul dari Molornya Pembangunan Tanggul
Namun, penundaan ini bukan hanya soal angka-angka dan target teknis. Pertanyaan yang lebih besar adalah: apa dampaknya bagi Jakarta, jika pembangunan tanggul laut ini terus molor?
Pertama, dampak yang paling nyata adalah meningkatnya risiko banjir rob yang berulang. Dengan kondisi sebagian besar wilayah pesisir Jakarta yang berada di bawah permukaan laut, tanggul laut menjadi benteng utama untuk melindungi kota dari ancaman air laut yang meluap.
Ketika tanggul ini belum selesai, wilayah-wilayah seperti Muara Angke dan Muara Baru, Penjaringan, akan terus menjadi langganan banjir rob.
Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh warga yang harus mengungsi atau merelakan rumah mereka tergenang, tetapi juga oleh sektor ekonomi yang terhenti akibat kerusakan infrastruktur dan terganggunya aktivitas perdagangan.