Biaya hidup yang tinggi, termasuk harga perumahan yang terus naik dan kondisi pekerjaan yang belum stabil, membuat mereka menunda pernikahan.
Selain itu, tantangan sosial seperti tekanan untuk memiliki penghasilan stabil sebelum menikah juga menjadi faktor yang mempengaruhi keputusan ini.
Banyak anak muda merasa perlu memiliki keamanan finansial sebelum memasuki jenjang pernikahan agar dapat memberikan kehidupan yang layak bagi pasangan dan anak-anak di masa depan.
Ketiga, peningkatan fokus pada pendidikan dan karir. Semakin banyak anak muda yang menunda pernikahan demi mengejar pendidikan tinggi dan membangun karier.
Pendidikan dan karier, sering kali, dianggap sebagai landasan yang penting untuk masa depan, termasuk kestabilan finansial dan sosial.
Tidak hanya itu, dengan kemajuan teknologi dan perkembangan ekonomi digital, banyak dari mereka yang merasa memiliki kesempatan untuk berkembang secara profesional sebelum menikah.
Fokus pada pendidikan dan karier ini memunculkan prioritas baru yang menggeser perhatian dari pernikahan ke arah pengembangan diri dan keberhasilan profesional di masa depan.
Keempat, meningkatnya kesadaran tentang kesehatan mental dan kualitas hubungan. Dengan meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental, generasi muda cenderung lebih selektif dalam memilih pasangan dan mengutamakan kualitas hubungan.
Mereka semakin sadar akan pentingnya hubungan yang sehat, terutama dengan dukungan mental dan emosional yang kuat.
Pernikahan tidak lagi dipandang sebagai "tujuan akhir," melainkan sebagai hasil dari hubungan yang stabil dan berkelanjutan. Ini menyebabkan banyak anak muda merasa tidak perlu terburu-buru menikah, lebih memilih membangun hubungan yang bermakna tanpa tekanan sosial.
Menurunnya Angka Pernikahan dan Dampaknya bagi Pemerintah
Menurunnya angka pernikahan di kalangan anak muda, tentu memiliki implikasi yang tidak sederhana bagi pemerintah. Beberapa dampak utama yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut.