Mohon tunggu...
Billy Steven Kaitjily
Billy Steven Kaitjily Mohon Tunggu... Freelancer - Nomine Best in Opinion Kompasiana Awards 2024

Berbagi opini seputar Sustainable Development Goals (SDGs) terutama yang terpantau di Jakarta. Melalui opini yang dituangkan, saya mengajak pembaca untuk lebih memahami dan menyadari konsep keberlanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Media Sosial, Perekat atau Pemicu Konflik dalam Keluarga?

30 Juli 2024   21:07 Diperbarui: 30 Juli 2024   21:23 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksesibilitas media sosial dalam interaksi antar anggota keluarga | Sumber gambar: pixabay.com/Gerd Altmann

Kedua, sarana untuk berkarya. Nilai positif kedua yang saya lihat dari penggunaan media sosial dalam keluarga adalah media sosial bisa digunakan untuk berkarya dan berbisnis.

Selain sebagai sarana berkomunikasi, anggota keluarga tentu bisa memanfaatkan media sosial seperti Facebook, Instagram, Youtube, dan Tiktok untuk berkarya dan berbisnis.

Saya dan istri, misalnya, menggunakan media sosial untuk berkarya dan berbisnis. Pada awalnya, kami menggunakan WhatsApp, Facebook, dan Instagram untuk menjual karya buku saya.

Di kemudian hari, kami menggunakan media sosial untuk menyebarluaskan artikel saya di Kompasiana. Dengan langkah ini, saya mendapat banyak views di Kompasiana, dan ujung-ujungnya saya panen cuan. He-he.

Nilai Negatif: Media Sosial sebagai Pemicu Konflik Keluarga

Memang, di satu sisi, media sosial berpotensi membuat anggota keluarga lebih harmonis dan produktif. Tapi, di sisi lain, media sosial berpotensi menggangu keharmonisan keluarga.

Saya menemukan setidaknya dua nilai negatif dari penggunaan media sosial dalam konteks keluarga, yang bila tidak diantisipasi sejak dini akan berpotensi merusak keharmonisan keluarga sebagi berikut.

Pertama, memicu konflik keluarga. Saya melihat kemudahan aksesibilitas media sosial dalam interaksi antar anggota keluarga justru berpotensi terjadi konflik keluarga.

Ketika ada masalah interen, misalnya, kadang ditegur langsung di WhatsApp group keluarga. Meskipun masalahnya sepele, hal itu bisa menjadi konflik yang berkepanjangan, sehingga ada anggota keluarga yang memilih left dari grup.

Tapi, nanti beberapa minggu kemudian, setelah konflik reda, anggota keluarga pun diundang lagi ke grup tersebut. Bahkan, saya pernah mendengar ada anggota keluarga yang memblokir nomor WhatsApp anggota keluarganya karena kesal.

Kecanduan media sosial juga bisa memicu terjadinya konflik keluarga. Ketika anak mendapat like, share, atau mention positif, hal itu merupakan kesenangan baginya, sehingga membuatnya ketagihan.

Orangtua yang tidak tahu cara mengatasi kecanduan media sosial pada anak cenderung membentak atau memarahi si anak, alhasil hubungan antar orangtua-anak menjadi tidak harmonis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun