Setelah mengantarkan istri mengajar Bimbel di daerah PIK I (Rabu 19/06/2024), sekitar pukul 10.00 WIB, saya singgah di jembatan kaliadem.
Saya hampir tak percaya dengan apa yang baru saya lihat. Dari atas jembatan, tampak sampah plastik berserakan dibawa oleh aliran sungai kaliadem menuju Teluk Angke.
Saya duduk di sebuah gubuk kecil dan mengobrol dengan salah seorang petugas dari Suku Dinas Sumber Daya Air Jakarta Utara, yang kebetulan sedang memantau pekerjaan pengerokan lumpur dari dalam kaliadem.
"Banyak sampah plastik di sini ya, Pak!" saya memulai percakapan.
"Iya, banyak! Pokoknya, selama masyarakat masih tinggal di pinggiran kali bakal banyak sampah yang dibuang ke kali", ujarnya.
"Pemerintah harus mengedukasi masyarakat supaya tidak membuang sampah sembarang di kali", tambahnya.
"Betul, Pak! Bahkan, perlu ada sanksi tegas bagi pelaku yang membuang sampah ke kali", ujar saya.
Sejenak, saya mengarahkan pandangan saya ke pinggiran kali, tampak dua unit alat berat (excavator) sedang mengerok lumpur dari dalam kali yang bercampur dengan sampah plastik.
"Banyak lumpurnya, ya!" celoteh saya.
"Enggak habis-habis itu lumpurnya," jawab si petugas.
Saya berdiri dan berjalan ke arah jembatan, tampak tumpukan sampah plastik di bawah jembatan yang belum diangkut petugas.
Sementara di seberang sana, sampah plastik terus mengalir deras menuju Teluk Angke. Padahal, tak jauh dari jembatan kaliadem ini, terdapat Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA).
Secara administratif, kawasan ini termasuk wilayah Kelurahan Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara.
SMMA menjadi rumah bagi berbagai jenis burung seperti cangak, kuntul, mandar batu, bubut jawa, dan masih banyak lagi.
Selain burung, hewan lain yang hidup di SMMA seperti monyet ekor panjang, kura-kura, biawak, ular welang, dan ular daun.
Karena lokasinya berada di pesisir utara Jakarta, SMMA mempunyai beragam jenis ikan seperti ikan sapu-sapu, mujair, dan gabus. (Sumber: Nationalgeographic.co.id).
Yang sangat disayangkan, kawasan konservasi hutan mangrove ini, seringkali disinggahi sampah plastik yang dibawa oleh kaliadem.
Kehadiran sampah yang tersangkut di area mangrove ini bisa menyebabkan pertumbuhan mangrove menjadi lambat dan bahkan mati.
Menurut Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jakarta, Abdul Kodir, seperti dikutip dari laman Nationalgeographic.co.id mengemukakan bahwa monyet ekor panjang yang mendiami kawasan ini mengonsumsi sampah plastik, sehingga di dalam tubuhnya ditemukan logam berat.
Sebenarnya, area yang paling terdampak sampah plastik adalah kawasan hutan mangrove yang berada di tepi pantai Muara Angke.
Tahun 2023 lalu, sebuah video yang memperlihatkan tumpukan sampah di hutan mangrove Muara Angke viral di media sosial (medsos).
Dari video yang beredar, sampah-sampah yang telah menumpuk selama bertahun-tahun tersebut, bahkan membentuk daratan dan pulau.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Reza Cordova menjelaskan asal muasal sampah yang menumpuk dan menutupi wilayah hutan mangrove Muara Angke.
Menurutnya, sampah yang terperangkap di hutan mangrove Muara Angke bersumber dari wilayah yang tak jauh dari kawasan mangrove tersebut.
Jaraknya sekitar 10 sampai 30 km. Ada dua lokasi yang diduga menjadi sumber datangnya sampah plastik yaitu kaliadem dan kali Pluit.
Reza menyebut bahwa apabila kondisi ini dibiarkan begitu saja, tidak hanya berbahaya bagi ekosistem mangrove saja, melainkan juga berbahaya bagi habitat yang berada di sekitarnya. (Sumber: Metro Tempo.co).
Penanganan sampah yang mencemari ekosistem mangrove di pesisir Muara Angke bukan hanya tugas Pemprov saja, tapi juga tugas kita bersama sebagai masyarakat.
Percuma dibersihkan setiap hari, kalau masyarakat yang tinggal di pinggiran kali masih seenaknya membuang sampah sembarangan ke kali ataup laut.
Karena itu, kita perlu sadar diri sejak dini bahwa membuang sampah sembarangan dapat merusak lingkungan yang kita tinggali.
Kalau lingkungan tempat tinggal kita telah rusak oleh sampah yang kita buang sembarangan, bukankah kita yang akan menderita?
Hari mulai siang, saya menengok jam di handphone -- sudah pukul 10.30 WIB. Tak terasa sudah 30 menit saya ngobrol dengan petugas Suku Dinas Sumber Daya Air Jakarta Utara.
Lalu, saya pamit dan bergegas pulang ditemani cuaca terik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H