2. Kualitas Dukungan Manajemen
Dukungan manajemen franchisor yang menentukan adalah organisasi dan sistem pengelolaan. Dalam hal organisasi, Baba Rafi saat ini memiliki kekuatan organisasi yang cukup besar. Untuk mengelola operasional seluruh jaringan outletnya, Baba Rafi memiliki ratusan orang, bahkan mungkin lebih dari 1000 orang yang bekerja di luar outlet. Dukungan managemen diantara saling mendukungnya divisi yang satu dengan divisi lainnya, mulai dari divisi marketing, divisi accounting, divisi logistic, divisi operasional, divisi sales commerce,divisi produksi, divisi brand, R&D, dll.
Dukungan manajemen franchisor yang menentukan adalah organisasi dan sistem pengelolaan. Dalam hal organisasi, Baba Rafi saat ini memiliki kekuatan organisasi yang cukup besar. Untuk mengelola operasional seluruh jaringan outletnya, Baba Rafi mempekerjakan ratusan orang, bahkan mungkin lebih dari 1000 orang yang bekerja di luar outlet. Mereka ini melakukan dukungan manajemen yang mencakup pekerjaan: produksi, logistik, distribusi, pengendalian operasi, pemasaran, ekspansi, keuangan, administrasi dll.
Dengan kekuatan organisasi yang besar tersebut, Baba Rafi dapat melakukan berbagai upaya dukungan manajemen di berbagai aspek. Hal ini yang membuat Baba Rafi mampu bertahan sedangkan banyak franchise lain dengan konsep bisnis yang sama hanya mampu bertahan kurang dari lima tahun. Karena organisasinya tidak mampu menjalankan aktivitas dukungan manajemen yang cukup, maka jaringan outlet mereka tidak dapat dipertahankan dan berjalan sendiri-sendiri.
Jadi dalam hal kualitas dukungan manajemen, Baba Rafi secara garis besar saya amati sudah dalam tingkat yang cukup untuk dapat mendukung retention rate nya.
3. Profitabilitas Bisnis
Pada level outlet, seperti saya jelaskan di awal, franchisee mungkin telah mencapai kepuasan karena dengan investasi awal yang relatif rencah, pengembalian modal dapat terjadi dalam periode yang pendek. Di bawah 1 tahun dalam kasus tertentu sudah balik modal. Tetapi karena skala bisnisnya kecil, setelah balik modal motivasi franchisee untuk berjuang meneruskan bisnis juga rendah. Apalagi ketika operasi bisnis menghadapi masalah operasional seperti kehilangan karyawan, harus pindah lokasi, muncul pesaing baru dll. Pada franchise yang skala bisnisnya besar, motivasi franchisee untuk berjuang mengatasi masalah-masalah operasional lebih tinggi.
Bagaimana dari sisi franchisor? Skala franchise yang kecil memberikan skala pemasukan franchisor dari operasi outlet franchise juga kecil. Besaran % royalti dan keuntungan penjualan bahan baku dan produk dari satu outlet franchise kecil. Sementara dari sisi dukungan manajemen, biaya operasional franchisor yang dihabiskan untuk mengelola jaringan outlet justru semakin besar apabila skala bisnis outlet kecil.
Dalam banyak kasus, pendapatan franchisor dari operasional jaringan outlet tidak bisa menutup biaya operasional franchisor. Untuk menutup defisit tersebut franchisor melakukannya meningkatkan pemasukan dari pembukaan outlet baru. Beberapa franchise yang tidak berhasil mencapai target pembukaan outlet baru, lama kelamaan kemampuan melakukan dukungan manajemen menurun sampai akhirnya tidak mampu lagi mengelola jaringannya, dan jaringannya lepas satu persatu.
Dari dua penjelasan saya di atas saya sampai saat ini masih punya keyakinan bahwa franchise tidak sesuai untuk konsep-konsep bisnis yang skalanya terlalu kecil. Pemikiran saya dan keyakinan saya tentang hal ini saya tuangkan dalam sebuah konsep pemikiran yang komprehensif dan saya beru judul “self destruction point”.
Konsep pemikiran ini saya buat bukan untuk menyerang franchise skala kecil, tetapi lebih untuk memberikan alternatif solusi bagaimana bisnis franchise bisa berjalan secara berkelanjutan dan memberi manfaat secara berekelanjutan pula bagi masyarakat. Oleh karena itu, apabila ada rekan-rekan dan pihak yang tidak setuju dengan pemikiran tersebut, saya rasa baik kita menggelar sebuah berdiskusi untuk saling mengajukan argumen-argumen secara ilmiah agar hasilnya bermanfaat bagi perkembangan franchise di Indonesia.