Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... Wiraswasta - WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

TNI Menghadapi Ancaman Perang Dunia III

5 Oktober 2024   07:22 Diperbarui: 5 Oktober 2024   07:22 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Perang Dunia 3 (Sumber: indiatimes.com)

Rakyat Indonesia banyak yang tidak menyadari, bahwasanya umat manusia di planet Bumi ini menghadapi ancaman besar: Perang Dunia III. Sejarah peradaban modern pasca Renaissance mencatat banyak perang. Akan tetapi, yang melibatkan banyak negara saling bertempur dan memakan korban begitu banyak, hanya Perang Dunia. Perang Dunia I berlangsung pada 1914-1918, dan Perang Dunia II berkobar pada 1939-1945.

Dari catatan sejarah, kita tahu bahwa Indonesia merdeka adalah efek langsung dari Perang Dunia II. Bala tentara Dai Nippon pertama kali mendarat di Tarakan-Kalimantan Timur pada 11 Januari 1942. Akan tetapi, secara resmi pendudukan Jepang di Hindia Belanda baru dimulai pada 8 Maret 1942. 

Saat itu, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di Pangkalan Udara Kalijati, Subang-Jawa Barat. Ketika Jepang sebagai aliansi dari Nazi Jerman di bawah Hitler dan Italia di bawah Mussolini terus meluaskan wilayah di Asia, Hindia Belanda pun termasuk di dalamnya. Ketika Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima pada 6 Agustus 1945 disusul di Nagasaki pada 9 Agustus 1945, Jepang pun takluk. Kaisar Hirohito selaku Kepala Negara Kekaisaran Jepang mengumumkannya pada 15 Agustus 1945. Perjanjian penyerahan tanpa syarat ditandatangani pada 2 September 1945.

Kita semua tahu, atas nama rakyat Indonesia, Soekarno -- Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Oerip Soemohardjo kemudian menyatakan bahwa "aneh suatu negara zonder (tanpa) tentara", mendorong pemerintah membentuk tentara di tingkat nasional. Maka, pada 5 Oktober 1945 dibentuklah Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Tanggal inilah yang kemudian diperingati sebagai Hari Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), Hari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), dan sejak tahun 2000 menjadi Hari Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Di masa awal, tentara kita tidaklah satu. Banyak elemen pejuang kemerdekaan yang sebenarnya merupakan rakyat sipil bersenjata. Istilah masa kini disebut "milisi" atau "para-militer". Dahulu ada banyak istilah seperti laskar, pejuang, gerilyawan, dan sebutan kesatuan lain. Menyatukannya sangat sulit dan penuh perjuangan, termasuk diplomasi alot. Sebutan TNI sendiri baru diresmikan penggunaannya di masa Orde Baru, pada tahun 1971. Meski tiga matra TNI -Darat, Laut, Udara- masih bersatu dengan Polri di bawah ABRI.

Dalam perjalanannya, TNI tidak hanya mempertahankan kemerdekaan Indonesia, tapi juga memadamkan pemberontakan. Kita juga berperang melawan negara lain. Di masa Orde Lama terjadi dua kali perang. Pertama, untuk merebut kembali Irian Barat dengan Operasi Trikora dimana kita melawan Belanda. Dan kedua untuk menggagalkan pembentukan Federasi Malaysia dan Negara Singapura dengan Operasi Dwikora dimana kita melawan Inggris. Sedangkan di masa Orde Baru ada Operasi Seroja untuk mengintegrasikan Timor Portugis menjadi bagian Indonesia, di saat itu kita melawan Portugis selain gerilyawan pro asing.

Di masa damai, TNI juga mulai berperan menjaga perdamaian dunia. Disebut dengan nama "Kontingen Garuda", perwakilan TNI bergabung di bawah PBB bertugas di berbagai daerah konflik. Kini sudah terdapat 32 "Kontingen Garuda" yang pernah dibentuk.

Ancaman Perang Dunia III 

Perdamaian dunia yang kita turut jaga sejak 1945, sepertinya sangat berpotensi akan segera terkoyak. Jujur saja, saya kuatir novel "Ghost Fleet" yang pernah disitir Prabowo dalam debat Capres 2019 dahulu bisa menjadi kenyataan. Di sana, disebutkan bahwa Indonesia bubar tahun 2030. Sekarang sudah tahun 2024. Akankah hal itu menjadi kenyataan?

Sebagai rakyat yang sangat mencintai Indonesia, tentu saya berharap tidak. Kita berharap Indonesia akan menjadi "Republik 1.000 Tahun".

Salah satu syarat menuju ke sana, pertama dan utama, adalah perekonomian negara yang kuat. Setelah itu, ketahanan negara yang juga kuat. Ketahanan di sini buat semata pertahanan dalam konteks militer, melainkan di segala aspek. Salah satunya ketahanan pangan.

Karena apabila terjadi perang, maka segala bidang di masyarakat terlibat. Pasokan paling penting justru pangan bagi rakyat. Karena bisa dipastikan, segala pasokan dari luar negeri akan sangat terganggu. Apalagi bila diberlakukan embargo, kita tidak bisa lagi mengimpor. Aset negara di perbankan asing bisa jadi juga akan dibekukan.

Belum lagi kondisi pasar internasional yang kacau-balau. Bursa saham, pasar komoditi, dan nilai valuta akan hancur. Pasokan berbagai bahan pokok juga sangat terganggu. Pertanian, Perkebunan, peternakan, perikanan, tidak akan berfungsi dengan baik. Demikian juga industri semuanya dioptimalkan untuk memenangkan perang bagi negara yang terlibat.

Apakah Perang Dunia III mungkin terjadi? Bagi saya, jawabannya sangat mungkin. Dan bila itu terjadi, bisa jadi akan menjadi "Armageddon". Ini adalah istilah untuk "Perang Terakhir" yang digunakan dalam Bible, secara peyoratif berarti "kiamat". Di sini, berarti kiamat karena ulah manusia sendiri. Bukan karena takdir Tuhan yang banyak disebut agama "Abrahamic" atau "samawi".

Eskalasi Konflik Di Timur Tengah

Apabila kita mencermati wilayah asal tiga agama "samawi" yaitu Timur-Tengah, di sana lah konflik terus membara selama berabad-abad. Pasca Perang Dunia II, kondisi tersebut diperparah dengan pendirian negara Israel pada tahun 1948 yang diinisiasi Inggris. Wilayah Israel bahkan makin luas pasca memenangkan Perang Enam Hari pada 1967 dan Perang Yom Kippur pada 1973 melawan negara-negara Arab tetangganya.

Konflik terbaru kali ini dimulai dengan serangan mendadak Hamas dari Jalur Gaza ke wilayah Israel pada 7 Oktober 2023. Ini adalah kali kelima terjadi konflik antara Israel dengan Hamas. Wilayah Palestina yang kini terbagi dua juga dikuasai oleh dua kelompok. Jalur Gaza dikuasai Hamas, sementara Tepi Barat diperintah oleh Otoritas Palestina yang mayoritas merupakan kelompok Fatah.

Israel tidak tinggal diam atas serangan Hamas. Dengan dalih membela diri, pada 8 Oktober 2023 pemerintah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu didukung parlemen Israel menyatakan negaranya dalam keadaan perang atau darurat militer. Sejak itu, Israeli Defense Force (IDF) / Angkatan Pertahanan Israel (API) telah menyerang Palestina melalui darat, laut, dan udara.

Konflik terus bereskalasi ketika API meluaskan wilayah serangan ke negara tetangganya. Yaman diserang dengan tujuan menyerang Houthi, dan Lebanon diserang dengan tujuan menyerang Hezbollah. Serangan tidak langsung juga dilakukan terhadap Iran. Pada 31 Juli 2024, Israel membunuh Pemimpin Politik Hamas Ismail Haniyeh di Teheran-Iran. Sebelumnya pada 27 September 2024, dilancarkan serangan udara AU Israel ke Beirut-Lebanon menewaskan Pemimpin Hezbollah Hasan Nasrallah.

Perkembangan terbaru terjadi pada Selasa malam, 1 Oktober 2024 lalu. Israel dihujani tembakan 180-200 roket balistik dari Iran. Ini merupakan perkembangan berbahaya, karena Israel dilindungi oleh AS. Sebagai salah 1 dari 5 pemegang hak veto di Dewan Keamanan PBB, AS telah menggunakannya sebanyak 14 kali untuk mendukung Israel sejak tahun 2001. Veto itu digunakan untuk mencegah DK PBB menjatuhkan sanksi kepada Israel, bahkan juga mencegah bantuan kemanusiaan dan gencatan senjata. Terhitung sejak berdirinya PBB tahun 1948, AS telah 45 kali memveto resolusi DK PBB terkait Israel. Apabila Iran masuk ke gelanggang perang konflik di Timur-Tengah, akan memungkinkan pecahnya Perang Dunia III. Karena baik Iran, Israel, maupun AS sama-sama memiliki senjata nuklir.

Rusia dan China: Raksasa Yang Tidur

Pasca Uni Sovyet bubar pada 1992, Rusia perlahan menurun kekuatannya. Salah satu sebabnya karena alat utama sistem persenjataan (alutsista)-nya harus dibagikan kepada negara-negara bekas federasinya. Apalagi satu per satu negara bekas "Pakta Warsawa" bergabung dengan NATO (North Atlantic Treaty Organization). Kita tahu NATO dipimpin oleh AS. Di masa "Perang Dingin", AS dan sekutunya disebut "Blok Barat", sedangkan Uni Sovyet dan sekutunya disebut "Blok Timur". Perlu diingat, kedua aliansi inilah yang memenangkan Perang Dunia II melawan aliansi "Poros" / "Axis" Jerman-Jepang-Italia.

Meskipun menurun kekuatannya, Rusia tetap berbahaya karena memiliki senjata nuklir. Demikian pula jumlah alutsista-nya masih banyak sekali. Termasuk di sini jumlah anggota angkatan bersenjatanya.

Maka, ketika Rusia menyerbu Ukraina pada 24 Februari 2022, banyak yang terkejut. Di masa lalu, perang semacam itu bisa dengan mudah dimenangkan Rusia. Akan tetapi, Ukraina yang sedang dalam proses melamar sebagai anggota NATO sudah dibantu oleh negara-negara Barat. Meski tidak mengirimkan pasukan secara resmi, mereka melatih dan mengirimkan aneka persenjataan. Termasuk alutsista berat seperti tank dan pesawat tempur pun dihibahkan. Belum terhitung operasi gelap seperti pengiriman tentara bayaran yang sangat rahasia. Akibatnya, Rusia kerepotan. Selain mampu menahan dan memukul balik, pada 6 Agustus 2024  tentara Ukraina menyerang Kursk Oblast, sebuah wilayah di bagian Barat Rusia yang berbatasan langsung dengan Ukraina. 

Ini adalah untuk pertama kalinya tanah kedaulatan Rusia diinvasi negara lain sejak Perang Dunia II. Rusia tidak tinggal diam, serangan balasan telah dilancarkan berkali-kali. Pada 24 September 2024 dilaporkan Rusia telah berhasil merebut kembali sebagian wilayah Kursk yang diinvasi oleh Ukraina. Perang saat ini tampaknya masih belum masuk ke "skala penuh", karena Rusia tampaknya belum mengerahkan segenap kemampuannya. Bila ini terjadi, bisa dipastikan NATO dipimpin AS juga akan berperang habis-habisan. Perlu dicatat, Rusia adalah negara yang berada di dua benua: Eropa dan Asia.

Sedangkan di Asia, China atau Republik Rakyat China (RRC) -maaf saya mempertahankan kata "China" dan bukan "Tiongkok" sesuai ejaan dalam bahasa Inggris dan bahasa aslinya- menguat secara ekonomi. Kekuatannya sudah menyaingi AS, bahkan dalam beberapa sigi dan parameter tertentu sudah melampaui. Demikian pula dengan kekuatan Tentara Pembebasan Rakyat atau People Liberation Army (PLA) milik RRC juga meningkat pesat. Kekuatannya sudah nomor 3 di bawah AS dan Rusia menurut "Global Fire Power" ("GFP"). 

Seperti banyak negara maju lainnya, RRC juga mampu memproduksi berbagai alutsista di dalam negeri. Selain itu, ia juga punya jumlah tentara yang sangat banyak. Jumlah tentara aktifnya sebanyak 2,185 juta prajurit. Itu masih ditambah 1,17 juta komponen cadangan, dan 660 ribu para-militer. Jumlah keseluruhan pasukan RRC adalah sekitar 4 juta orang. Bila dibandingkan, jumlah itu lebih banyak daripada AS yang memiliki sekitar 2 juta orang pasukan dan Rusia yang 2,4 juta orang. Komposisi itu sudah termasuk komponen cadangan dan para-militer.

Kekuatan militer Rusia dan China akan sangat berbahaya bagi dunia bila digerakkan dalam "perang total" atau perang dalam "skala penuh". Perang yang terjadi di Ukraina akibat serangan Rusia sebenarnya "belum apa-apa", karena Rusia tampak masih menahan diri. Sementara China juga masih berhitung untuk menyerang Taiwan. Baik Rusia maupun China ibarat "raksasa yang tidur". Bila keduanya memutuskan melakukan "perang total" dalam "skala penuh", jelas akan menjadi malapetaka bagi dunia. Akan ada dampak langsung bagi Indonesia. Apalagi sebagian wilayah Rusia terletak di Asia, dan China memang berada di Asia.

Dari kiri ke kanan: Pemimpin Iran, China, Rusia, dan Korea Utara. (Sumber: inews.co.uk)
Dari kiri ke kanan: Pemimpin Iran, China, Rusia, dan Korea Utara. (Sumber: inews.co.uk)

Potensi Konflik Di Asia 

Ada tiga "titik didih" di Asia. Pertama, di Laut China Selatan. Kedua, di Korea. Ketiga, di Taiwan.

Laut China Selatan (LCS) menjadi sumber konflik antara Republik Rakyat China (RRC) atau People Republic of China (PRC) dengan sejumlah negara di ASEAN. Hal itu dikarenakan RRC dalam peta yang dikeluarkan pada 1 Desember 1947 mengklaim wilayah laut di Selatan daratan negaranya dengan istilah "nine dash line" (9 garis terputus). Wilayah itu merentang jauh hingga melingkupi kepulauan Spratly di Filipina, laut di sebelah Utara Sabah dan Sarawak di Malaysia, hingga "menyenggol" laut di Kepulauan Natuna di Indonesia. Pada tahun 2016, pengadilan arbitrase internasional di bawah UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) menyatakan RRC tidak berhak atas wilayah "nine dash line" itu. 

Akan tetapi, RRC tidak mempedulikannya. HIngga kini, kerapkali terjadi "gesekan" antara Penjaga Pantai (Coast Guard) dan Angkatan Laut (AL) RRC dengan beberapa negara. Termasuk Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Satu hal yang jarang diketahui umum, bahwa selain RRC, Taiwan atau Republik of China (RoC) juga melakukan klaim senada. Meski luas wilayahnya berbeda, namun polanya serupa. Taiwan menyebutnya dengan "eleven dash line". Taiwan juga menolak keputusan pengadilan arbitrase internasional di bawah UNCLOS.

Di semenanjung Korea, dua negara bersaudara masih terpisah semenjak Perang Korea yang berlangsung pada 25 Juni 1950 hingga 27 Juli 1953. Perang berakhir hanya dengan persetujuan gencatan senjata, tanpa perjanjian pengakhiran perang, pernyataan kekalahan, atau penyerahan tanpa syarat. Sehingga praktis, wilayah tersebut masih dalam kondisi perang hingga kini, hanya saja ditunda karena gencatan senjata. Saat perang berlangsung, Korea Utara (Democratic People's Republic of Korea/DPRK) didukung oleh RRC, sedangkan Korea Selatan (Republic of Korea/ROK) didukung oleh Amerika Serikat dan sekutunya. 

Perang Korea sendiri merupakan imbas dari epilog Perang Dunia II, dimana negara-negara pemenang perang membagi-bagi wilayah dari negara yang kalah. Sebelumya, selama 35 tahun Korea adalah wilayah koloni Jepang. Ada yang unik dari Perang Korea, karena Dewan Keamanan PBB membentuk pasukan. Pasukan PBB tidak sekadar menjaga perdamaian, tapi juga aktif berperang melawan Korea Utara. Meski komposisinya sekitar 90 % terdiri dari tentara AS ditambah 20 negara lainnya. Korea Utara hingga kini dipandang sebagai ancaman karena memiliki senjata roket balistik berhulu ledak nuklir.

Ketiga, di Taiwan. Nama resminya adalah Republic of China (Roc). Menurut catatan sejarah, wilayah yang lokasi utamanya berada di pulau Formosa tersebut berada di bawah kekuasaan Dinasti Qing dari China sejak 1683 dan diserahkan menjadi bagian dari Kekaisaran Jepang pada 1895. Dinasti Qing di bawah Kaisar terakhirnya Pu Yi dijatuhkan oleh revolusioner yang mendirikan RoC pada 1912. Ketika pecah Perang Saudara China, RoC mengalami kekalahan dari PRC. Sehingga mereka memindahkan markas besarnya dari Nanjing ke Taiwan pada 7 Desember 1949. 

Sementara di China daratan, diproklamirkan berdirinya PRC pada 1 Oktober 1949 yang berhaluan komunis. Hingga kini, RoC tetap memegang kontrol atas Taiwan, sementara PRC menyatakan wilayah itu adalah bagian dari negaranya. Taiwan belum diakui penuh oleh PBB, sehingga dalam acara resmi seperti Olimpiade, mereka tidak boleh mengibarkan bendera sendiri. Meski begitu, Taiwan kuat secara militer karena didukung AS dan sekutunya.

Ketiga "titik didih" itu secara geografis dekat dengan Indonesia. Apalagi di LCS yang bersinggungan langsung dengan batas terluar kedaulatan kita.

Peran TNI Menjaga Kedaulatan

Seperti halnya invasi Nazi Jerman ke Polandia pada 1 September 1939 atau serangan Jepang ke Pearl Harbour milik AS pada 7 Desember 1941, semua perang dimulai dengan serangan mendadak. Kalau sudah diberitahukan sebelumnya, tentu akan ada persiapan pertahanan. Padahal, tujuan perang adalah menang dengan menguasai wilayah dan penaklukan orang yang mendiaminya, dalam waktu sesingkat mungkin.

Karena itulah, tentara sebagai penjaga kedaulatan negara harus selalu siap-siaga setiap saat. Sesuai dengan semboyan "si vis pacem para bellum", artinya " bila ingin damai, maka bersiaplah perang".

Dengan demikian, mau tidak mau TNI harus selalu dalam kondisi siaga tempur. Walau prakteknya ada level kesiagaan yang bertingkat. Dalam khazanah kemiliteran AS dikenal sebagai DEFCON (Defense Readiness Condition).

Sejak "Reformasi 1998", TNI yang dipisahkan dari Polri pada tahun 2020 terus bertransformasi. Rencana Strategis Pertahanan (Renstra-Han) disusun. Targetnya adalah pemenuhan Kekuatan Pokok Minimum atau Minimum Essential Force (MEF). Dicanangkan pada tahun 2007 di masa Menteri Pertahanan Prof. Dr. Juwono Sudarsono, S.H. MEF terbagi dalam tiga tahap: 1) 2009-2014 2) 2014-2019 dan 3) 2019-2024.

Karena berbagai kendala termasuk Covid-19 yang tak terduga, tampaknya target pemenuhan MEF 100 % pada tahun 2024 ini tidak akan tercapai. Meskipun Indonesia diletakkan di peringkat ke-13 kekuatan militer terkuat di dunia menurut "GFP", akan tetapi harus diingat perhitungan itu mengikutsertakan banyak faktor yang akan terlibat bila terjadi perang. Termasuk di antaranya perekonomian, jumlah rakyat, dan luas wilayah.

Akan tetapi, dari jumlah dan kualitas alutsista, TNI masih kalah beberapa tingkat dari negara-negara tetangga di ASEAN. Sebagai perbandingan, untuk Angkatan Darat jumlah tank tempur kita kalah dari Vietnam, Thailand, dan Myanmar. Untuk Angkatan Udara, jumlah pesawat tempur kita kalah dari semua negara Asia Tenggara lain kecuali Malaysia dan Timor Leste. Hanya Angkatan Laut kita yang lebih baik, kita hanya kalah jumlah kapal patroli pesisir dari Thailand. Sedangkan jumlah corvette kita paling banyak, walau bervariasi asal pabrik pembuat dan tahun pembuatannya.

Belum lagi kalau kita bahas soal perang asimetris yang antara lain berupa "cyber war". Kita tahu betapa lemahnya pemerintah kita dalam soal ini. Kasus pembobolan data berkali-kali terjadi, bahkan paling parah pada bulan Juli 2024 lalu terjadi serangan yang mempengaruhi 160 badan pemerintahan. Serangan berupa "ransomware" itu dilakukan kelompok hacker internasional bernama "Brain Cipher" yang meminta tebusan sebesar US$ 8 juta. 

Meskipun kemudian dirilis pernyataan maaf resmi dari kelompok itu yang menyatakan tidak jadi meminta tebusan, namun kejadian tersebut telah menunjukkan lemahnya pertahanan Indonesia di dunia maya. Tak heran bila Presiden Joko Widodo sampai memerintahkan kepada Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto pada tahun 2020 untuk membentuk "Angkatan Siber". Menurut Hadi yang sekarang menjadi Menko Polhukam, itu akan menjadi matra keempat dalam tubuh TNI. Namun hingga Hari Ulang Tahun ke-79 TNI pada 5 Oktober 2024 ini, tampaknya niat tersebut belum akan terealisasi.

Kita boleh euforia dengan akan datangnya sejumlah alutsista yang baru dibeli pemerintah untuk TNI. Dalam upacara HUT ke-79 TNI hari ini, akan diparadekan lebih dari 1.000 unit. Jenis yang menarik adalah drone atau pesawat nir-awak. TNI baru memiliki beberapa unit dari beberapa negara, antara lain Poseidon H6 dari Siprus, Scan Eagle dari AS, dan Camcopter S-100 dari Austria. Penggunaan drone kini marak dalam perang asimetris. Terlihat digunakan Rusia, Ukraina,  dan Israel di medan tempur dalam perang yang masih berkobar.

Demikian pula dengan prajurit yang mumpuni fisiknya. Baik dari segi kesamaptaan maupun seni bela diri. Akan tetapi, apakah kita bisa bertahan apabila pecah Perang Dunia III?

Dengan sikap dan posisi diplomatik kita yang non-blok dan netral, Indonesia justru tidak punya pakta pertahanan skala penuh dengan negara mana pun. Ini dalam arti seperti NATO, dimana bila ada satu negara diserang, maka seluruh negara anggota wajib membantu secara aktif mengirimkan pasukan dan peralatan tempurnya. Sebagai contoh di ASEAN saja, Singapura yang luas wilayahnya "imut-imut", tapi kemampuan militernya "raksasa". Dari segi kekuatan alutsista, kita belum tentu bisa menang bila berperang melawan Singapura. Apalagi ia punya pakta pertahanan dengan AS. Sementara AS adalah "raja"-nya NATO. Masih ditambah ada ancaman dari Australia di Selatan, karena ia merupakan sekutu dekat AS. 

Sekali lagi, itu bila kita berperang dengan sekutu AS di sekitar kita. Setidaknya ada Singapura, Filipina, Australia, dan Selandia Baru yang jelas merupakan sekutu AS.  Bila kita menghindari berperang dengan AS dan sekutunya, juga tidak terbayangkan bila kita harus berperang melawan RRC yang merupakan raksasa dunia. Misalnya karena konflik di LCS yang memanas. Kekuatan tempur kita jauh di bawah RRC. Itu sudah pasti.

Jadi, sebenarnya Indonesia dijepit sana-sini. Diplomasi kita sajalah yang mencegah terjadinya konflik di kawasan. Namun, bila terjadi Perang Dunia III, tentu bisa dipastikan jalan diplomasi sudah buntu. Indonesia akan terjebak pada situasi sulit. Akan berpihak pada siapa?

Itu baru soal keberpihakan. Lantas bagaimana bila ada invasi militer ke negara kita? Apakah TNI mampu mempertahankan kedaulatan negara? Tentu "perang semesta" akan jadi pilihan bila pecah "perang terbuka total" dalam "skala penuh".  Sebagaimana kita sudah pernah mengusir penjajah di masa lalu, TNI dan rakyat akan bahu-membahu melawan segala ancaman. Karena hanya bersama rakyat, TNI kuat.

Sumber Ilustrasi:

- Gambar teratas: 

https://economictimes.indiatimes.com/news/international/us/are-we-in-for-a-world-war-iii-heres-what-you-should-know/articleshow/113352255.cms?from=mdr

- Gambar dalam artikel:

https://inews.co.uk/news/politics/world-war-3-inevitable-west-wakes-up-threat-3015524

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun