Itulah pesan yang menggema dari acara puncak peringatan "Hari Pers Nasional" ("HPN"). Sebagai bagian darinya, diadakan "Konvensi Nasional Media Massa" pada hari Senin, 19 Februari 2024.Â
Tema besarnya adalah: "Pers Mewujudkan Demokrasi Di Era Digital". Acara diadakan di Candi Bentar Hall, Putri Duyung cottage, Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara.
Seperti telah saya tuliskan dalam artikel terdahulu (baca di sini), terdapat 3 sesi dalam konferensi. Tulisan ini bermaksud memaparkan apa yang disampaikan para pembicara.
Sesi 1
Pembicara dalam sesi 1 ada 2 orang. Pertama adalah Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu. Kedua adalah Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian. Temanya: "Pers Mengawal Hasil Pemilu 2024 dan Keutuhan Bangsa".Â
Sesuai temanya, kedua pembicara memaparkan mengenai keterlibatan pers dalam Pemilu 2024. Bagaimana sejak awal saat persiapan Pemilu hingga terselenggaranya pencoblosan, dan terus hingga pasca Pemilu, pers memberitakan semuanya.Â
Aspek-aspek sampingan seperti wafatnya sejumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di beberapa tempat juga turut diberitakan.
Ninik pun mengemukakan adanya 6 peran pers dalam Pemilu. Secara berturut-turut, yaitu:
- 1. Menyajikan informasi untuk publik yakni pemilih, peserta Pemilu, dan penyelenggara Pemilu.
- 2. Membentuk pendapat umum sekaligus sebagai ruang publik (public sphere) yang menyediakan tempat kepada anggota masyarakat untuk berimprovisasi dalam penyampaian pikiran dan pendapat.
- 3. Mengawal proses dan hasil Pemilu.
- 4. Meredakan situasi.
- 5. Memberikan pendidikan politik dan meningkatkan kualitas demokrasi masyarakat sehingga jurnalis berperan menyukseskan Pemilu yang berkualitas pula.
- 6. Media kampanye peserta Pemilu melalui iklan kampanye.
Sebagai Mendagri yang untuk sementara juga menjabat sebagai Plt. Menkopolhukam, Tito Karnavian menuturkan ada tiga fungsi utama pers. Mulai dari memberikan informasi kepada publik tentang segala apa yang ada, tidak boleh didominasi pemerintah saja.Â
Kedua, pers untuk sarana edukasi dan hiburan. Dan ketiga, untuk iklim demokrasi yang lebih baik bagi masyarakat.
Tito juga mengakui masih banyak birokrat yang alergi dan salah kaprah kepada pers, sehingga menjadi resisten. Menurutnya, hal itu terjadi karena jajaran birokrasi banyak yang belum paham tentang kebebasan pers.Â
Terutama perubahan paradigma yang terjadi setelah reformasi. Karena adanya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 telah membuka kebebasan pers lebih seluas mungkin.Â
Akan tetapi, hal itu juga bukannya tanpa sebab. Karena kerap kali pemberitaan di sejumlah media sendiri menyalahgunakan kebebasan itu dengan pemberitaan yang tidak berimbang, termasuk berupaya menggiring opini publik ke arah yang tidak sesuai fakta. Padahal, tidak semua media seperti itu. Namun, kemudian terjadi generalisasi dari sejumlah birokrat.
Dalam kesempatan itu Ninik juga menyampaikan kepada Tito yang mantan Kapolri, agar nota kesepahaman bersama (Memorandum of Understanding) antara Dewan Pers dengan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) tahun 2017 dapat dituangkan menjadi Peraturan Kapolri (Perkap).Â
Hal itu dipandang perlu untuk melindungi jurnalis yang sedang menjalankan tugasnya dari ancaman penyalahgunaan wewenang oleh aparat keamanan. Terutama sekali melindungi kebebasan pers berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Untuk diketahui, saat MoU tersebut ditandatangani, Tito masih menjabat sebagai Kapolri.
Sesi 2
Narasumber untuk sesi 2 ada 4 orang. Mereka adalah Abie Besman (Produser Eksekutif Kompas TV), Nezar Patria (Wamenkominfo), Yadi Hendriana (Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers) dan Abdul Aziz (Direktur Utama detiknetwork). Tema yang diangkat adalah "Pers, Demokrasi Digital, dan AI Beretika".
Tampil pertama adalah Nezar Patria. Mantan Sekretaris Jenderal "Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi" ("SMID") pada era "Reformasi 1998" itu, saat ini menjabat sebagai Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Wamenkominfo RI). Ia mengawali slide presentasinya dengan kisah "radio kambing". Ini adalah kisah nyata dari era perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI.Â
Saat itu, ketika "Agresi Militer ke-2 Belanda" dilangsungkan pada tahun 1948, stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) di Kota Solo diserang. Para pejuang berjibaku menyelamatkan pemancarnya dan memindahkannya ke sebuah desa di Karanganyar.Â
Di tempat pengungsiannya tersebut, pemancar ditempatkan secara darurat di sebuah kendang kambing. Dari situlah nama "radio kambing" muncul. Meski seadanya, namun pemancar RRI tersebut tetap berhasil mengudara. Memberitakan berita perjuangan kemerdekaan, dan mewartakan bahwa republik masih ada dan terus menggelorakan semangat perlawanan terhadap penjajahan.
Di luar teks, Nezar menceritakan juga tentang bagaimana Alan Turing menemukan radio yang berhasil menangkap sinyal rahasia tentara Nazi Jerman. Tidak hanya itu, Turing yang seorang ahli matematika kemudian merancang mesin bernama "Enigma".Â
Mesin ini adalah decoder atau pemecah sandi, dari pesan tentara Nazi Jerman yang terenkripsi atau tersandikan. Dengan mesin ini, tentara Sekutu akhirnya berhasil memenangkan Perang Dunia 2.Â
Di situ tampak juga peran penting radio, sebagai bagian dari pers. Kisahnya difilmkan dengan judul "The Imitation Game" (2014), dimana saya juga sudah menyaksikannya.
Nezar juga mengemukakan data penggunaan "Artificial Intelligence" (AI) atau "Kecerdasan Buatan" dalam jurnalisme. Dari data tersebut, tampak bahwa dalam pengumpulan berita, 75% perusahaan media telah menggunakan AI.Â
Ketika memproduksi berita, 90% telah menggunakan AI. Dan saat mendistribusikan berita, 80% telah menggunakan AI. Hanya saja, itu data untuk media internasional. Sementara untuk Indonesia, belum ada data memadai terkait hal tersebut.
Pembicara berikutnya adalah Abdul Aziz, Direktur Utama detiknetwork. Ia membuka paparannya dengan mengemukakan data mengenai keaktifan netizen Indonesia di media sosial.Â
Saya tidak tahu apakah kita musti bangga dengan hal ini. Karena data menunjukkan, netizen Indonesia adalah negara teraktif ke-9 di dunia dalam hal penggunaan media sosial.Â
Data yang dikutip dari "We Are Social" pada Januari 2024 menunjukkan, bahwasanya rata-rata netizen Indonesia menghabiskan 191 menit per 24 jam atau lebih dari 3 jam setiap harinya, hanya untuk mengakses media sosial. Di sini, media sosial yang disigi adalah Instagram, TikTok, Facebook, dan Twitter.
Untunglah, meski aktif di media sosial, media daring masih menjadi sumber rujukan berita paling dipercaya netizen Indonesia. Data dari "Reuters Institute" tahun 2023 menunjukkan, 84% netizen masih mengutamakan media daring sebagai sumber rujukan berita.Â
Meski langsung disusul dengan media sosial di angka 65%. Barulah kemudian televisi 54 % dan media cetak 15%. Angka totalnya lebih dari 100% karena responden boleh menjawab lebih dari 1 pilihan.
Setelah memaparkan mengenai keterkaitan media sosial dengan media massa daring, Abdul menerangkan strategi media yang dipimpinnya. Secara garis besar, ia memaparkan "detikcom DNA" (Deoxyribo Nucleic Acid) yaitu Fastest, Trusted, Leading, dan Balanced.Â
Istilah DNA sendiri merupakan kiasan, karena ini aslinya adalah istilah biologi molekuler untuk "peta genetika" di dalam sel makhluk hidup.
Abie Besman selaku Produser Eksekutif Kompas TV tampil di giliran berikutnya. Ia membawakan materi presentasi berjudul "Saya, Anda, dan Kecerdasan Buatan".Â
Ia membuka paparannya dengan pertanyaan: "Apa yang menanti di masa depan komunikasi?" Abie mengemukakan 5 hal:Â Internet of Things (IoT), Teknologi 5 G, Voice and Natural Language Processing, Perkembangan dalam Kecerdasan Buatan, dan Media Sosial. Detailnya saya tampilkan dalam foto, sehingga bisa dibaca sendiri.
Selaku petinggi di media massa nasional besar, Abie justru melihat adanya peluang dalam journalism dengan adanya AI. Menurutnya, AI bisa diintegrasikan dalam pengumpulan dan analisis informasi.Â
AI juga bisa digunakan dalam produksi content. Lebih lanjut juga bisa dipakai dalam pengelolaan platform dan distribusi berita. Meski begitu, tetap harus diperhatikan pula etika dan tanggung jawab dalam jurnalisme saat menggunakan AI.
Sebagai bagian dari Kelompok Kompas Gramedia yang membawahi KG Media, Kompas TV juga mengikuti pedoman yang berlaku di grup perusahaan tersebut. Abie memaparkan sepintas tentang adanya "Pedoman KG Media dalam Pemanfaatan Teknologi Artificial Intelligence".Â
Tentunya hal itu harus selaras dengan "Falsafah KG Media". Sayangnya, baik dalam materi presentasi atau pemaparan lisan, hal itu tidak terlalu gamblang diterangkan. Bisa jadi karena keterbatasan waktu.
Tampil sebagai pembicara terakhir di sesi 2 adalah Yadi Hendriana, Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers. Ia membawakan materi presentasi berjudul "Profesionalisme Pers di Era Digital: AI dan Pers Profesional".Â
Sebagai pembuka, Yadi memaparkan kasus-kasus pers dalam pemanfaatan teknologi. Ia menyebutkan ada tiga: media profesional banyak mengutip media sosial tanpa ada verifikasi, menjadikan media sosial sebagai sumber utama pemberitaan, dan pembuatan berita dengan teknologi AI tanpa melakukan verifikasi, dengan hanya menurunkan tingkat plagiasi.
Yadi juga mengingatkan bahwasanya prinsip utama pers dalam UU Pers No. 40 tahun 1999 adalah: "menegakkan nilai demokrasi, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar."Â
Lebih lanjut Yadi juga menyitir prinsip jurnalisme internasional baru yang dituangkan dalam "Paris Charter on AI & Journalism", dikeluarkan pada November 2023.Â
Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: "penggunaan teknologi apa pun termasuk AI dalam kerja media harus mewujudkan misi utama pers, memiliki hak untuk mendapatkan informasi berkualitas dan terpercaya."
Ditegaskan, dalam kaitan dengan penggunaan AI oleh media, maka prinsip utamanya adalah peran manusia tetap menjadi kunci. Media massa juga harus mempertanggungjawabkan kebijakan editorialnya ketika menggunakan AI dalam proses 6 M (Mencari, Memperoleh, Memiliki, Menyimpan, Mengolah, dan Menyampaikan) Informasi.Â
Dalam hal ini, AI hanya menjadi pendukung. Proses verifikasi tetap menjadi acuan utama produk pers. Harus ada "disclaimer" dari media, mana produk AI dan sudah terjadi proses verifikasi. Ini agar publik tahu betul jenis informasi yang diterimanya dan tidak terjadi kerancuan.
Sesi 2 ini paling padat dengan menampilkan empat pembicara. Alangkah baiknya bila dipecah saja, dengan pembicara disebarkan ke sesi lain. Atau mengurangi jumlah pembicara. Ini akan lebih efektif dalam hal pendalaman materi.
Saya merasakan materi dari Kompas TV dan detiknetwork agak kurang mendalam. Sementara materi dari Wamenkominfo sudah memadai datanya, hanya waktu memaparkannya yang kurang. Dan dari Dewan Pers agak terlalu luas. Padahal, bisa diambil contoh-contoh kasus lebih nyata mengingat jabatan yang bersangkutan.
Sesi 3
Sesi 3 yang ditampilkan terakhir, justru berupa "keynote speech" yang diberikan oleh Wamenlu, Pahala Nugraha Mansury. Temanya besar: "Pers dan Lansekap Geopolitik dan Geostrategis Menuju Visi Indonesia 2024-2029."Â
Outline-nya terdiri dari 3 bagian: lanskap geopolitik dan geostrategis, visi Indonesia 2045, dan peran pers. Sayangnya, dari sekian banyak paparan, pers hanya "disangkutkan" di bagian terakhir.Â
Saya yang menyimak betul paparan Wamenlu dari awal hingga akhir, agak heran kenapa pembahasannya jadi terlalu "hubungan internasional" secara teoretis. Padahal ini forum diskusi bertemakan "pers" dengan penyelenggara acara "Dewan Pers".
Karena itu, saya hanya bahas bagian ketiga saja dari materi Wamenlu tersebut. Dalam paparannya, Wamenlu menyebutkan bahwasanya peran pers yang pertama adalah memberikan informasi dan edukasi publik mengenai trend dan dinamika global terkini, serta respon kebijakan nasional, termasuk upaya pemerintah dalam pencapaian Visi Indonesia Emas 2045.
Pers juga diharapkan mendukung upaya diplomasi. Termasuk memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai strategi dan kebijakan luar negeri, membentuk dan mempromosikan citra positif Indonesia di tingkat kawasan dan global, serta menyuarakan isu dan agenda global yang menjadi perhatian Indonesia.Â
Terakhir, peran pers menurut Wamenlu adalah untuk meng-counter disinformasi. Maksudnya, mengatasi misinformasi dan disinformasi melalui pemberian informasi yang akurat berkualitas, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap media.
Jujur saja, dari semua materi dan pembahasannya, pemaparan dari Wamenlu ini paling membosankan. Selain mungkin karena menabrak jam istirahat makan siang, juga terlalu mengawang.Â
Konteks materi dan tema agak kurang kohesif. Peran pers sangat normatif dan seperti "tempelan" saja. Padahal, bila mengambil contoh bagaimana media di kawasan bersikap mengenai konflik antar negara, bisa jadi pembahasan menarik. Misalnya sikap media Indonesia dibandingkan dengan Malaysia, Singapura, atau China soal Laut Natuna.
Kesimpulan Umum
Tema besar Konvensi Media Nasional dalam rangka peringatan Hari Pers Nasional 2024 adalah "Pers Mewujudkan Demokrasi Di Era Digital". Semua materi yang disajikan dan pembicara yang dihadirkan diupayakan selaras dengan tema tersebut.Â
Tentu saja Dewan Pers selaku penyelenggara, bekerjasama dengan sejumlah asosiasi jurnalis, telah mempersiapkannya secara matang.
Saya mengambil kesimpulan yang saya jadikan judul tulisan ini: "Pers Harus Adaptif". Dunia terus maju. Ilmu pengetahuan dan teknologi menghasilkan berbagai produk yang makin maju. Kita sebagai manusia tak mungkin menentang perkembangan zaman. Kita harus larut, tanpa musti terhanyut.
Media massa atau pers merupakan produk budaya, dan juga produk zaman. Teknologi informasi, komunikasi, dan komputasi jelas memperkaya telekomunikasi dan informatika. Mau tak mau kita harus beradaptasi, agar tidak tergilas olehnya.
Kita sedang menyaksikan kehancuran media massa cetak. Walau mungkin buku tercetak dalam konteks buku ilmiah, pelajaran, dan fiksi tidak akan punah. Namun, media massa cetak sudah berada di senjakala daur hidupnya.Â
Televisi dan radio sepertinya masih akan bertahan beberapa dekade lagi. Mungkin sebelum internet dan entah apa namanya di kemudian hari mengambil alih. Satu yang pasti, kini media sosial melalui internet merajai jagat komunikasi dan informasi kita. Media daring yang hanya ikut arus saja, belum tentu bisa bertahan.
Prinsip-prinsip bisnis profesional juga harus dilakoni oleh media. Tidak sekadar asal jadi, asal cepat, dan asal viral belaka.
Karena itu, baik insan pers selaku manusia, maupun perusahaan pers sebagai bisnis, harus mampu adaptif. Menyerap teknologi baru seperti AI merupakan sebuah keniscayaan. Walau tentunya, tidak melupakan prinsip-prinsip jurnalisme serta kode etik jurnalistik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H