Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... Wiraswasta - WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pers Harus Adaptif

22 Februari 2024   14:29 Diperbarui: 23 Februari 2024   09:37 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Konvensi Nasional Media Massa, Hari Pers Nasional 2024. (Foto: Bhayu M.H.)

Tito juga mengakui masih banyak birokrat yang alergi dan salah kaprah kepada pers, sehingga menjadi resisten. Menurutnya, hal itu terjadi karena jajaran birokrasi banyak yang belum paham tentang kebebasan pers. 

Terutama perubahan paradigma yang terjadi setelah reformasi. Karena adanya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 telah membuka kebebasan pers lebih seluas mungkin. 

Akan tetapi, hal itu juga bukannya tanpa sebab. Karena kerap kali pemberitaan di sejumlah media sendiri menyalahgunakan kebebasan itu dengan pemberitaan yang tidak berimbang, termasuk berupaya menggiring opini publik ke arah yang tidak sesuai fakta. Padahal, tidak semua media seperti itu. Namun, kemudian terjadi generalisasi dari sejumlah birokrat.

Dalam kesempatan itu Ninik juga menyampaikan kepada Tito yang mantan Kapolri, agar nota kesepahaman bersama (Memorandum of Understanding) antara Dewan Pers dengan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) tahun 2017 dapat dituangkan menjadi Peraturan Kapolri (Perkap). 

Hal itu dipandang perlu untuk melindungi jurnalis yang sedang menjalankan tugasnya dari ancaman penyalahgunaan wewenang oleh aparat keamanan. Terutama sekali melindungi kebebasan pers berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Untuk diketahui, saat MoU tersebut ditandatangani, Tito masih menjabat sebagai Kapolri.

Sesi 2

Narasumber untuk sesi 2 ada 4 orang. Mereka adalah Abie Besman (Produser Eksekutif Kompas TV), Nezar Patria (Wamenkominfo), Yadi Hendriana (Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers) dan Abdul Aziz (Direktur Utama detiknetwork). Tema yang diangkat adalah "Pers, Demokrasi Digital, dan AI Beretika".

Tampil pertama adalah Nezar Patria. Mantan Sekretaris Jenderal "Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi" ("SMID") pada era "Reformasi 1998" itu, saat ini menjabat sebagai Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Wamenkominfo RI). Ia mengawali slide presentasinya dengan kisah "radio kambing". Ini adalah kisah nyata dari era perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. 

Saat itu, ketika "Agresi Militer ke-2 Belanda" dilangsungkan pada tahun 1948, stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) di Kota Solo diserang. Para pejuang berjibaku menyelamatkan pemancarnya dan memindahkannya ke sebuah desa di Karanganyar. 

Di tempat pengungsiannya tersebut, pemancar ditempatkan secara darurat di sebuah kendang kambing. Dari situlah nama "radio kambing" muncul. Meski seadanya, namun pemancar RRI tersebut tetap berhasil mengudara. Memberitakan berita perjuangan kemerdekaan, dan mewartakan bahwa republik masih ada dan terus menggelorakan semangat perlawanan terhadap penjajahan.

Di luar teks, Nezar menceritakan juga tentang bagaimana Alan Turing menemukan radio yang berhasil menangkap sinyal rahasia tentara Nazi Jerman. Tidak hanya itu, Turing yang seorang ahli matematika kemudian merancang mesin bernama "Enigma". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun