Mohon tunggu...
Berny Satria
Berny Satria Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis bangsa

Bangsa yang Besar adalah yang berani berkorban bagi generasi berikutnya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kalau Bisa Gratis, Kenapa Harus Bayar?

6 Januari 2024   15:32 Diperbarui: 6 Januari 2024   16:02 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

2 hari yang lalu ada sekelompok petugas PLN Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL) yang mengecek ke daerah rumah saya. Setiap petugas mampir ke tiap rumah untuk mendata dan menganalisa pemakaian Listriknya. Karena hampir seluruh rumah di lingkungan saya tidak memasang meteran listrik, atau "nyantol" tanpa ada pembatasan atau perhitungan pemakaian.

Kegiatan nyantol ini sudah terjadi rata-rata hampir 6 tahun pada tiap rumah. Karena rumah-rumah yang ada (tidak semuanya) dibangun oleh  pemborong individu dan telah siap dihuni semenjak tahun 2017, bahkan ada yg Lebih lama lagi.

Saya pernah bertanya pada salah satu penghuni, mengapa tidak menuntut untuk dipasangi meteran listrik di rumahnya kepada si pemborong . Setahu saya jika kena denda akan sangat tinggi nantinya.

Namun rata-rata menjawab bahwa ini adalah tanggung jawab si pemborong, jadi mereka tidak punya kendali. Kalaupun ada razia nanti, mereka akan menyerahkan kasus ini kepada pemborong yang bertanggung jawab.

Rumah saya termasuk yang dibangun oleh si pemborong individu tadi, tapi semenjak bangunan berdiri tahun 2017, saya menuntut si pemborong agar segera memasang meteran listrik. Walaupun pemasangan instalasi dan meterannya saya harus perbaiki kembali karena tidak sesuai peruntukannya, tapi meteran itu akhirnya bertengger di rumah saya.

Waktu saya menuntut dan agak "ngotot" minta dipasang meteran listrik PLN, sang pemborong bilang bahwa justru enak bagi penghuni, memakai listrik tapi tidak bayar. Begitu pula kira-kira jawaban keluar dari penghuni lainnya yang tidak terpasang meteran listriknya.
Mereka aneh menanggapi saya yang bersikeras minta dipasangi meteran listrik.

Saya katakan pada mereka bahwa apa yang kita nikmati, harus kita bayar. Kita telah mendapatkan atas barang atau jasa dari obyek yang kita nikmati, maka kita harus bayar kompensasinya. Dan obyek yang kita nikmati itu ada karena diusahakan dengan material dan jasa yang harus dibayar. Jika kita tidak membayar, artinya kita mengambil hak pihak yang mengusahakan barang /jasa tadi. Atau dengan kata lain, kita mencuri.

Makan di warteg atau restoran fastfood, kita harus dibayar. Memiliki motor atau mobil, kita harus membelinya.
Memakai pulsa Handphone, kita juga harus membeli pulsanya.
Jika kita tidak membayar tetapi menikmatinya, itu namanya mencuri.
Sesederhana itu penjelasannya.

Pemahaman ini disumbang ketika saya berkunjung ke negeri Australia, dimana disana ada sebuah minimarket yang tidak ada kasirnya. Mini market itu menyediakan beberapa keranjang yang isinya uang kembalian dan uang besar. Dari AU$ 100, 50, 10, 5, 1, hingga cent. Setelah mengambil barang yang kita perlukan, kita meletakan uang sesuai harga barang yang kita beli begitu saja di keranjang. Dan kalau ada kembaliannya, kita bisa mengambil sesuai uang kembali yang seharusnya.

Ketika di depan loket pembayaran, saya bertanya pada teman yang asli penduduk sana, "Apakah saya bisa mengambil barang tapi pergi begitu saja tanpa membayar?"
Ia menjawab, "Bisa saja, tidak ada alarm kok. Tapi, kenapa kamu tidak membayar? Bukankah kamu sudah mendapatkan barang yang kamu inginkan? Mengapa kamu mau melakukan hal itu?"

Sejenak saya terdiam, dan merenung. Iya juga ya, kenapa saya harus tidak bayar. Kan saya sudah mendapat barang yang diperlukan, dan barang itu ada harganya. Kenapa saya tidak membayar.."
Langsung saya letakan sejumlah AU$ dan mengambil kembaliannya di keranjang yang tanpa penjaga itu, dan beringsut meninggalkan mini market itu takut diketawain sama wong londo.

Back to the topic:
Tanggapan sang pemborong dan penghuni tentang meteran listrik seolah heran atas sikap saya, kenapa ada yang gratis tapi saya malah mau membayar. Belum ketahuan, kenapa malah melapor.
Tidak masuk dalam logika mereka padahal tidak sedikit dari mereka yang berijazah sarjana sebagai kulit intelektualitasnya.

Hampir semua orang yang saya konsultasikan tentang hal ini justru menganjurkan tidak usah membayar. Bahkan mereka mencari keadaan seperti itu sebagai "durian runtuh" karena tidak semua orang bisa gratis memakai listrik. Hingga tidak sedikit yang mengakali meteran dengan berbagai metode agar pembayarannya lebih ringan dari tagihan yang seharusnya dibayar.
"kalau bisa gratis kenapa harus bayar? Wong pejabatnya aja begitu...".

Saya garuk-garuk kepala menerima tanggapan mereka. Pikirku, ini saya yang salah apa mereka ya?

Listrik yang kita nikmati Diproduksi oleh perusahaan milik negara (BUMN) yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Anggaran itu didapat dari hasil pajak yang dibayarkan oleh rakyat sebagai penghuninya.

Reaktor Pembangkit Tenaga Uap, Diesel, Panas bumi, Nuklir, dan pembangkit lainnya dibangun dari APBN yang dibayar oleh rakyat. Sedangkan BUMN memerlukan dana perputaran hasil penjualan barang/jasanya untuk beroperasi kembali untuk terus dapat melayani rakyat. Dana yang berputar itulah salah satunya dari hasil kita membayar listrik.


Jika kita menikmatinya tanpa mengeluarkan kompensasi, maka itu sama dengan memakan uang rakyat.
Lantas, apa bedanya kita dengan koruptor jika memakan uang rakyat juga. Jangan kita teriak dan menuding orang sebagai koruptor yang memakan duit rakyat kalau kita sendiri adalah pemakan uang rakyat. "Maling teriak maling".

Mental ini sudah mendarah daging dalam kepala kebanyakan dari rakyat. Mental yang ingin menikmati tanpa pengorbanan, walaupun masih ada sebagian kecil rakyat yang tidak berbuat demikian. Para pahlawan adalah yang siap berkorban bagi kepentingan orang lain, apapun resikonya. Jadi sangat jauh arti kepahlawanan dari mental kebanyakan bangsa kita. Karena dari hal-hal yang kecil hingga besar sudah tertanam bahwa kalau bisa mencuri, kenapa harus bayar, dalam banyak hal.

Ini terjadi karena lingkungan dan orang-orang yang dipercaya melakukan hal dengan motif yang sama, sehingga membentuk sebuah sistim berbangsa yang salah.

Secara Normatif bangsa telah memiliki filosofi yang bagus, ingin mencapai keadilan pada semua lini masyarakat. Namun secara praktis, hampir semua hal diselewengkan dari norma filosofi yang agung tadi. Dan penyelewengan itu punya penerapan bisa ditekak-tekuk bak lilin peraga, tergantung kepentingan dan harganya.


Sudah jelas melakukan tindakan korupsi, tetapi setelah keluar penjara masih bisa menjadi Wakil Rakyat, dan tidak memiliki rasa malu sedikitpun ketika kembali menduduki jabatan yang sama. Begitupula yang terjadi pada kepala-kepala daerah di berbagai tingkatan teritorial, banyak dari mereka yang masuk bui karena melakukan korupsi uang rakyat.

Pejabat, pengusaha, pekerja, rakyat, banyak dari mereka yang menganggap korupsi sebagai hal yang biasa-biasa saja. Padahal korupsi adalah salah satu faktor yang menghambat sebuah bangsa untuk maju menjadi bangsa yang besar, bangsa yang beradab.
Mereka semua bergantung pada sebuah sistim kerja yang salah. Sebuah sistim yang memaksa orang untuk berbuat salah.

Sedangkan sistim kehidupan yang benar adalah tatalaksana berbangsa yang memaksa orang di dalamnya untuk berbuat benar.

Contoh negara Singapura, mereka mampu memaksa orang di dalamnya untuk tidak merokok dengan sangsi membayar denda. Semua patuh karena pelaksanaannya benar-benar diterapkan, tanpa ada toleransi pada siapapun. Bahkan hari ini warga asing maupun lokal yang berkunjung tidak boleh membawa 1 batang rokok pun dari luar Singapura, walau hanya untuk tujuan konsumsi pribadi. Ia akan diperiksa di bandara dan ketika kedapatan akan diganjar dengan denda serta keharusan kepatuhan yang merepotkan pelancong dari negeri lain.

Pertanyaannya, apakah bangsa kita yang lebih dahulu memproklamirkan kemerdekaan dibanding Singapura tidak mampu menerapkan hal itu?
Selama mental bangsa kita masih bertoleransi pada sebuah kejahatan, maka sampai kapanpun bangsa kita akan dipaksa berbuat jahat, baik pada pejabat penegak sistim maupun rakyat sebagai pelakunya.

Lantas, apakah tidak ada solusi untuk membenahi mental bangsa yang cenderung menyimpang?

Bangsa kita memerlukan manusia-manusia pelopor yang bermental ingin berkorban bagi manusia lain, tanpa pamrih. Manusia yang motifnya bukan mencapai kemapanan duniawi, tetapi mereka yang bertekad membangun nilai, bukan materi. Merekalah yang harus menjadi penegak dan penjaga sistim yang benar sehingga pelaksanaannya menjadi benar.

Berat memang dan akan penuh penolakan. Namun kita tidak boleh gundah-gulanah ketika berlaku benar tapi ditolak oleh orang lain. Dan itulah jalan satu-satunya jika bangsa ini ingin menjadi bangsa yang diperhitungkan dunia. Mampu menjadi bangsa:

Gemah Ripah loh Jenawi: 

Tentram dan makmur serta subur tanahnya

Toto Titi Tentrem Kerto Raharjo.

Tidak berbuat yang merugikan orang lain, selalu rukun menjadi bangsa yang subur dan makmur.

Yakinlah, manusia-manusia itu pasti ada. Walau hanya sebutir pasir di tengah lautan, perjuangannya pasti akan mencapai idealisme yang diidamkan oleh seluruh umat manusia.

Semoga kita mencapai karakter manusia seperti itu.

Bogor, 6 Januari 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun