Sejenak saya terdiam, dan merenung. Iya juga ya, kenapa saya harus tidak bayar. Kan saya sudah mendapat barang yang diperlukan, dan barang itu ada harganya. Kenapa saya tidak membayar.."
Langsung saya letakan sejumlah AU$ dan mengambil kembaliannya di keranjang yang tanpa penjaga itu, dan beringsut meninggalkan mini market itu takut diketawain sama wong londo.
Back to the topic:
Tanggapan sang pemborong dan penghuni tentang meteran listrik seolah heran atas sikap saya, kenapa ada yang gratis tapi saya malah mau membayar. Belum ketahuan, kenapa malah melapor.
Tidak masuk dalam logika mereka padahal tidak sedikit dari mereka yang berijazah sarjana sebagai kulit intelektualitasnya.
Hampir semua orang yang saya konsultasikan tentang hal ini justru menganjurkan tidak usah membayar. Bahkan mereka mencari keadaan seperti itu sebagai "durian runtuh" karena tidak semua orang bisa gratis memakai listrik. Hingga tidak sedikit yang mengakali meteran dengan berbagai metode agar pembayarannya lebih ringan dari tagihan yang seharusnya dibayar.
"kalau bisa gratis kenapa harus bayar? Wong pejabatnya aja begitu...".
Saya garuk-garuk kepala menerima tanggapan mereka. Pikirku, ini saya yang salah apa mereka ya?
Listrik yang kita nikmati Diproduksi oleh perusahaan milik negara (BUMN) yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Anggaran itu didapat dari hasil pajak yang dibayarkan oleh rakyat sebagai penghuninya.
Reaktor Pembangkit Tenaga Uap, Diesel, Panas bumi, Nuklir, dan pembangkit lainnya dibangun dari APBN yang dibayar oleh rakyat. Sedangkan BUMN memerlukan dana perputaran hasil penjualan barang/jasanya untuk beroperasi kembali untuk terus dapat melayani rakyat. Dana yang berputar itulah salah satunya dari hasil kita membayar listrik.
Jika kita menikmatinya tanpa mengeluarkan kompensasi, maka itu sama dengan memakan uang rakyat.
Lantas, apa bedanya kita dengan koruptor jika memakan uang rakyat juga. Jangan kita teriak dan menuding orang sebagai koruptor yang memakan duit rakyat kalau kita sendiri adalah pemakan uang rakyat. "Maling teriak maling".
Mental ini sudah mendarah daging dalam kepala kebanyakan dari rakyat. Mental yang ingin menikmati tanpa pengorbanan, walaupun masih ada sebagian kecil rakyat yang tidak berbuat demikian. Para pahlawan adalah yang siap berkorban bagi kepentingan orang lain, apapun resikonya. Jadi sangat jauh arti kepahlawanan dari mental kebanyakan bangsa kita. Karena dari hal-hal yang kecil hingga besar sudah tertanam bahwa kalau bisa mencuri, kenapa harus bayar, dalam banyak hal.
Ini terjadi karena lingkungan dan orang-orang yang dipercaya melakukan hal dengan motif yang sama, sehingga membentuk sebuah sistim berbangsa yang salah.
Secara Normatif bangsa telah memiliki filosofi yang bagus, ingin mencapai keadilan pada semua lini masyarakat. Namun secara praktis, hampir semua hal diselewengkan dari norma filosofi yang agung tadi. Dan penyelewengan itu punya penerapan bisa ditekak-tekuk bak lilin peraga, tergantung kepentingan dan harganya.
Sudah jelas melakukan tindakan korupsi, tetapi setelah keluar penjara masih bisa menjadi Wakil Rakyat, dan tidak memiliki rasa malu sedikitpun ketika kembali menduduki jabatan yang sama. Begitupula yang terjadi pada kepala-kepala daerah di berbagai tingkatan teritorial, banyak dari mereka yang masuk bui karena melakukan korupsi uang rakyat.