Tak heran, jika film "?" sempat mengalami penolakan dari masyarakat dan ormas di Indonesia. Apalagi dengan melihat aneka keragaman suku, agama, dan ras di Indonesia.
Latar belakang tersebutlah yang akhirnya membuat proses penayangan film - film di Indonesia perlu masuk ke dalam proses seleksi oleh Lembaga Sensor Film (LSF).
Dalam Astuti (2022:151) menyebutkan bahwa adanya elemen dasar dalam penilaian LSF untuk menetukan kelayakan tayang sebuah film.
Seperti, penilaian dari sisi keagamaan, ideologi dan politik, sosial budaya masyarakat, serta dari segi ketertiban umum.
Adapun telah tertuang pada UU Nomor 33 Tahun 2009 pasal 6 bagian C tentang unsur - unsur yang tidak diperbolehkan dalam sebuah film.
Disebutkan apabila suatu film mengandung unsur provokasi terjadinya pertentangan antar kelompok, suku, ras, daerah, dan/golongan.
Jika dilihat kembali ke dalam film "?" (2011), beberapa adegan yang dimunculkan adalah konflik dan pertentangan antara masyarakat muslim dan non-muslim.
Contohnya dalam adegan saling mengejek ketika menjalankan keyakinan agama sang tokoh, adegan tidak tolernasi ketika memasuki bulan ramadhan, adegan penusukan dan bom di gereja, serta adegan lain yang mengandung pertikaian antar suku, agama, dan ras di dalamnya.
Lebih khusus, kriteria penarikan film dari peredaran telah tertuang pada Peraturan Kemendikbud RI Nomor 14 Tahun 2019 Tentang Pedoman dan Kriteria Penyensoran, Penggolongan Usia Penonton dan Penarikan Film dan Iklan Film dari Peredaran pasal 29 ayat (2).
Tertulis bahwa akan adanya pertimbangan jika film mengganggu keamanan, ketertiban, ketentraman, atau keselarasan hidup masyarakat yang akan diputuskan oleh rapat anggota LSF.
Sehingga, Hanung Bramantyo memutuskan untuk melakukan diskusi panjang bersama Lembaga Sensor Film (LSF) sampai film dinyatakan lolos dan siap tayang di bioskop.