Mohon tunggu...
Berman Sitompul
Berman Sitompul Mohon Tunggu... Advokat -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kehilangan

29 Juni 2018   23:04 Diperbarui: 30 Juni 2018   17:31 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan turun sangat deras sore itu, telah memaksaku untuk berhenti disuatu gerai kopi sekedar untuk minum segelas kopi penghangat tubuh sambil menunggu kemacetan usai.

Sehabis membayar, lalu aku berdiri agak disudut ruangan sambil menunggu kopi pesananku, seketika terdengar suara lembut yang memanggil namaku. Aku menoleh ke arah sumber suara itu, ternyata dia adalah istri dari seorang sahabatku yang telah meninggal 3 bulan lalu. Saat itu juga, aku datang menghampirinya dimeja tempat dia duduk sendiri sekedar untuk menyapa, dan diapun menyambut salamku dengan lembut.

Tiba-tiba barista dari gerai kopi tersebut memanggil namaku dan akupun beranjak mengambil kopiku sambil mataku mencari meja kosong diruangan non smoking untuk tempatku duduk. "Abang duduk disini saja, kebetulan juga aku sendiri dan tidak ada lagi meja yang kosong kan ... !" Demikian dia berucap denganku. Menyadari ketiadaan meja itu, akupun menjawab .. "sekiranya kamu tidak keberatan, dengan senang hati."

Dimeja tempat kami duduk, sejenak dia terdiam sambil tertunduk, terlihat dia ingin menyampaikan sesuatu. Meskipun masih nampak cantik, tetapi raut kusut lebih dominan diwajahnya, sangat jauh berbeda dengan wajah yang dulu sangat terawat ketika suaminya masih ada.

Kelihatannya beban pikiranmu terlalu berat ... kenapa ..?? Bagaimanapun kamu sudah harus menjalankan hidupmu dengan semangat karena kamu sekarang single parent, kamu tidak boleh bersedih terus ... sudah saatnya kamu move on karena anak-anakmu sangat membutuhkanmu .." (demikian aku memulai pembicaraan).

Kemudian dia sekilas menatapku lalu tertunduk sambil berkata, "boleh aku curhat dengan Abang .. ??" (Demikian dia memulainya). ... "boleh .. dengan senang hati aku akan mendengarkannya .." (jawabku).

Kubiarkan dia bercerita terus .. sambil menyimak dan menyelami apa yang sedang dia hadapi.

Akhir bulan Juni ini aku dan anak-anak akan kembali pindah ke kota M, kota tempat dimana aku dilahirkan dan orangtuaku bertempat tinggal saat ini. Kelihatannya kami tidak akan mungkin bertahan disini dengan keadaan aku tidak bekerja, itulah sebabnya kami sedang mempersiapkan semuanya saat ini, termasuk juga berkaitan dengan perpindahan sekolah anak-anak dan rencana penjualan rumah yang kami tempati saat ini.

Beberapa waktu lalu aku berusaha mencari semua dokumen-dokumen penting yang selama ini aku sangat tidak pernah perduli. Ternyata semua itu disimpan rapi oleh almarhum suamiku disuatu kotak dilemari pakaiannya.

Disela-sela semua dokumen tersebut, aku menemukan sebuah amplop yang didalamnya ada suatu tulisan yang disertai 2 lembar sertifikat deposito yang jumlahnya cukup besar. Karena penasaran, lalu aku membaca isi tulisan tersebut yg ternyata berbunyi demikian :

"Mama ... aku tau mungkin umurku tidak akan lama lagi karena menurut dokter fungsi jantungku tinggal 20 %. Sebelumnya, dokter pernah menyarankan untuk segera melakukan operasi bypass, tetapi aku memilih untuk tidak melakukannya hingga saat ini, karena bagiku cepat atau lambat ... kematian tetap akan tiba bagi setiap orang. Itu hanya masalah waktu saja.

Aku mohon maaf kalau saja tidak memberitahukanmu selama ini, karena aku tidak ingin mengganggu hidupmu dengan penyakitku, biarlah aku nikmati dan jalani sendiri hari-hariku yang tidak akan lama lagi.

Aku ada menyiapkan 2 lembar sertifikat deposito untuk kalian bertiga, disamping sertifikat rumah dan tanah milik kita lainya. Deposito yang di bank M aku siapkan untuk biaya hidup kalian dan biaya Mama sehari-sehari, sedang deposito yg di bank CA, tolong pergunakan untuk biaya sekolah kedua anak kita. Aku percaya Mama adalah ibu yang sangat menyayangi mereka.

Saya tau bahwa selama ini Mama tidak pernah mau tau tentang segala urusan, karena itu sekiranya Mama punya kesulitan dalam hal mengurus segala sesuatu terutama yang berhubungan dengan hukum, hubungi saja bang B .... pengacara yang sudah beberapa kali kita pernah bertemu. Saya yakin dia akan membantumu dengan senang hati, aku sangat mengenalnya dengan baik". (demikian dia bercerita, sambil manegaskan bahwa semuanya memang sudah dia urus sendiri dan sesungguhnya akulah pengacara yang dimaksud dalam surat suaminya tersebut).

Terus terang aku memang bukan istri yang baik baginya ... (demikian dia mengaku) sambil bercerita selanjutnya ...

Entah bagaimana Tuhan harus mempertemukan kami berdua. Kala itu aku sedang berkunjung ke rumah keluargaku di kota ini, dan secara kebetulan aku duduk bersebelahan dengannya dipesawat yang kami tumpangi saat itu. Kami ngobrol sambil mengisi waktu dalam perjalanan. Dia bercerita bahwa dia bekerja pada salah satu perusahaan otomotif ternama dan sering ditugaskan kecabang-cabang perusahaannya diluar kota. Perjalanan kali itu menurutnya adalah perjalanan kali pertama baginya ke kota kelahiranku. Sebelum berpisah dibandara, dia memberiku kartu namanya dan tidak lupa dia meminta dan menyimpan nomor teleponku ditelepon genggamnya.

Dia orang yg sangat ramah dan sangat baik dalam bertutur kata. Tidak terlalu lama setelah pertemuan mula-mula itu, hampir setiap hari dia meneleponku meskipun aku sudah kembali ke kotaku. Suatu waktu dia menyampaikan denganku bahwa dia selalu teringat denganku dan dia menyampaikan keseriusannya untuk lebih dekat denganku. Saat itu aku tidak terlalu menanggapinya karena bagiku hal itu tidaklah mungkin, disamping baru pertama sekali bertemu, kamipun tinggal dikota yg sangat berjauhan.

Tetapi ternyata pemikiranku salah, dia telah menunjukkan keseriusannya dengan hampir sekali dalam 2 minggu datang ke kotaku untuk mengunjungiku, dan anehnya sejak bertemu pertama sekali orangtuaku sangat menyukainya.

Setelah selama 8 bulan mengenalnya, diapun menyampaikan niatnya untuk memperistrikanku, alasannya bahwa dia tidak mau pacaran berlama-lama dan dia sangat mencintaiku, apalagi usianya saat itu sudah 33 tahun sementara aku masih berumur 24 tahun dan baru saja tamat sarjana. Aku memang tidak berpikir panjang kala itu, karena melihat ketulusannya aku langsung mengiyakannya. Lalu kemudian pertemuan keluarganya dan keluargakupun terjadi untuk membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan rencana pesta pernikahan kami.

Sejak semula memang dia adalah laki-laki yang bertanggungjawab, dia tidak mau menyusahkan kedua orangtuaku dan kedua orangtuanya, semua biaya pernikahan kami, ditanggung olehnya sendiri meskipun acara resepsinya diadakan digedung termegah dikotaku saat itu.

Setelah hari pernikahan itu, aku ikut dengannya dan pindah ke kota ini, dengan harus meninggalkan keluargaku meskipun saat itu aku sebenarnya belum siap. Kami memulai semuanya dari nol hingga kami memiliki segalanya dan sangking sayangnya denganku, hampir seluruh harta yg berharga diatasnamakan atas namaku.

Saat-saat begini, aku suka termenung sejak kepergiannya, ada rasa penyesalan dan rasa bersalah yang sangat dalam karena meskipun kami sudah menikah selama 13 tahun dan kami telah memiliki 1 orang putra dan 1 orang putri, tetapi selama itu aku tidak sepenuhnya memberi hatiku dengannya. Aku pernah berniat untuk meninggalkannya dan bahkan pernah menjalin hubungan yang sangat dekat dengan beberapa laki-laki yg aku kenal melalui medya sosial, tetapi karena ada anak-anak aku berusaha bertahan untuk tetap menjadi istrinya. Aku tau dia menyadari betul tentang hal itu, tetapi meskipun dia kecewa dengan perbuatanku, tetap saja dia memperlakukanku dengan baik dan sering kali berusaha membuat susuatu hal yang baru untuk menyenangkanku.

Malam itu .... setelah dia menyelesaikan pekerjaan yg diketiknya untuk kepentingan pekerjaannya besok hari, aku melihatnya menyusun pakaiannya dikoper yang biasa dipakainya. Aku lalu bertanya, mau kemana .. ?? mau ke kota S selama 2 hari Mam .. demikian dia menjawabku dengan singkat.

Entah mengapa subuh itu aku terbangun setelah aku melihat dia bersiap-siap untuk pergi dengan taksi yang sudah dia pesan sebelumnya. Tidak seperti biasanya, itulah pertama sekali dengan suka rela aku membuatkan teh hangat baginya sambil menyuguhkan martabak telor sisa semalam yg aku belikan untuk anak-anak kami.

Tidak seperti biasanya aku yang selalu masa bodoh dengannya, entah kenapa sebelum tidur kembali, aku lalu mengirimkan pesan lewat WhatsApp padanya ... "jangan lupa kasihtau kalau sudah sampai ya .. !!" ... dan iapun menjawab ... "ya Mama ... terimakasih ya aku sudah diperhatikan ...!!" Lalu kemudian aku matikan kembali telepon genggamku.

Setelah tertidur selama 1 jam lebih akupun terbangun, dan langsung menghubunginya untuk menanyakan apakah dia sudah chek in atau belum, tapi setelah berkali-kali aku hubungi, tetap saja tidak ada jawaban. Padahal biasanya cukup 2 kali ada nada panggil, teleponku sudah pasti dijawabnya atau setidaknya menelponku kembali. Saat itu, aku mulai marah, namun tiba-tiba aku ditelpon kembali, ketika aku menjawab ya .. Pah ... terdengar suara asing yg bukan suara suamiku.

Sesaat aku terdiam sebelum lelaki asing itu memperkenalkan diri, "selamat pagi, ibu .... apakah ibu istri dari bapak A .. demikian dia menyebut nama suamiku .. dan aku lalu menjawab .. ya .. betul ..! yang kemudian aku langsung mengajukan pertanyaan dengannya .. anda siapa ..??

Lelaki asing itu ternyata petugas IGD dari salah satu Rumah Sakit, dia memberitahu bahwa suamiku kena serangan jantung pada saat perjalanan ke bandara dan sudah berada di IGD Rumah Sakit tersebut. Saat itu juga aku diminta segera ke sana. Mulutku serasa terkunci rapat dan hanya menjawab "terima kasih".

Ketika telepon ditutup, aku terdiam seribu bahasa, tanganku berkeringat dan seakan aku tidak dapat berdiri lagi bahkan tanpa kusadari telpon genggamkupun sampai terjatuh karena terlepas dari genggaman tanganku.

Aku mencoba menenangkan diriku dan dengan hanya cuci muka aku berangkat naik taksi ke Rumah Sakit itu. Setelah berdoa sebentar berharap dia selamat, kemudian memberitahu keadaan suamiku kepada orang tuaku dan kepada adiknya untuk disampaikan kepada kedua mertuaku.

Pagi itu adalah pagi hari kerja, jalan dikota ini seperti biasanya macet, itu sebabnya aku harus menempuh perjalanan selama hampir 2 jam ke Rumah Sakit itu. Sesampai disana, akupun tergopoh-gopoh dan langsung disambut oleh 2 orang petugas Rumah Sakit itu yang kemudian memintaku untuk tenang, dan memberitahukan bahwa suamiku telah meninggal sekitar 10 menit yang lalu.

Saat itu, bagiku dunia seperti runtuh dan menimpaku, aku menangis sejadi-jadinya, aku mengingat perbuatanku selama ini terhadap dirinya dan baru tadi pagilah untuk pertama dan terakhir kali sebagai istri aku pernah dengan iklas memberinya segelas teh dan menghantarnya hingga ke depan gerbang rumah kami.

Entah bagaimana ... tidak berapa lama seluruh keluargapun telah menyusulku hadir di Rumah Sakit itu dan merekapun memelukku dengan duka yang sangat dalam. Tidak lama pula anak-anakkupun datang dengan masih memakai pakaian sekolah dan langsung memelukku sambil menangis sejadi-jadinya.

Ketika jenazah dibawa ke rumah aku duduk menghadapannya, aku termangu menatap wajahnya yang sudah kaku, wajah yang sepertinya nampak tersenyum dan terkesan mengucapkan selamat tinggal untukku, wajah yang selama ini tak pernah menunjukkan kelelahan meskipun banyak beban hidup yang dihadapinya. Yang kepadanya aku tak pernah ada ketika dia membutuhkanku.

Kudekati wajah kaku itu dan kupandangi terus, perlahan kusentuh wajah yang dahulu selalu tersenyum padaku meskipun aku banyak menyakitinya. Tak terasa air mata penyesalanku menetes dipipinya yang sudah dingin dan kaku. Kusadari bahwa tubuh yang terbujur kaku itu adalah tubuh lelaki yang selama ini mengabdikan seluruh hidupnya untuk aku dan anak-anak kami. Aku tak tahu harus bagaimana hidup kami kelak karena dialah yang selama ini melakukan segalanya untuk aku dan anak-anak kami.

Saat itulah dadaku sesak ... teringat akan kebaikan yang telah dia berikan padaku selama 13 tahun berumah tangga denganku. Teringat betapa aku tak pernah memperhatikannya. Aku hampir tak pernah masak untuknya, bahkan setiap tiba jam makan ... akupun tak pernah menanyakannya apakah dia sudah makan, apa yg dia makan dan dimana dia makan, padahal dia selalu mengeluh bahwa sejak kuliah dia tidak pernah makan dengan teratur.

Tersadar bagiku, bagaimana letihnya selama ini dia ternyata, seringkali dia sampai dirumah sudah larut dan harus berangkat lagi paginya dan tanpa membangunkanku dia kembali menyusun bajunya sendiri untuk esok paginya dia harus keluar kota.

Aku teringat ketika dia mengeluh sakit dan dengan hati terpaksa saat itu aku menghantarnya ke dokter, tetapi tidak menemaninya saat diperiksa, dimana aku hanya sibuk dengan gadget terbaru yang dibelikannya untukku. Sama sekali aku tidak tau tentang sakitnya dan bahkan ketika dia meminta makanan rebus-rebusan untuk dia makan sehari-hari, aku tidak pernah melakukan untuknya.

Saat prosesi pemakaman tiba, lagu-lagu rohani dinyanyikan mengiringi kepergiannya menghadap Tuhan, aku melihat anak-anakku menangis sejadi-jadinya karena kehilangan Papa yg sangat menyayangi mereka. Saat melihat peti matinya hilang dalam onggokan tanah yang menimbun diatasnya, aku menyadari betapa berharganya dia bagiku. Aku terluka menyadari kehilangannya.

Aku merasakan, bahwa ternyata hari-hari setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang sebelumnya aku inginkan, sebaliknya aku justru berada dalam keinginan untuk selalu bersamanya. Tidak ada lagi yang membuatku tersenyum, mencandaiku ketika aku risau, yang selalu ada setiap kali aku butuh untuk melakukan sesuatu untukku.

Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya ada di sampingku. Aku rindu mendengar suara dengkuran yang mengisi malam-malamku ketika dia keletihan setelah bekerja seharian, suara dengkuran yang sungguh selama ini justru aku sangat membencinya.

Saat-saat aku rindu, aku hanya bisa mencium bau keringat yang pernah menetes dibantalnya, mencium baju-bajunya yang pernah dibasahi keringat karena keletihannya dalam melewati hari-hari pengorbanannya bagiku dan anak-anak kami, memeluk guling yang biasa dipeluknya karena aku tidak bersedia tidur dekat-dekat dengannya.

Seringkali aku harus marah dengan diriku sendiri karena kebodohan yg selama ini aku lakukan, sungguh aku tidak punya alasan untuk memperlakukan yang tidak adil baginya. Aku sungguh menyesal .... !! Aku menyadari bahwa sekarang ini justru aku telah terjerat dalam ketulusan cintanya denganku, yang selama hidupku tidak akan pernah ada yang dapat menggantikannya.

Dulu aku tidak pernah tau bagaimana dia mencari uang demi menyenangkan hidup aku dan anak-anak kami, aku hanya tau berapa yang dia harus transfer setiap bulannya ke rekeningku untuk keperluan-keperluan kesenanganku, untuk membayar tagihan kartu kreditku, biaya pembayaran dokter kecantikanku, biaya rutin untuk pembayaran salon langgananku, dan untuk uang arisan serta untuk biaya makan-makan bersama sahabat-sahabatku. Aku tidak mau tau dari mana dia harus mencarinya, yang aku tau bahwa ketika aku meminta uang padanya, dengan lembut dia selalu menjawab ... "besok pagi aku trasfer ya Mam ..."

Kini semuanya sudah berlalu dan tak mungkin kembali lagi, bahkan keluarga dari suamikupun sudah mulai menjaga jarak dengan kami. Itu sebabnya aku ingin membawa anak-anakku untuk pindah ke kota kelahiranku, karena disana masih ada sanak keluargaku sambil aku memulai membuka usaha kecil-kecilan untuk membiayai hidup kami dan untuk kepentingan biaya sekolah anak-anak." (Demikian dia mengakhiri ceritanya sambil mengusap air matanya)

Selama dia bercerita aku teringat akan wajah sahabat baik yang telah 20 tahunan lebih aku kenal. Wajah yang beberapa bulan sebelum meninggalnya pernah menangis dihadapanku, saat dimana dia menceritakan perjalanan hidupnya yang sungguh tidak bahagia karena penghianatan serta tidak pernah diperhatikan. Wajah sahabat yang kepadanya aku pernah menyatakan untuk tetap selamanya setia akan pilihannya dan tidak sekalipun menghianati janjinya dihadapan Tuhan ... apapun yang dia alami dalam hidupnya.

Meskipun kala itu tidak semuanya dia sampaikan denganku, kini aku baru tau tentang semua alasannya untuk menceritakan hal itu denganku. Tak terasa mataku berkaca-kaca, seraya bertanya dengan diriku, bahwa sekiranya aku mengalami hal yang demikian ... mungkin aku tidak akan sekuat dia menghadapinya selama ini.

Tiba-tiba aku tersadar ... bahwa mungkin dia telah pergi dalam damai dan rasa bahagia karena telah pernah menerima perhatian dari orang yang selama hidupnya dia cintai, meskipun hanya segelas teh hangat dan martabak sisa semalam yang telah disuguhkan serta telah diantar sampai ke depan pagar rumah saat dia menaiki taksi itu, yang semuanya dia terima pertama dan terakhir dari ketulusan hati istri yang sangat dicintainya.

Selamat jalan sahabat baikku .... gumanku dalam hatiku, sambil melihat keluar bahwa ternyata hujan sudah reda.

Berman Sitompul

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun