Kini semuanya sudah berlalu dan tak mungkin kembali lagi, bahkan keluarga dari suamikupun sudah mulai menjaga jarak dengan kami. Itu sebabnya aku ingin membawa anak-anakku untuk pindah ke kota kelahiranku, karena disana masih ada sanak keluargaku sambil aku memulai membuka usaha kecil-kecilan untuk membiayai hidup kami dan untuk kepentingan biaya sekolah anak-anak." (Demikian dia mengakhiri ceritanya sambil mengusap air matanya)
Selama dia bercerita aku teringat akan wajah sahabat baik yang telah 20 tahunan lebih aku kenal. Wajah yang beberapa bulan sebelum meninggalnya pernah menangis dihadapanku, saat dimana dia menceritakan perjalanan hidupnya yang sungguh tidak bahagia karena penghianatan serta tidak pernah diperhatikan. Wajah sahabat yang kepadanya aku pernah menyatakan untuk tetap selamanya setia akan pilihannya dan tidak sekalipun menghianati janjinya dihadapan Tuhan ... apapun yang dia alami dalam hidupnya.
Meskipun kala itu tidak semuanya dia sampaikan denganku, kini aku baru tau tentang semua alasannya untuk menceritakan hal itu denganku. Tak terasa mataku berkaca-kaca, seraya bertanya dengan diriku, bahwa sekiranya aku mengalami hal yang demikian ... mungkin aku tidak akan sekuat dia menghadapinya selama ini.
Tiba-tiba aku tersadar ... bahwa mungkin dia telah pergi dalam damai dan rasa bahagia karena telah pernah menerima perhatian dari orang yang selama hidupnya dia cintai, meskipun hanya segelas teh hangat dan martabak sisa semalam yang telah disuguhkan serta telah diantar sampai ke depan pagar rumah saat dia menaiki taksi itu, yang semuanya dia terima pertama dan terakhir dari ketulusan hati istri yang sangat dicintainya.
Selamat jalan sahabat baikku .... gumanku dalam hatiku, sambil melihat keluar bahwa ternyata hujan sudah reda.
Berman Sitompul
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H