Beberapa waktu lalu, seorang lelaki kerabat dekat saya menikah. Sebut saja inisialnya X. Pemberitahuan rencana pernikahan X tersebut telah disampaikan beberapa bulan sebelumnya.Â
Kehadiran saya dan suami dalam acara pernikahan ini tentunya sangat diharapkan, karena memang X kerabat dekat saya.
Terbukti X sampai janjian khusus untuk bertemu dengan suami guna menegaskan undangan tersebut. Mereka mengambil waktu saat istirahat makan siang di kantor, dua minggu sebelum pernikahan. Tujuannya tidak lain agar kami sekeluarga bersedia hadir.Â
Namun demikian, suami menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada saya. Terlebih  suami juga mengetahui keputusan saya sejak awal. Sejak semula sudah saya katakan pada X, bahwa saya dan suami tidak bisa menghadiri pernikahan tersebut.Â
Itu pula sebabnya, suami tidak mau memaksa. Meskipun suami sempat membujuk saya dengan satu dua kalimat, tetapi suami tahu, keputusan saya tidak bisa diganggu gugat.
Ya, iyalah, bertahun-tahun hidup bersama, suami tahu persis karakter istrinya. Suami tahu benar bagaimana keras kepala wanitanya ini jika itu berkaitan dengan prinsip-prinsip yang dianut.
Melanggar Prinsip Keimanan
Sejak awal, saya menentang pernikahan X. Alasan utama yang membuat saya enggan hadir adalah karena ini merupakan pernikahan X untuk yang kesekian kali. Beberapa pernikahan X sebelumnya berakhir dengan perceraian.Â
Saya sendiri hadir pada pernikahannya yang pertama. Saya belum menikah kala itu.Â
Hal tersebut yang membuat saya tidak menyetujui pernikahan ini. Saya tidak sepakat dengan kelakuan X yang menurut saya tidak serius, menggampangkan, dan sangat tidak menghormati lembaga pernikahan.
Begitu mudahnya X memutuskan untuk menikah. Lalu ketika muncul masalah dalam pernikahan, tanpa mau mencari jalan keluar, langsung bercerai.Â
Padahal saya dan X menganut iman kepercayaan yang sama. Dalam iman Kristiani sangat jelas ajarannya, umur pernikahan yakni hingga maut memisahkan. Tuhan menentang dan melarang perceraian. Aturan tentang ini tertulis dalam beberapa ayat dalam Alkitab.Â
Dalam iman Kristen, alasan apapun tidak dapat membenarkan perceraian. Oleh karena itu, pernikahan dalam iman Kristen bukan sesuatu yang dapat dianggap sepele.
Seorang Kristen dewasa yang memutuskan untuk menikah harus sudah siap dengan segala risikonya. Pasangan yang sudah menikah wajib berjuang mempertahankan rumah tanggannya hingga maut memisahkan.Â
Kalaupun beberapa waktu belakangan ini banyak keluarga Kristen yang betcerai, bukan berarti hal tersebut bisa dibenarkan dan menjadi pembenaran.
Ketidakhadiran saya dan suami jelas sebagai bentuk usaha saya untuk menegakkan kembali prinsip pernikahan sesuai iman percaya Kristiani, terutama dalam keluarga besar saya.Â
Tanpa dikaitkan dengan ajaran agama pun, rasanya tidak benar kalau menganggap pernikahan sebagai sesuatu yang gampangan.Â
Berani menikah seharusnya berani pula pegang komitmen. Berani pegang janji untuk terikat satu sama lain, dan selalu bersama dalam suka dan susah. Juga mau bertanggung jawab untuk membangun keluarga sesuai janji yang telah diikrarkan.Â
Itulah pula sebabnya penting konseling pranikah yang benar, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan setelah menikah (after wedding).Â
Hanya sayangnya, banyak orang sekarang lebih sibuk memikirkan pre-wedding dibanding after wedding. Salah satu akibatnya banyak pernikahan yang bubar sebelum garis finish.
Rumah tangga yang seperti ini bisa dikatakan memiliki pondasi yang rapuh. Sehingga ketika ada badai atau guncangan sedikit saja, langsung ambruk dan hancur.Â
Kepribadian dan karakter seseorang juga bisa dinilai dari kemauan dan kemampuannya memegang komitmen.Â
Kalau dengan orang yang dicintai saja tidak bisa pegang komitmen, apalagi dengan orang yang tidak ada hubungan cinta, patut dipertanyakan integritasnya dalam memegang janji.
Apabila saya datang ke pernikahan X, berarti secara tidak langsung saya mendukung perilakunya.Â
Sebaliknya, ketidakhadiran saya mejadi bukti bahwa saya sangat tidak menyetujui perilakunya. Semoga ke depannya X lebih seriuss menjalani pernikahannya dan teguh memegang komitmen.Â
Menanamkan Pola Pikir yang Benar
Saya punya anak laki-laki yang suatu hari nanti tentunya juga akan menikah. Untuk itu, sejak dini saya berusaha menanamkan pola pikir dan teladan yang benar tentang nilai sebuah pernikahan.Â
Salah satunya adalah menekankan bahwa pernikahan merupakan sesuatu yang sakral, dan perceraian tidak diperkenankan.Â
Andaikata saya hadir di pernikahan X, bisa jadi anak saya akan berpikir, oh ternyata kalau menikah udah gak cocok, boleh ya bercerai. Mama papa juga kayaknya juga gak masalah. Buktinya mama papa datang ke pernikahan Om X.Â
Ini yang saya hindari. Jangan sampai anak saya berpikir kalau saya dan suami kompromi dengan perceraian. Kalau sampai pola pikir tersebut terekam oleh anak saya, bisa berpotensi tidak baik untuk kehidupan pernikahannya kelak.Â
Dengan ketidakhadiran kami, anak saya bisa melihat ketegasan sikap saya dan suami perihal pernikahan. Harapannya, teladan ini juga akan diadopsi dalam kehidupan dewasanya kelak.
Perceraian Melukai Anak
Saya pernah menulis artikel kisah nyata seorang anak usia 7 tahun korban perceraian orangtuanya. Saya menyaksikan sendiri bagaimana penderitaan sang anak.Â
Pelajaran berharganya, perceraian berpotensi melukai banyak hati. Bukan sekadar luka biasa, tetapi luka dalam yang membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk bisa sembuh.Â
Maka dari itu, pasangan yang telah menikah tidak bisa egois hanya memikirkan kesenangan diri sendiri. Ada kebahagiaan pihak-pihak lain yang juga harus dipikirkan, terutama anak hasil pernikahan tersebut.Â
Saya yakin tidak ada seorang pun anak yang rela orangtuanya bercerai. Meskipun hubungan orangtua tidak selalu harmonis, setiap anak pasti ingin orangtuanya selalu bersama sampai akhir hayat.
X sendiri memiliki anak dari pernikahan pertamanya. Bila saya hadir dalam pernikahan X, apa pertanggungjawaban saya pada anaknya X?Â
Dengan ketidakhadiran saya di pernikahan X, saya ingin menunjukkan pada anaknya X bahwa saya berada di pihaknya. Bahwa saya tidak pernah menyetujui perceraian orangtuanya.Â
Perempuan bukan Injek
Sebagai sesama perempuan, saya tidak rela ketika perempuan hanya dijadikan objek. Dikejar-kejar dan dinikahi karena membawa keuntungan bagi si laki-laki.
Lalu ketika perempuan tersebut tidak lagi berguna, bermodalkan satu kesalahan istri, langsung disingkirkan.
Hal ini yang saya simpulkan dari perilaku X. Ada pola yang sama dari setiap pernikahannya.Â
Untuk itu, protes keras saya lakukan dengan cara tidak menghadiri pernikahannya yang ke sekian kalinya ini.Â
Ketidakhadiran saya juga sebagai bentuk solidaritas saya pada mantan istri pertama X, yang disingkirkan tanpa diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan.Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H