Perceraian Melukai Anak
Saya pernah menulis artikel kisah nyata seorang anak usia 7 tahun korban perceraian orangtuanya. Saya menyaksikan sendiri bagaimana penderitaan sang anak.Â
Pelajaran berharganya, perceraian berpotensi melukai banyak hati. Bukan sekadar luka biasa, tetapi luka dalam yang membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk bisa sembuh.Â
Maka dari itu, pasangan yang telah menikah tidak bisa egois hanya memikirkan kesenangan diri sendiri. Ada kebahagiaan pihak-pihak lain yang juga harus dipikirkan, terutama anak hasil pernikahan tersebut.Â
Saya yakin tidak ada seorang pun anak yang rela orangtuanya bercerai. Meskipun hubungan orangtua tidak selalu harmonis, setiap anak pasti ingin orangtuanya selalu bersama sampai akhir hayat.
X sendiri memiliki anak dari pernikahan pertamanya. Bila saya hadir dalam pernikahan X, apa pertanggungjawaban saya pada anaknya X?Â
Dengan ketidakhadiran saya di pernikahan X, saya ingin menunjukkan pada anaknya X bahwa saya berada di pihaknya. Bahwa saya tidak pernah menyetujui perceraian orangtuanya.Â
Perempuan bukan Injek
Sebagai sesama perempuan, saya tidak rela ketika perempuan hanya dijadikan objek. Dikejar-kejar dan dinikahi karena membawa keuntungan bagi si laki-laki.
Lalu ketika perempuan tersebut tidak lagi berguna, bermodalkan satu kesalahan istri, langsung disingkirkan.
Hal ini yang saya simpulkan dari perilaku X. Ada pola yang sama dari setiap pernikahannya.Â