Jujur, aku belum memiliki cukup keberanian memperkenalkan Mas Karma pada keluargaku. Perbedaan prinsip yang begitu krusial di antara kami menjadi sumber utama ketakutanku.
Menyalakan gawai membutuhkan waktu beberapa saat. Belum lagi menghapus SMS.
Ketika aku tidak kunjung memberikan telepon seluluerku pada Kak Rinta, kesabarannya habis. Dengan raut wajah murka ia langsung menuding aku merahasiakan sesuatu di dalam handphone. Tuduhannya kemudian langsung menohok,
"Kamu punya pacar, kan, sekarang?"
Biasanya aku tidak pernah melawan Kak Rinta. Aku biasanya memilih diam ketika dia mulai bertindak sebagai "tua-tua" keluarga.Â
Namun, entah kekuatan apa yang merasukku pagi tadi, sehingga aku langsung lantang membantah tudingannya,
“Memang apa salahnya kalau punya pacar? Kami juga nggak melakukan yang aneh-aneh!"
Sikapku yang melawan Kak Rinta ini jelas salah di hadapannya. Kak Rinta bukan seorang yang senang dibantah.
Aturan mainnya sudah sangat transparan. Ketika dia marah, aku harus diam. Dan akibat bantahanku, amarahnya langsung meledak saat itu juga.
Sisa pagi itu, kak Rinta mengomel habis-habisan, tanpa aku diberi kesempatan untuk membela diri lagi. Anehnya, Kak Rinta sama sekali tidak menyinggung masalah perbedaan prinsip. Justru hal lain yang tidak kuduga yang dipermasalahkannya.
Aku dianggap tidak becus memilih pacar, Aku dianggap tidak selektif memilih calon teman hidup. Lantaran Mas Karma cuma seorang karyawan biasa, yang posisi karirnya saat ini satu level denganku.Â