Mohon tunggu...
Martha Weda
Martha Weda Mohon Tunggu... Freelancer - Mamanya si Ganteng

Nomine BEST In OPINION Kompasiana Awards 2022, 2023. Salah satu narasumber dalam "Kata Netizen" KompasTV, Juni 2021

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Ditolak, Copet Bertindak

5 Agustus 2023   05:05 Diperbarui: 5 Agustus 2023   06:11 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Metromini di Jakarta yang kini tinggal kenangan (Kompas.Id/ALBERTUS KRISNA)

Berkali-kali tangan ini mengusap pipi. Berusaha menghapus air mata yang terus berlinang di sana.

Perasaan marah, sedih, tidak terima, masih bercokol di dada. Untung aku mendapat tempat duduk di sisi jendela. Semoga tidak ada penumpang lain yang melihat aku menangis merana.

Kejadian pagi tadi masih terpatri kuat di kepala. Seolah rekaman video, tayangannya berputar berulang-ulang. 

***

Seperti biasa, pagi itu aku masih terlelap. Waktu mungkin menunjukkan kira-kira pukul enam. Rinta, kakak perempuanku, sedang bersiap berangkat bekerja.

Jam kerja kami memang berbeda. Kak Rinta harus menjalani eight to five office hours, sementara jam kerjaku lebih fleksibel.

Merantau jauh dari orang tua, kami berdua menyewa sebuah rumah kecil di pinggiran kota.

Tengah nyaman bergelung dalam selimut, tiba-tiba aku dibangunkan. Kak Rinta hendak meminjam telepon selulerku. Mau menghubungi rekan kerja, katanya.

Alih-alih bertanya mengapa Kak Rinta tidak menggunakan gawainya sendiri, rasa panik langsung menyergap. Dengan cepat aku mengambil handphone di samping bantal. Aku memang selalu menaruhnya di sana tiap kali hendak tidur malam.

Buru-buru aku menyalakan handphone-ku. Maksud hati hendak membuka SMS, menghapus pesan berbalas dengan Mas Karma, baru kemudian memberikan handphone tersebut pada Kak Rinta.

Huh, aku terlihat seperti seorang terkena paranoia ya. Hanya saja, siapa sih yang suka orang lain mengusik kehidupan pribadinya?

Lagipula, aku sangat hafal sifat kakak perempuanku ini. Sebagai anak sulung, Kak Rinta selalu merasa memiliki hak istimewa. Khususnya hak untuk mengatur adik-adiknya.

Sikapnya padaku dan kedua abangku seringkali berlebihan dan seenaknya. Bahkan melebihi perlakuan papa dan mama pada kami anak-anaknya. 

Kak Rinta tidak segan-segan memarahi kami ketika kami melakukan sesuatu yang tidak dia suka. Tanpa memedulikan perasaan kami, kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya seringkali menyakitkan.

Seolah habis mengonsumsi sekilo cabai merah, perkataan-perkataannya takjarang begitu pedas. 

Bukan itu saja, Kak Rinta juga seorang yang usil. Dia begitu ingin tahu segala urusan pribadi adik-adiknya, termasuk perkara pacar.

Tidak cukup sampai di situ, Kak Rinta juga seorang pengkritik ulung. Bagai seorang pakar dalam dunia percintaan, Kak Rinta giat mengkritik habis-habisan setiap pacar kami. Seolah tidak ada satupun pilihan hati kami yang benar di matanya. Nyatanya, dia sendiri belum menikah!

Itulah sebabnya, aku sangat menjaga telepon selulerku agar jauh dari jangkauannya. Aku yakin dia akan mencari tahu isi percakapan di sana, kalau sampai handphone tersebut berpindah ke tangannya.

Dan kalau itu sampai terjadi, Kak Rinta akan punya bahan yang cukup untuk "menguliahi" ku.

Sebenarnya isi percakapan tersebut tidak ada yang aneh-aneh. Hanya perbincangan biasa antardua insan yang sedang menjalin cinta. Itupun masih dalam batas-batas wajar, tidak keluar dari pagar koridor kesopanan. Tapi tetap saja aku tidak mau dia memasuki area pribadiku.

Selain itu, ada masalah lain. Bahwa sampai pagi tadi, belum ada satu pun dari keluarga besarku yang tahu kalau aku sudah memiliki pacar, yaitu Mas Karma. Kami pun baru empat bulan menjalin hubungan.

Jujur, aku belum memiliki cukup keberanian memperkenalkan Mas Karma pada keluargaku. Perbedaan prinsip yang begitu krusial di antara kami menjadi sumber utama ketakutanku.

Menyalakan gawai membutuhkan waktu beberapa saat. Belum lagi menghapus SMS.

Ketika aku tidak kunjung memberikan telepon seluluerku pada Kak Rinta, kesabarannya habis. Dengan raut wajah murka ia langsung menuding aku merahasiakan sesuatu di dalam handphone. Tuduhannya kemudian langsung menohok,

"Kamu punya pacar, kan, sekarang?"

Biasanya aku tidak pernah melawan Kak Rinta. Aku biasanya memilih diam ketika dia mulai bertindak sebagai "tua-tua" keluarga. 

Namun, entah kekuatan apa yang merasukku pagi tadi, sehingga aku langsung lantang membantah tudingannya,

“Memang apa salahnya kalau punya pacar? Kami juga nggak melakukan yang aneh-aneh!"

Sikapku yang melawan Kak Rinta ini jelas salah di hadapannya. Kak Rinta bukan seorang yang senang dibantah.

Aturan mainnya sudah sangat transparan. Ketika dia marah, aku harus diam. Dan akibat bantahanku, amarahnya langsung meledak saat itu juga.

Sisa pagi itu, kak Rinta mengomel habis-habisan, tanpa aku diberi kesempatan untuk membela diri lagi. Anehnya, Kak Rinta sama sekali tidak menyinggung masalah perbedaan prinsip. Justru hal lain yang tidak kuduga yang dipermasalahkannya.

Aku dianggap tidak becus memilih pacar, Aku dianggap tidak selektif memilih calon teman hidup. Lantaran Mas Karma cuma seorang karyawan biasa, yang posisi karirnya saat ini satu level denganku. 

Menurut kakakku ini, harusnya aku memilih anak orang kaya atau minimal seorang manajer potensial untuk menjadi pacarku. Hahaha...

Astaga! Hellooow.... aku bukan kamu, Sister! Jangan menempatkan kriteriamu padaku! 

Bagiku, tidak penting pria itu punya harta berlimpah atau memiliki jabatan potensial. Cukup dia pria bermoral, punya pekerjaan, bertangungjawab, sayang padaku, berasal dari keluarga baik baik, dan yang pastinya bukan suami orang.

Toh, aku juga tidak sembarang memilih. Sebelumnya ada beberapa pria yang mendekatiku, tetapi pilihan terbaik ada pada Mas Karma.

Meskipun ada satu perbedaan nyata di antara kami, entah kenapa aku yakin akan ada penyelesaian akhir untuk menyatukan perbedaan tersebut.

***

Selepas Kak Rinta berangkat kerja, kantukku lenyap. Menangis menjadi kegiatanku setelahnya.

Aku bukan orang yang tidak bisa menerima pendapat orang lain. Aku juga bukan orang yang anti kritik. Cuma aku tidak terima caranya.

Apa tidak bisa bicara baik-baik? Mengapa harus marah-marah dan menyakiti orang lain?

Aku tahu mataku akan bengkak setelah ini, tapi aku sudah tidak peduli. Pikirku, bedak dan riasan mata bisa mengatasi itu.

Perasaan galau dan sedih tersebut terus terbawa hingga aku menaiki metromini 610. Metromini ini melayani trayek Pondok Labu-Blok M.

Kantorku sedang menggelar pameran di Mal Kelapa Gading. Dari Terminal Blok M nanti, aku akan ke sana untuk jaga stan.

Seperti halnya dengan bus-bus di ibukota pada umumnya, metromini 610 sangat rawan dengan tindak kejahatan. Salah satunya copet.

Namun, dasar manusia! Jika belum melihat sendiri atau bahkan menjadi korban kejahatan, kerap kali tingkat kewaspadaanya rendah. Itu pula yang terjadi padaku.

Alih-alih awas dengan keadaan sekeliling, hatiku sibuk merajut kekecewaan. Tidak menyadari kalau aku sedang diawasi, dan sedang menjadi target kejahatan.

Benar saja. Telepon seluler yang menjadi awal mula keributan, raib dari dalam tas. Aku baru menyadarinya taklama setelah tiba di Terminal Blok M.

Aku menduga, kejadiannya persis saat aku akan turun dari metromini. Karena hilang fokus, aku lupa mengepit tas di depan dada.

Memang saat hendak turun, aku melihat ada seorang laki-laki ikut berdiri di belakangku. Kukira ia akan ikut turun. Ternyata copet yang beraksi pada tasku.

Mau mengejar metromini bersangkutan pun percuma. Bus oranye biru itu sudah keburu melaju kencang meninggalkan terminal.

Ini yang namanya, sudah jatuh tertimpa tangga pula. 

***

Kisah di atas kini tinggal kenangan. Saat ini aku hidup bahagia bersama Mas Karma dan kedua anak kami. 

Satu kali menjadi korban pencopetan, membuatku jera dan tidak rela menjadi korban kedua kali.

Metromini di Jakarta memang sudah tinggal sejarah. Keberadaanya sudah digantikan dengan moda transportasi yang lebih modern.

Akan tetapi, kemungkinan tindak kejahatan tetap ada. Penting bagiku untuk lebih awas ketika sedang berada di transportasi umum. Begitu pula ketika sedang berada di tengah keramaian.

Sejak kejadian itu pula, aku mulai belajar mengendalikan diri. Kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, orang-orang di sekitarku memiliki karakter beragam. Ada yang menyenangkan, tapi tidak sedikit yang menyebalkan.

Untuk itu, aku tidak lagi  mengizinkan diriku cengeng ataupun terbawa perasaan. Seburuk apapun situasi yang kuhadapi, aku berusaha tetap tenang. Karena ketenangan akan membantuku terhindar dari hal-hal buruk yang tidak kuharapkan.

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun