Selain itu, Grace juga berperan sebagai ahli gizi bagi Simon karena memang Simon memilih pantangan makanan tertentu. Di samping itu, Grace juga berperan sebagai terapis, guru, bahkan driver bagi kedua anaknya. Luar biasa. Saya membayangkan saja nggak sanggup.
Itu sebabnya, Grace jarang terlihat berkumpul bersama orangtua murid lainnya, khususnya ketika menunggui anak keduanya di sekolah.
Kebetulan anak saya dan anak keduanya bersekolah di sekolah yang sama.
Grace lebih banyak menghabiskan waktunya ketika menunggui anak di sekolah dengan beristirahat di dalam mobil.
Wajar saja menurut saya. Mengasuh dan membesarkan anak normal saja sering membuat ibu kelelahan. Apalagi mengasuh beberapa anak dengan salah satunya anak berkebutuhan khusus. Peran ganda ibu berlipat-lipat.
Bayangkan saja, setelah mendampingi anak sepanjang hari di rumah sekaligus mengerjakan pekerjaan domestik rumah tangga, Grace masih harus menjalankan tugas mengantar jemput anak ke sekolah bahkan di dua sekolah berbeda, dan harus menyetir sendiri pula. Belum lagi bertemu dengan jalanan Jakarta yang kerap kali macet dan ruwet.Â
Ditambah lagi masih harus menghadapi stigma negatif yang masih sering muncul dari orang-orang sekitar bahkan dari beberapa orang tua murid yang berpikiran sempit. Benar-benar menuntut ketangguhan fisik dan psikis.
Itu sebabnya waktu istirahatnya mencuri-curi dari saat menunggui anak di sekolah.
Sekalipun ada seorang ART (asisten rumah tangga) yang membantu Grace, beban tugas dan tanggung jawab utama ada di pundaknya.
Grace juga susah payah mendapatkan aRT yang sehati. Berkali-kali terdengar keluhannya tentang ART. Dan berkali-kali pula Grace berganti ART.
Berkaca dari perjuangan Grace membesarkan anak berkebutuhan khusus, apakah masih layak kita membanding-bandingkan pencapaian pria dengan wanita?