Beberapa tahun lalu, saat anak saya kelas 1 SD, saya berkenalan lalu berteman dengan seorang ibu, sebut saja namanya Grace. Grace memiliki seorang anak berkebutuhan khusus, sebut saja namanya Simon.
Simon tidak bersekolah di sekolah umum, tetapi di sekolah inklusi.
Menurut cerita Grace, saat lahir Simon terlihat normal seperti bayi pada umumnya. Tumbuh kembangnya juga bagus. Tidak ada tanda-tanda kelainan.
Sampai di usia menjelang 2 tahun, tiba-tiba kemampuan Simon terlihat tidak berkembang. Tidak mau lagi diajak bernyanyi bersama, menghindari komunikasi dan mulai tampak memiliki dunia sendiri.
Dari hasil hipotesis dokter yang memeriksa, Simon mengalami gangguan atau kelainan syaraf tetapi bukan bawaan lahir. Dokter menduga Simon mengalami malpraktik saat proses kelahiran.
Dari cerita Grace, dia memang mengalami kesulitan saat melahirkan Simon. Beberapa usaha dicoba untuk Simon bisa keluar tetapi gagal. Sampai akhirnya tindakan terakhir dilakukan yaitu tindakan ekstraksi vakum.
Mengutip dari Alodokter.com, ekstraksi vakum adalah salah satu prosedur untuk membantu proses persalinan normal. Persalinan dengan bantuan ekstraksi vakum dilakukan dengan alat yang disebut vakum ekstraktor. Umumnya, tindakan ini baru dilakukan ketika proses persalinan normal mengalami hambatan.
Vakum ekstraktor adalah instrumen medis yang digunakan sebagai alat bantu untuk menarik bayi keluar dari vagina dalam proses persalinan. Dokter biasanya akan membantu persalinan dengan ekstraksi vakum apabila bayi sulit dilahirkan secara normal tanpa alat bantu.
Memang tidak ada yang salah dengn tindakan ekstraksi vakum, karena upaya ini untuk membantu bayi bisa keluar dari vagina. Hanya saja, pada kasus Simon, dokter menduga ada kesalahan manusia (human error) dalam prosesnya.
Grace dan suaminya sempat berpikir untuk menuntut dokter dan rumah sakit yang membantunya melahirkan Simon. Namun, pada akhirnya mereka memutuskan untuk membatalkan niat tersebut.