Menuntut pihak yang diduga bertanggungjawab ujung-ujungnya hanya akan buang-buang waktu, tenaga dan biaya pastinya, dan tidak akan dapat mengembalikan Simon ke kondisi normal. Grace dan suami akhirnya sepakat fokus pada perkembangan Simon.
Saat saya pertama kali bertemu Simon, usianya kala itu sudah 15 tahun, dan duduk di sekolah menengah pertama.
Bila melihat sepintas tidak ada perbedaan Simon dengan anak- anak remaja lainnya.
Saya salut dengan perjuangan dan effort Grace sebagai ibu. Grace terlihat sungguh-sungguh berjuang agar Simon mendapat pengasuhan dan pendidikan terbaik demi masa depannya. Hampir tidak pernah terdengar keluhan keluar dari bibirnya walau dalam keadaan letih sekalipun.
"Saya tidak akan selamanya mendampingi anak ini. Saya hanya ingin kelak Simon bisa mandiri dan tidak bergantung pada orang lain," ujar Grace satu kali kepada saya.
Sekolah inklusi memang sangat mendukung anak berkebutuhan khusus untuk berkembang sesuai minat dan ketertarikannya.
Sekolah inklusi tempat Simon bersekolah sepertinya mengarahkan Simon pada dunia teknik khususnya perbengkelan.
Terbukti kala itu Simon sudah cukup paham dan mengerti perihal teknik khususnya kendaraan roda empat.
Satu kali ketika studi tur ke sebuah bengkel, Grace bercerita bahwa Sinon tampak cekatan mengganti ban mobil dalam waktu yang lebih singkat dari teman-temannya.
Melihat Grace saya menyadari betapa perjuangan seorang ibu sangat luar biasa. Grace menyingkirkan semua kesenangannya sendiri demi Simon.
Sebagai ibu dari anak berkebutuhan khusus, Grace harus belajar banyak hal agar mampu memaksimalkan tumbuh kembang anaknya.
Tugas dan tanggungjawab Grace cukup banyak. Sebagai istri bagi suaminya, sebagai ibu yang mengurus domestik rumah tangga, juga sebagai ibu bagi Simon dan anak keduanya yang tumbuh normal.