Mohon tunggu...
Martha Weda
Martha Weda Mohon Tunggu... Freelancer - Mamanya si Ganteng

Nomine BEST In OPINION Kompasiana Awards 2022, 2023. Salah satu narasumber dalam "Kata Netizen" KompasTV, Juni 2021

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ibu, Guru Pertamaku atas Banyak Hal

1 Desember 2020   13:53 Diperbarui: 1 Desember 2020   13:58 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ibu dan anak (Sumber : Pexels.com/Cotttonbro)

Berbicara tentang peran ibu dalam membesarkan anak-anak memang selalu menarik. 

Setiap ibu pastinya selalu berupaya untuk memberikan yang terbaik buat anak-anaknya, sejak dalam kandungan. Peran ibu ini nantinya sangat mempengaruhi anak-anak dalam hal penanaman nilai, norma dan pembentukan karakter anak.

Bila dikatakan ibu adalah guru pertama yang mengajarkan anak banyak hal, saya sangat setuju. Bahkan saat belajar membaca, saya ingat, ibu yang menjadi guru pertama bagi saya. Kendati kemudian saya dimasukkan ke Taman Kanak-kanak dan belajar baca-tulis di sana, namun peran ibu sangat berpengaruh dalam mendampingi saya belajar di rumah.

Di luar hal pelajaran, banyak sekali norma, aturan, dan teladan yang beliau ajarkan. Aturan-aturan dan teladan yang beliau berikan mungkin terdengar remeh dan terlihat sederhana, namun ternyata sangat saya rasakan manfaatnya di kemudian hari tatkala beranjak dewasa. Beberapa yang menarik di antaranya saya bagikan dalam artikel ini.

1. Mencintai makanan rumah
Sejak kecil kami tidak dibiasakan jajan atau beli makanan di luar. Ibu selalu menyediakan kebutuhan makanan yang kami perlukan, mulai dari makanan utama hingga makanan ringan.

Selain makanan utama, hampir setiap hari beliau membuatkan kami berbagai penganan tradisional, agar kami anak-anaknya tidak pernah kelaparan. Pisang goreng, ubi goreng, singkong rebus, lepat pisang atau singkong, kolak, dan berbagai penganan lainnya selalu tersedia hampir setiap hari dengan menu berganti-ganti. Bahan-bahan penganan yang digunakan pun umumnya tidak ibu beli, namun didapat langsung dari kebun yang ada di sekeliling rumah kami.

Maksud ibu ini tentu saja baik. Selain memanfaatkan hasil kebun sendiri dan lebih irit, makanan rumah buatan ibu tentunya lebih sehat dan higienis.

Kebiasaan ini terbawa hingga kini saya berumahtangga. Saya berusaha untuk menyediakan makanan dan penganan buatan tangan sendiri. Hanya saja, keterbatasan waktu dan tenaga seringkali membuat usaha tersebut tidak selalu terwujud. Kadang-kadang saya harus membeli juga dari luar, namun tentunya tetap mempertimbangkan unsur kesehatan dan kebersihan.

2. Menjaga lingkungan rumah tetap bersih
Ibu sangat apik dalam masalah kebersihan rumah. Sejak kecil saya melihat ibu secara rutin membersihkan debu di sudut-sudut rumah, kamar, kamar mandi, dapur, perabotan, bahkan halaman rumah. Beliau tidak betah melihat lingkungan yang kotor. Beliau pun akan marah bila kami ketahuan membuang sampah sembarangan.

Kegiatan bersih-bersih ini akan semakin intens menjelang hari raya Natal dan Tahun Baru. Paling tidak satu bulan sebelumnya, akan terlihat pembersihan di sana-sini, setiap hari hingga beberapa hari menjelang Natal.

Ketika saya mulai bersekolah, saya pun sering mendapat tugas untuk membantu kegiatan bersih-bersih ini. 

Kebiasaan hidup bersih ini saya ikuti hingga kini. Saya pun kini mengajarkan anak saya untuk menjaga lingkungan tetap bersih di mana saja berada, baik di rumah, di sekolah, maupun di tempat umum. Salah satunya dengan cara membuang sampah pada tempatnya.

3. Membersihkan pembalut bekas pakai
Ketika saya mulai mengenal datang bulan pertama kali, ibu mengajarkan untuk menggunakan tampon dari kain atau handuk kecil. Kain dan handuk itu harus langsung dicuci dan dijemur setelah digunakan. Kala itu saya belum mengenal pembalut sekali pakai. Setelah kuliah dan hidup jauh dari orangtua, barulah saya menggunakan pembalut sekali pakai. 

Kebiasaan mencuci pembalut sehabis pakai, lanjut terbawa hingga kini meski sudah menggunakan pembalut sekali pakai. Jadi sebelum pembalut bekas saya buang, pembalut itu saya bersihkan terlebih dahulu menggunakan deterjen hingga bersih.

Ternyata kebiasaan yang diajarkan ibu ini ada manfaatnya.

Di tahun-tahun terakhir perkuliahan, saya ngekos bersama teman-teman mahasiswi di sebuah rumah yang terletak di dalam komplek perumahan dekat kampus. Di kompleks ini juga terdapat beberapa rumah lagi yang dijadikan kos-kosan baik khusus mahasiswa maupun mahasiswi.

Di kompleks ini beberapa anjing peliharaan milik warga bebas berkeliaran, dan umumnya anjing-anjing ini jinak. Jamak diketahui, anjing memiliki penciuman yang tajam, termasuk penciuman akan bau darah.

Ternyata banyak rekan-rekan mahasiswi yang membuang pembalut bekas pakainya begitu saja ke tempat sampah depan rumah tanpa dibersihkan terlebih dahulu. Akibatnya pembalut-pembalut bekas itu menjadi sasaran perburuan anjing-anjing tersebut.

Alhasil pemandangan tidak sedap pun sering tersaji. Pembalut-pembalut yang masih ada kotorannya berceceran di sepanjang jalan sekitar rumah kos. Lingkungan sekitar pun menjadi kotor dan bau.

Sayangnya, ketika saya mencoba mengutarakan hal ini, seorang rekan mahasiswi yang berlaku demikian terkesan tidak peduli, dan tetap pada kebiasaannya.

4. Seorang ibu sebaiknya mampu mengambil peran ayah
Sejak kecil saya terbiasa melihat ibu menyiangi rumput dan tanaman liar di kebun dan halaman rumah kami. Karena rumah kami dikelilingi halaman merangkap kebun yang cukup luas, beberapa kali ibu pula yang mengatasi bila ada hewan tak diundang masuk ke rumah. Ular contohnya. Hanya dengan menyiramkan minyak tanah atau cairan baygon, ibu bisa membuat ular yang bersembunyi di sudut rumah keluar dalam keadaan lemas.

Ibu juga mampu memperbaiki dan menambal lantai semen yang rusak, memperbaiki tiang jemuran, hingga memperbaiki perabotan kayu yang rusak. 

Pekerjaan tersebut sepertinya lebih cocok bila dikerjakan oleh laki-laki. Hanya saja karena ayah sibuk dengan urusan mencari nafkah, maka ibu yang mau tidak mau mengambil peran itu.

Itu pula yang saya lakukan kini. Karena kesibukan suami, sebisa mungkin saya mengambil alih bagiannya. Seperti memperbaiki kabel listrik yang putus, memperbaiki tiang jemuran yang patah, memperbaiki perabotan kayu yang rusak atau mengejar tikus yang masuk ke rumah (walaupun kadang agak geli dan takut sih...). 

Tidak ada yang salah dengan ibu mengambil peran ayah, karena sejatinya ayah dan ibu sebagai pasangan suami istri harus saling membantu dan melengkapi.

5. Dilarang mendengarkan/menguping pembicaraan orangtua atau orang dewasa
Saat masih anak-anak, kami dilarang untuk menguping atau ikut mendengarkan pembicaraan orangtua atau orang dewasa. Baik antara ayah dan ibu maupun saat ayah ibu kedatangan tamu seperti rekan atau kerabat. Kami selalu diminta untuk masuk ke kamar atau mencari kesibukan sendiri.

Cara mendidik ini sepertinya terdengar kuno dan feodal. Tapi tentu saja ada sisi positifnya. Karena ada kalanya, percakapan antara orang dewasa atau orangtua belum layak didengar oleh anak-anak. Aturan ini pun mengajarkan anak-anak untuk tidak terlalu ingin tahu atau menaruh perhatian yang berlebihan pada urusan orang lain. 

6. Dilarang pacaran hingga lepas SMA
Saya tidak ingat pasti sejak kapan ibu melarang kami pacaran. Yang saya ingat sejak mulai masuk dunia remaja hingga duduk di bangku SMA, saya tidak berani pacaran. jadi meskipun ketika SMP dan SMA ada beberapa siswa laki -laki yang mencoba mendekati dan menaruh perhatian lebih pada saya, namun saya tidak berani menyambut perhatian salah satu dari mereka. Bukan apa-apa, saya takut dimarahi ibu bila ketahuan pacaran.

Ibu sangat keras untuk masalah satu ini. Beliau telah mewanti-wanti agar kami anak-anaknya tidak boleh pacaran hingga lepas bangku SMA. Maksudnya tentu baik, agar anak-anaknya memusatkan perhatian hanya untuk pelajaran.

Dan memang aturan ini saya rasakan manfaatnya. Perhatian saya fokus hanya belajar, hingga akhirnya saya bisa diterima di sebuah perguruan tinggi negeri lewat jalur undangan.

Bila saya sudah mulai pacaran saat masih duduk di bangku sekolah menengah, mungkin saja saya tidak bisa mempertahankan prestasi dan tidak bisa masuk ke perguruan tinggi negeri seperti yang saya cita-citakan.

7. Berhemat dan menabung
Saya melihat ibu sangat ketat dalam mengatur pengeluaran rumah tangga. Bukan pelit. Namun beliau membeli barang seperlunya, tidak berlebihan. 

Setiap awal tahun, kami anak-anaknya diberi masing-masing satu tabungan dari tanah liat. Selama satu tahun kami akan mengisinya dari sisa uang jajan kami. Dan beberapa minggu menjelang Natal, tabungan itu akan dipecahkan. Uang tabungan itulah nantinya akan digunakan untuk membeli baju baru dan sepatu baru kami guna keperluan merayakan Natal.

Kebiasaan berhemat yang telah diajarkan sedari kecil, sangat bermanfaat tatkala saya mulai hidup sendiri, merantau jauh dari orangtua untuk kuliah. Uang yang dikirimkan orangtua setiap bulannya selalu saya cukup-cukupkan untuk keperluan satu bulan. Tidak pernah saya meminta uang tambahan.

Agar uang kiriman yang tidak banyak tersebut cukup untuk satu bulan, saya mengatur pengeluaran dengan ketat. Saya tidak akan membeli barang di luar kebutuhan kuliah. Makanan yang saya konsumsi pun jarang yang mewah. Ikan dan daging ayam termasuk makanan mewah bagi saya kala itu. 

Sebenarnya bisa saja saya meminta tambahan uang kiriman, dan mungkin permintaan saya akan dipenuhi. Hanya saja saya tidak tega. Anak mereka bukan hanya saya. Saya tidak mau mereka susah karena saya.

Bukan hanya hemat dalam penggunaan uang, ibu juga mengajarkan hemat dalam hal-hal lain. Penggunaan listrik misalnya. Pada malam hari, lampu- lampu yang tidak digunakan akan dimatikan. Selain menghemat pembayaran tagihan listrik, hal inipun baik untuk menghemat penggunaan energi listrik.

***

Di tengah pandemi COVID-19 dimana anak-anak belajar dari rumah, orangtua khususnya ibu dapat lebih intens menanamkan nilai-nilai moral dan karakter pada anak. Penerapan nilai-nilai moral dan karakter dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan realistis dan konkret yang dapat dilakukan di rumah, seperti disiplin bangun pagi meski sekolah dari rumah, menyelesaikan tugas sekolah sesuai jadwal, hemat dalam menggunakan air dan listrik, disiplin membuang sampah pada tempatnya dan menjaga kebersihan rumah, hingga membantu orangtua di rumah.

Penerapan kebiasaan-kebiasaan baik pada anak sebaiknya dimulai sejak dini. Begitu pula dengan pemberian tugas dan tanggung jawab. Sehingga pada akhirnya anak akan melihat kebiasaan yang baik, tugas dan tanggung jawab yang diberikan bukan sebagai beban, namun sebagai sesuatu yang bernilai positif bagi hidup dan masa depannya.

Salam. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun