Mohon tunggu...
Martha Weda
Martha Weda Mohon Tunggu... Freelancer - Mamanya si Ganteng

Nomine BEST In OPINION Kompasiana Awards 2022, 2023. Salah satu narasumber dalam "Kata Netizen" KompasTV, Juni 2021

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ibu, Guru Pertamaku atas Banyak Hal

1 Desember 2020   13:53 Diperbarui: 1 Desember 2020   13:58 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ibu dan anak (Sumber : Pexels.com/Cotttonbro)

Pekerjaan tersebut sepertinya lebih cocok bila dikerjakan oleh laki-laki. Hanya saja karena ayah sibuk dengan urusan mencari nafkah, maka ibu yang mau tidak mau mengambil peran itu.

Itu pula yang saya lakukan kini. Karena kesibukan suami, sebisa mungkin saya mengambil alih bagiannya. Seperti memperbaiki kabel listrik yang putus, memperbaiki tiang jemuran yang patah, memperbaiki perabotan kayu yang rusak atau mengejar tikus yang masuk ke rumah (walaupun kadang agak geli dan takut sih...). 

Tidak ada yang salah dengan ibu mengambil peran ayah, karena sejatinya ayah dan ibu sebagai pasangan suami istri harus saling membantu dan melengkapi.

5. Dilarang mendengarkan/menguping pembicaraan orangtua atau orang dewasa
Saat masih anak-anak, kami dilarang untuk menguping atau ikut mendengarkan pembicaraan orangtua atau orang dewasa. Baik antara ayah dan ibu maupun saat ayah ibu kedatangan tamu seperti rekan atau kerabat. Kami selalu diminta untuk masuk ke kamar atau mencari kesibukan sendiri.

Cara mendidik ini sepertinya terdengar kuno dan feodal. Tapi tentu saja ada sisi positifnya. Karena ada kalanya, percakapan antara orang dewasa atau orangtua belum layak didengar oleh anak-anak. Aturan ini pun mengajarkan anak-anak untuk tidak terlalu ingin tahu atau menaruh perhatian yang berlebihan pada urusan orang lain. 

6. Dilarang pacaran hingga lepas SMA
Saya tidak ingat pasti sejak kapan ibu melarang kami pacaran. Yang saya ingat sejak mulai masuk dunia remaja hingga duduk di bangku SMA, saya tidak berani pacaran. jadi meskipun ketika SMP dan SMA ada beberapa siswa laki -laki yang mencoba mendekati dan menaruh perhatian lebih pada saya, namun saya tidak berani menyambut perhatian salah satu dari mereka. Bukan apa-apa, saya takut dimarahi ibu bila ketahuan pacaran.

Ibu sangat keras untuk masalah satu ini. Beliau telah mewanti-wanti agar kami anak-anaknya tidak boleh pacaran hingga lepas bangku SMA. Maksudnya tentu baik, agar anak-anaknya memusatkan perhatian hanya untuk pelajaran.

Dan memang aturan ini saya rasakan manfaatnya. Perhatian saya fokus hanya belajar, hingga akhirnya saya bisa diterima di sebuah perguruan tinggi negeri lewat jalur undangan.

Bila saya sudah mulai pacaran saat masih duduk di bangku sekolah menengah, mungkin saja saya tidak bisa mempertahankan prestasi dan tidak bisa masuk ke perguruan tinggi negeri seperti yang saya cita-citakan.

7. Berhemat dan menabung
Saya melihat ibu sangat ketat dalam mengatur pengeluaran rumah tangga. Bukan pelit. Namun beliau membeli barang seperlunya, tidak berlebihan. 

Setiap awal tahun, kami anak-anaknya diberi masing-masing satu tabungan dari tanah liat. Selama satu tahun kami akan mengisinya dari sisa uang jajan kami. Dan beberapa minggu menjelang Natal, tabungan itu akan dipecahkan. Uang tabungan itulah nantinya akan digunakan untuk membeli baju baru dan sepatu baru kami guna keperluan merayakan Natal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun