"Wes....gak mau ikut ke warung?"
Dia malah marah. "Jangan maksa2!" protesnya.
Habis kesabaran saya. "Kamu tuh lapar banyak yg ngasih makan. Sekarang giliran kenyang kamu lupa ama saudara", omel saya sekenanya. Astaghfirullah....saya ngudal2 (membuka2) barang yg sudah masuk perut.
Anak itu sangat disayang keluarga. Dia begitu mirip kakeknya (bapak saya). Pendiamnya, cara duduknya, hobinya main bola, plek almarhum bapak. Jadi kalo dia tiba2 keras kepala gini, itu sangat mengecewakan.
Bisa saja saya berangkat sendiri ke warung, tapi itu tak mendidik dia untuk peduli pada saudaranya. Juga gak ngajarinya usaha, hanya terima beres. Lagi pula kalau dia di rumah cuma ngegame terus.
Dia menangis. Sayapun menyesal sudah mengucapkan kata2 kasar.
"Ayo berangkat," kusuruh ia segera bonceng.
"Iya, tapi aku gak beli."
Ah, dia sudah sakit hati dan tak selera makan.
Di warung ia tak mau ikut masuk. Saya membiarkan dia duduk menunggui parkiran. Membawanya berjalan di tempat orang ramai dengan mata sembab tentu akan membuatnya malu. Apalagi kalau nanti ketemu kawan2nya.
Di konter saya beli 3 nasi kotak untuk 3 anak bibi. Spageti kesukaan bocah abege sudah habis. Terus ke warung lain, ada pizza dan burger.