Mohon tunggu...
Bergman Siahaan
Bergman Siahaan Mohon Tunggu... Penulis - Public Policy Analyst

Penikmat seni dan olah raga yang belajar kebijakan publik di Victoria University of Wellington, NZ dan melayani publik di Kota Medan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Industri Garmen Perlu Ditahan, Peredaran Pakaian Bekas Perlu Didorong

27 Maret 2023   01:29 Diperbarui: 28 Maret 2023   16:23 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pakaian bekas dipajang di sebuah toko di Selandia Baru (Foto: Dok. Pribadi)

Bulan Maret 2023, masalah impor pakaian dan sepatu bekas mencuat lagi. Ini bukan masalah baru melainkan masalah lama yang muncul musiman. 

Para pelaku industri tekstil dan pejabat pemerintah kompak menyoal argumen yang sama: impor ilegal, sampah berpenyakit, dan mematikan industri lokal.

Berdasarkan ketiga argumen tersebut, pemerintah kemudian melarang impor pakaian bekas. Publik pun terbelah dua, ada yang pro dan ada yang kontra.

Pro-kontra itu sebenarnya biasa namun di sini ada pertanyaan penting yang harusnya telah terjawab sebelum kebijakan diambil, yakni: Apakah ketiga argumen tersebut valid? Esai ini coba mendiskusikan validitas ketiga argumen tersebut.

Impor ilegal?

Situs BBC Indonesia pernah menulis fakta bahwa selisih data impor pakaian bekas versi BPS (Badan Pusat Statistik) dengan data ekspor versi negara pengekspor sangat besar. BBC mencatat ekspor pakaian bekas ke Indonesia pada tahun 2021, versi negara pengekspor, sebesar 27.412 ton yang bernilai US $31,91 juta.

Sementara data impor versi BPS pada tahun itu konon hanya delapan ton dengan nilai US $44 ribu! Angka ini cukup fantastis. Artinya, 99,9% volume impor pakaian bekas tidak terdata alias tidak melalui prosedur impor yang legal.

Sayang, data yang dipaparkan BBC kurang rinci, hanya disebutkan bersumber dari situs Trade Map. Tidak bisa ditelusuri lebih lanjut, misalnya dari negara mana saja yang melaporkan ekspor tersebut dan rentang waktu data diperoleh.

Namun, baiklah, kita terima saja data tersebut dengan kesimpulan bahwa impor pakaian bekas tersebut ilegal dan tidak dipungut bea. Direktorat Jenderal Bea Cukai juga mengaku telah melakukan 234 penindakan terhadap total 6.177 bal pakaian bekas impor ilegal selama tahun 2022.

Impor ilegal tentu melanggar peraturan dan merugikan negara, serta pebisnis legal, secara finansial. Pemerintah tidak perlu mengeluarkan instruksi pelarangan impor pakaian bekas (jika mengacu pada titik permasalahan impor ilegal ini) karena aktivitas tersebut memang ilegal, terlepas apapun jenis barangnya.

Solusi terhadap masalah impor ilegal tentu dengan peningkatan pengawasan barang masuk ke tanah air. Perlakuan yang sama untuk semua jenis barang yang masuk ke wilayah Indonesia.

Sampah berpenyakit?

Pakaian bekas (selanjutnya termasuk sepatu) memang limbah tapi belum tentu sampah. Mungkin agak sulit memperdebatkan ini dalam terminologi bahasa Indonesia tetapi dalam bahasa Inggris, pengertian limbah (waste) dan sampah (garbage) lebih jelas.

Limbah (waste) adalah benda yang tidak digunakan lagi karena penurunan nilai yang biasanya sisa dari produksi. Limbah belum tentu tidak berguna sehingga ada proses pengolahan limbah agar bisa digunakan meski dalam bentuk yang lain.

Sampah (garbage) adalah benda yang tidak berguna atau barang sekali pakai. Sampah (jika mengacu pada pengertian kata) tidak bisa didaur ulang walaupun bisa diolah lebih lanjut. Misalnya sampah sayuran, dia tidak bisa digunakan lagi sebagai sayuran atau turunannya tetapi bisa diolah menjadi pupuk eco-enzym.

Di negara maju, garbage dan waste tidak pernah disatukan pembuangannya karena berbeda karakteristik dan cara menanganinya. Pakaian bekas, di luar negeri, selalu disebut dengan waste kecuali yang sudah membusuk atau tidak berbentuk lagi. Benda seperti itu tentu tidak bisa disebut pakaian, bukan?

Dengan demikian, pernyataan bahwa pakaian bekas (dalam arti masih utuh dan layak pakai) adalah sampah, kurang tepat. Lebih tepatnya adalah limbah. Sampah tentu harus dibuang tetapi limbah harus didaur ulang. Limbah justru tidak boleh langsung dibuang ke alam.

Namun mendaur ulang pakaian bekas itu sangat sulit. Menurut beberapa sumber, salah satunya BBC, hanya 1% pakaian bekas yang bisa didaur ulang menjadi pakaian baru. Sumber yang lain, salah satunya situs Greenmaters, menyatakan bahwa limbah pakaian bisa terdaur ulang hingga 15%. Sisanya berakhir di tempat sampah.

Apakah pakaian bekas rentan terhadap penyakit? Saya belum menemukan penelitian yang jadi rujukan pemerintah. Malah di negara-negara maju, perputaran pakaian bekas lazim dilakukan.

Pakaian bekas tidak dianggap hal buruk, memalukan, atau berpenyakit meski tidak ada orang yang bisa memastikan kesehatan pemakai sebelumnya.

Pakaian bekas menjadi favorit di negara-negara maju. Bukan hanya pelajar dan orang miskin, yang memang punya dana terbatas, orang-orang mapan yang ingin berhemat atau suka berburu barang bekas (thrifting) turut menggemari toko pakaian bekas. Mengapa demikian?

Bahaya industri garmen

Industri garmen sebenarnya berdampak buruk terhadap lingkungan. World Economic Forum menyebut bahwa industri garmen menyumbang 10% emisi karbon manusia. Cucian pakaian melepaskan 500.000 ton fiber mikro ke laut setiap tahunnya, setara dengan 50 miliar botol plastik!

Belum lagi menyoal besarnya air yang dihabiskan untuk memproduksi pakaian. Industri garmen merupakan industri terbesar kedua dalam menghabiskan air.

Ironisnya, perkembangan teknologi, mode, dan gaya hidup menyebabkan warga bumi semakin menganut fast fashion. Yaitu penggunaan pakaian dalam waktu relatif singkat kemudian membeli pakaian baru dengan mode yang lebih baru lagi.

Sumber-sumber menyebutkan bahwa 73-95% pakaian bekas berakhir di TPA padahal pakaian memakan waktu yang relatif lama untuk terurai. Pakaian jenis wol bisa terurai hingga 5 tahun, nilon 40 tahun, dan polyester 200 tahun.

Selama itu, pakaian melepaskan gas rumah kaca atau pewarna pelindian, dan bahan kimia berbahaya lainnya ke tanah dan air. Polusi.

Dampak buruk pakaian terhadap lingkungan ini sudah diangkat banyak penelitian. Didasari pemahaman itulah, negara-negara maju telah lama mengampanyekan untuk tidak membuang pakaian bekas tetapi mengedarkannya. Kebijakan ini sering disebut zero waste.

Banyak lembaga-lembaga sosial di negara maju yang menampung pakaian bekas dan menyalurkannya ke orang-orang yang membutuhkan. Sebagian memang dijual di toko tetapi dengan harga sangat murah. Tujuannya tetap sama, untuk membantu orang-orang yang membutuhkan.

Di Selandia Baru (pasti juga di negara Eropa lainnya), tempat sampah khusus untuk pakaian (clothing bin) disediakan di mana-mana. Orang-orang dihimbau untuk tidak membuang pakaian bekas tapi mendonasikannya. Slogan yang sering diapungkan: "reduce waste and help others" atau "keep your clothes and shoes out of landfill".

Peredaran pakaian bekas memang memberikan manfaat secara sosioekonomi. Bayangkan, berapa orang yang terbantu secara ekonomi dengan donasi pakaian bekas atau yang dijual murah. Ya, konsep sebenarnya adalah donasi, bukan bisnis.

Perputaran pakaian bekas juga memberi manfaat terhadap lingkungan, yakni mengurangi polusi. Selain polusi yang disebabkan pakaian bekas di TPA, perputaran pakaian bekas juga berpotensi menekan produksi pakaian baru yang terbukti berkontribusi terhadap pencemaran lingkungan.

Mematikan industri lokal?

Sekarang kita masuk ke argumen ketiga, apakah perputaran pakaian bekas mematikan industri lokal? Hanya penelitian yang bisa menjawab pertanyaan ini. Analisis data yang benar akan menunjukkan apakah perputaran pakaian bekas berpotensi mematikan industri garmen lokal atau tidak.

Namun saya juga belum menemukan dokumen atau berita mengenai penelitian seperti itu yang diutarakan pemerintah atau pelaku usaha industri garmen. Dengan keterbatasan data dan informasi, kita hanya bisa menggunakan logika sederhana baik yang diutarakan pihak pro maupun pihak kontra.

Pejabat pemerintah dan pelaku usaha umumnya menyebut harga pakaian bekas yang lebih murah menjadi faktor yang merugikan industri garmen lokal. Logika tersebut belum bisa diterima secara ilmiah.

Perlu penelusuran lebih mendalam untuk membuktikan kausalitasnya. Berapa jumlah pakaian impor bekas ilegal dibanding produksi pakaian baru sehingga bisa mengganggu penjualan pakaian baru lokal? Ataukah ada pengaruh dari pakaian impor legal lain?

National Chairman IFC, Ali Charisma mengambil contoh penurunan tenaga kerja industri tekstil di Kenya. Ali mengatakan bahwa penurunan tenaga kerja di industri tekstil di Kenya, dari 500 ribu orang menjadi 20 ribu orang, disebabkan oleh masuknya pakaian impor ke Kenya.

Perhitungan Ali itu bisa dibilang absurd karena korelasinya kurang jelas. Apakah 480 ribu pekerja industri tekstil berubah profesi menjadi penjual pakaian bekas atau berkurang karena PHK yang disebabkan oleh penurunan produksi industri? Pun penurunan industri garmen di Kenya perlu dicari tahu penyebab sebenarnya.

Pernyataan berlawanan datang dari Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira. Bhima mengatakan bahwa gangguan terhadap industri garmen lokal lebih besar disebabkan oleh impor legal pakaian dari Cina.

Hitungannya dari besar impor. Bhima menyebut, impor pakaian dari Cina pada tahun 2022 mencapai Rp 6,2 triliun. Sementara, melihat data impor pakaian bekas di paragraf awal esai ini, hanya sekitar Rp 446,7 miliar. Logika ini kelihatannya lebih masuk akal.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia atau API, Jemmy Kartiwa Sastraatmadja, mengatakan industri garmen menurun karena pelemahan rupiah dan anjloknya permintaan global, khususnya Eropa dan Amerika.

Seperti diketahui bahwa negara-negara Eropa dan Amerika mengalami kesulitan ekonomi. Pakaian tentu merupakan barang yang bisa ditunda pembeliannya dengan memanfaatkan perputaran pakaian bekas dalam negeri mereka.

Industri garmen bertumbuh?

Meski demikian, secara kasat mata kita masih melihat banyak gerai pakaian baru buka dimana-mana. Mulai dari yang branded di mal-mal, hingga yang relatif murah di pasar-pasar tradisional dan pertokoan. Jangan-jangan barang yang mereka jual murah itu adalah barang impor yang legal?

Kementerian Industri justru merilis fakta bahwa industri garmen Indonesia ternyata terus bertumbuh. Pada tahun 2019, pertumbuhan industri garmen tercatat sebesar 19,48%, lebih tinggi dari pertumbuhan industri minuman.

Pada tahun 2020 dan 2021, industri garmen memang anjlok akibat pandemi, namun di tahun 2022 kembali naik. Pada triwulan III tahun 2022, pertumbuhan industri garmen Indonesia dilaporkan sebesar 8,09% dibandingkan periode yang sama di tahun 2021.

Fakta pertumbuhan industri garmen ini diperkuat dengan adanya sembilan industri yang melakukan perluasan investasi pada tahun 2021. Total investasi kesembilan industri tersebut di Pulau Jawa dilaporkan sebesar Rp 2 triliun dan di Pulau Sumatera sebesar Rp 8,5 triliun.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita justru optimis bahwa industri tekstil Indonesia akan terus tumbuh dan menjadi basis produksi untuk pasar domestik dan ekspor. Ia menyebut industri garmen Indonesia sebagai sunrise industry.

Saya tidak menyalahkan optimisme Menteri Perindustrian. Indonesia memang telah lama menjadi pemain garmen internasional. Mengambil sampel di Selandia Baru, produksi pakaian Indonesia banyak digunakan merek-merek ternama, khususnya aparel olahraga.

Namun di kelas bawah, kita kalah dengan produksi Cina, India, dan Bangladesh. Harga mungkin menjadi penyebab kalah saingnya produsen kita di kelas bawah tetapi secara kualitas kita bisa bersaing di kelas menengah ke atas.

Kesimpulan

Benar bahwa industri garmen Indonesia mengalami penurunan sejak pandemi, namun beberapa sumber menyebutkan itu disebabkan oleh menurunnya permintaan dari negara-negara konsumen. Pun setelah pandemi perlahan kembali naik.

Impor ilegal tetap salah dengan alasan apa pun. Seandainya impor pakaian bekas bisa dilegalkan dan dipungut pajak maka aktivitas itu akan berkontribusi terhadap pendapat negara. Harga jual pakaian bekas pun menjadi lebih tinggi sehingga tidak terlalu jauh dari pakaian baru.

Harga yang tidak terlalu jauh akan mengurangi minat terhadap pakaian bekas dan secara alamiah juga menurunkan besar impornya. Kebijakan seperti ini sedikit-banyak bisa mengurangi tekanan terhadap produksi lokal.

Bahwa memang ada aturan yang melarang impor pakaian bekas, yakni Peraturan Menteri Perdagangan sendiri, yakni Nomor 18 Tahun 2021. Aturan itu melarang impor barang tertentu, antara lain kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas.

Pemerintah seyogyanya cukup menggunakan aturan ini sebagai argumen pelarangan impor pakaian bekas, bukan alasan lain yang belum dikaji dengan baik. Pun demikian, faktor sosio-ekonomi dan lingkungan perlu menjadi perhatian para pengambil kebijakan.

Perlu dipahami bahwa peredaran pakaian bekas tetap punya manfaat dalam memenuhi kebutuhan pakaian masyarakat. Mengingat pula bahwa jumlah masyarakat dengan ekonomi rendah masih sangat besar di negeri ini.

Industri garmen sendiri memang perlu ditekan mengingat dampak buruknya terhadap lingkungan. Hal ini sudah lama menjadi perhatian negara-negara maju. Mungkinkah itu salah satu alasan mereka lebih memilih impor?

Kebijakan publik pada hakikatnya diambil untuk menyelesaikan suatu masalah. Dalam mengambil kebijakan publik, permasalahan perlu dipetakan dan diurai agar jelas diketahui bentuk dan karakteristiknya sehingga bisa dicari solusinya. Kajian yang lemah hanya akan menjauhkan kebijakan dari efektivitasnya.

Kebijakan juga bersifat dinamis. Selalu ada perkembangan data dan informasi yang mempengaruhinya. Sama seperti esai ini yang sangat mungkin diralat dengan temuan data dan informasi yang lebih akurat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun