Mohon tunggu...
Bayu Bergas
Bayu Bergas Mohon Tunggu... -

Pemalas dan menyebalkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cerita Picisan: Perempuan Tangguh

30 Juli 2010   17:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:26 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_210912" align="aligncenter" width="313" caption="foto oleh Bayu Bergas"][/caption]
...

If adalah perempuan paling tangguh.
Setidaknya dulu, dalam rentang lima tahun kami bersahabat.

Ayahnya telah lama terhajar stroke dan beberapa tahun yang lalu telah meninggal. Ibunya berjualan tas dan beberapa pernik rumahtangga pada sebuah kios di pasar. Tentu mudah ditebak, If tak lain adalah perempuan sederhana. Seperti gambaran di cerita dongeng kebajikan: pagi ia bersekolah, siaga di kios dari siang hingga petang. Malam selalu terlelap dengan cepat.

"Aku mengantuk," keluhnya.
Ia lalu menguap lebarlebar disertai oaaaahhhmmm... dengan volume besar.
Selalu. Selalu seperti itu. Matanya yang sembab semakin terlihat. Kantung matanya seperti hendak terjatuh.
Duh, betapa ia tampak begitu perempuan.

Bagiku keluhannya itu lebih tampak sebagai penunjuk waktu. Betapa tidak, If akan mulai mengantuk menjelang pukul delapan malam. Setidaknya, aku tak perlu repot merogoh ponsel di kantung celana untuk tahu waktu. Cukup menunggu ia bilang 'aku mengantuk' maka itu berarti tak pernah lebih dari jam delapan.

Kalipertama aku memang memastikan:
"Apa itu pertanda aku harus segera pulang?"
"Hahaha... Tidak. Tentu bukan itu. Rutinitas dan kelelahanlah yang membuatku mengeluh."
Dan ia berhasil meyakinkanku, karena dua jam setelahnya barulah biasanya aku pulang. Ini berlangsung dari hari ke hari.

If adalah perempuan sederhana. Ini selalu aku katakan pada siapapun yang menanyakan hubungan kami. Ia seolah hendak bilang: bedakanlah yang mana kebutuhan dan yang mana keinginan. Bagi If, kebutuhan adalah yang harus terpenuhi. Tapi tidak demikian dengan keinginan. Keinginan selalu mengejar manusia, katanya.

If adalah perempuan paling tangguh.
Setidaknya dulu, dalam rentang lima tahun kami bersahabat.

"Lusa pulang?" tanyamu di telepon
"Oke. Bisa." jawabku

Itu mulai terjadi pada tahun kedua selepas sma. If di Semarang dan aku ke barat. Kami harus janjian terlebih dahulu untuk bertemu.

"Kenapa tak bermalamminggu di tempat lain?" tanya if
"Mengusir?" aku balik bertanya
"Hahaha... Kenapa kamu selalu balik bertanya sih! Tendensius pula!"
Aku ikut tertawa. Lalu If masuk ke dalam, membuatkan teh.
"Kamu selalu membuatkanku teh hangat untukku."
If terdiam sejenak. Menunduk ia. Matanya menatap lekatlekat pada cangkir kecil di depanku. Pandangannya menerawang dan tersenyum kecil.
"Dan kamu selalu datang," katanya sembari menatapku
Aku tertawa. Wajahnya agak memerah.
"Bukankah sahabat selalu datang?!" kataku
If hanya diam. Mengangguk kecil.

If adalah perempuan paling tangguh.
Setidaknya dulu, dalam rentang lima tahun kami bersahabat.

"Kenapa tak memberitahuku?"
If hanya diam. Tak menjawab.
"Setiap hari kita terhubung. Telepon. E-mail. Sms."
Ia tetap tak bersuara. Sedikit suara mendengung karena sinyal tak terlalu bagus.
"Sahabat selalu ada, bukan?! Kenapa tak mau berbagi kabar gembira ini denganku?"
Masih diam. Lama. Dan aku juga tak berkata apapapa lagi.
"Oke..." suara if terdengar parau. Tersendat ia. Terdengar nafasnya. "Oke. Sekarang aku ingin berbagi kebahagiaan ini denganmu..." katakatanya tak selesai. Suara mendengung terdengar agak keras.

Aku menanti. Ponsel kutempelkan lebih erat ke telinga.
Tibatiba If terisak di seberang sana. Lirih. Tapi aku tahu ia mulai menangis. Nafasnya tak teratur.
"Bicaralah..." pintaku
Isaknya semakin keras. Lama. Dan aku hanya terdiam. Benarbenar terdiam. Menunggu.

Ia mulai mengatur nafasnya.
"Aku... Aku... " suaranya tercekat. Patahpatah. If terisak lagi.
Dan ia mengatakannya juga padaku, sebelum tangisnya meledak.
"Aku... Perempuan dalam pinangan..."

If adalah perempuan paling tangguh.
Setidaknya dulu. Dulu sekali. Saat orangorang mulai renta.

Perlahan aku merasakan kehilangan yang luar biasa. Terasa sakit. Sakit sekali.
Pernahkah merasakan bahwa batas antara sahabat dan kekasih ternyata sedemikian tipis?

Mataku terasa perih. Kami tak berkata apapun. Hanya diam dan tangis If yang menguasai. Semakin lama semakin keras terdengar.

Diam...

Diam...

Diam...

"Katakanlah sesuatu," batinku

Tangis...

Tangis...

Tangis...

"...Aku mencintaimu, lelaki bodoh," terdengar di antara isaknya. Mataku terasa perih.
"Aku tahu itu," jawabku lirih.
"Kamu tahu, tapi tak pernah mengerti..."
"Jangan bilang selama ini kamu menungguku!"
"Tidak. Aku tidak pernah menunggu. Aku berusaha. Aku berusaha meraihmu."
Aku tercekat. Tak mampu berkata.

Diam. Tangis.

"Apa? Apa yang harus aku lakukan?"
"Tak ada. Tak bisa."
"Tentu bisa!" kataku setengah berteriak.
"Apa yang bisa kamu lakukan? Mengacaukan semuanya? Membawaku pergi? Hahh! Ini bukan film, bodoh!"
Aku tersentak.
"Aku yakin, kamu mampu melakukan apapun. Aku tahu itu karena aku sangat mengenalmu. Bahkan untuk mengacaukan semuanya, kamu sangat bisa. Karena aku pun takkan bisa menolak apapun bersamamu..."
Aku menyadari bahwa ini sudah terlalu jauh.
"...tapi aku perempuan dalam pinangan..."

Tangisnya tak mereda. Sama sekali tidak.

Diam, If...

Diam..

Diam, If...

"Apa ia lelaki baik?" pertanyaan bodoh yang lahir dari ketakberdayaan.
"Tentu. Ia melamarku," jawaban yang sempurna untuk sebuah pertanyaan bodoh.

Diam...

"Kapan?" tanyaku
"Lima hari lagi," jawabnya
Telepon aku tutup.

Tengah malam. Ponsel berbunyi. Ibu.
"Ia menelpon. Meminta restu."
"Baguslah," jawabku singkat
"Ia terus menangis dan meminta maaf."
"Untuk apa ia meminta maaf?"
"Katanya, ia telah berlaku jahat padamu."
Ahhh! Perempuan memang pintar mengambil hati.
"Jangan terlalu bersedih ya," pinta ibu.
Aku diam.
"Lelaki tidak haram menangis kok," katanya setengah meledek.
"Hahaha... Tidak, terimakasih." jawabku agak mengingkari.
"Yakinlah, kamu akan semakin kuat."
"Tentu! Tentu saja!" jawabku cepat.
Tapi tibatiba terasa pedih mengingat semuanya. Aku tahu, ini hanyalah satu cerita gombal kekanakkanakan.

Ibu terus berkatakata. Berusaha menguatkanku atau hendak sekadar menghibur. Entahlah.
Apapun itu, suara di ujung sana masih terdengar meski menjadi samar kemudian.
Ponsel terhempas.

Dan aku mulai merintih.

Aku mencintaimu, If.
Setidaknya dulu. Dulu sekali.
Saat orangorang mulai renta.
Dan saat kamu masih perempuan tangguh
.*

.
*Purwokerto, jelang pernikahan If.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun