Diam...
"Kapan?" tanyaku
"Lima hari lagi," jawabnya
Telepon aku tutup.
Tengah malam. Ponsel berbunyi. Ibu.
"Ia menelpon. Meminta restu."
"Baguslah," jawabku singkat
"Ia terus menangis dan meminta maaf."
"Untuk apa ia meminta maaf?"
"Katanya, ia telah berlaku jahat padamu."
Ahhh! Perempuan memang pintar mengambil hati.
"Jangan terlalu bersedih ya," pinta ibu.
Aku diam.
"Lelaki tidak haram menangis kok," katanya setengah meledek.
"Hahaha... Tidak, terimakasih." jawabku agak mengingkari.
"Yakinlah, kamu akan semakin kuat."
"Tentu! Tentu saja!" jawabku cepat.
Tapi tibatiba terasa pedih mengingat semuanya. Aku tahu, ini hanyalah satu cerita gombal kekanakkanakan.
Ibu terus berkatakata. Berusaha menguatkanku atau hendak sekadar menghibur. Entahlah.
Apapun itu, suara di ujung sana masih terdengar meski menjadi samar kemudian.
Ponsel terhempas.
Dan aku mulai merintih.
Aku mencintaimu, If.
Setidaknya dulu. Dulu sekali.
Saat orangorang mulai renta.
Dan saat kamu masih perempuan tangguh.*
.
*Purwokerto, jelang pernikahan If.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H