Tangis...
Tangis...
Tangis...
"...Aku mencintaimu, lelaki bodoh," terdengar di antara isaknya. Mataku terasa perih.
"Aku tahu itu," jawabku lirih.
"Kamu tahu, tapi tak pernah mengerti..."
"Jangan bilang selama ini kamu menungguku!"
"Tidak. Aku tidak pernah menunggu. Aku berusaha. Aku berusaha meraihmu."
Aku tercekat. Tak mampu berkata.
Diam. Tangis.
"Apa? Apa yang harus aku lakukan?"
"Tak ada. Tak bisa."
"Tentu bisa!" kataku setengah berteriak.
"Apa yang bisa kamu lakukan? Mengacaukan semuanya? Membawaku pergi? Hahh! Ini bukan film, bodoh!"
Aku tersentak.
"Aku yakin, kamu mampu melakukan apapun. Aku tahu itu karena aku sangat mengenalmu. Bahkan untuk mengacaukan semuanya, kamu sangat bisa. Karena aku pun takkan bisa menolak apapun bersamamu..."
Aku menyadari bahwa ini sudah terlalu jauh.
"...tapi aku perempuan dalam pinangan..."
Tangisnya tak mereda. Sama sekali tidak.
Diam, If...
Diam..
Diam, If...
"Apa ia lelaki baik?" pertanyaan bodoh yang lahir dari ketakberdayaan.
"Tentu. Ia melamarku," jawaban yang sempurna untuk sebuah pertanyaan bodoh.