Mohon tunggu...
Tirto Karsa
Tirto Karsa Mohon Tunggu... Buruh Pabrik -

"Hidup hanya senda gurau belaka"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rantai Keluarga

13 Februari 2018   09:33 Diperbarui: 14 Februari 2018   22:53 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

" Hushhhhh." Ayu menaruh jari telunjuk di bibirnya. " jangan keras-keras. Jangan sampai Ayahmu dengar dan membuatnya emosi." Bisiknya.

" Aku juga perempuan. Aku hidup di kota orang juga. Namun aku lebih cerdas dari Fitri." Fatimah menurunkan suaranya.

" Harusnya dia bergabung bersama kita sekarang. Seandainya saja dia tidak melakukan kebodohan." Farida menyahut.

" Sudah, hentikan. Bagaimanapun itu, dia juga adikmu." Ayu mengingatkan.

" Ini semua gara-gara mas Fatah yang terlalu memanjakannya. Apapun yang dia minta dituruti. Mas Fatah harus bertanggung jawab mengenai ini." Farida berdiri meninggalkan ruang tamu.

Fatah memanggil Sasa, dia membukakan pintu kamar Fitri agar Sasa lari keluar menakuti Ayahnya. Ayahnya berlari ketakutan meninggalkan kamar Fitri dan ikut bergabung dengan anak-anaknya yang lain dan istrinya di ruang tamu. Kini Sasa berjaga di belakang ruang tamu, tepat di tengah pintu yang memisahkan ruang tamu dengan kamar Fitri.

" Anjing Iblis, dia selalu membuatku takut." Gerutu Rahman. 

" Kamu sendiri yang mendidik anak kesayanganmu, hingga dia berani merawat anjing di rumah kita." Farida marah. Dia memang orang yang paling berani mengungkapkan perasaan dan pikirannya.

" Anjing Najis, seperti anak yang dilahirkan Fitri. Dia itu tidak mau menikah dan tiba-tiba pulang membawa anak haram itu ke rumah suci kita." Farhat seolah tidak merasakan apapun saat mengucapkannya.

Waktu terus berjalan, Ayu telah selesai menyajikan makan siang di meja makan. Saat perdebatan semakin memuncak di meja makan, saat itulah Ayu merasa orang yang paling tidak dianggap dalam keluarga. Selama ini, dia merasa menjadi orang yang paling tidak berguna. Dia tidak pernah diberikan kesempatan untuk memberikan pendapat. Dalam diam, Air mata Ayu mengalir deras.

" Diam, Aku akan mengirim anak haram itu ke panti asuhan. Sebelum tetangga tahu mengenai kelahirannya. Kita keluarga terhormat dan tidak semestinya muka kita dicoreng oleh kehadiran anak Haram itu." Rahman menutup perdebatan saat menyadari bahwa Istrinya telah bermandikan Air mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun