Hembusan angin gunung membawa serta kabut yang sebelumnya tersangkut pepohonan di lereng -- lereng perbukitan. Kokok ayam milik warga desa saling sahut -- menyahut memberikan tanda akan datangnya hari baru. Sasa, seekor anjing betina duduk di samping kepala Fitri - pemiliknya, dengan ekspresi wajah ketakutan. Seolah Sasa mengetahui bagaimana sakitnya Fitri yang sedang berusaha membangun sejarah baru hidupnya, melahirkan seorang anak yang sangat dinantikannya.
Ketika Bayinya sudah benar-benar lahir, layaknya seorang dukun bayi atau bidan, Sasa segera pergi menghampirinya, memandingi Bayi laki-laki yang penuh dengan darah itu dan kemudian berjaga di dekat pintu Kamar. Fitri berusaha duduk tegak dengan sisa-sisa tenaganya. Dia raih Bayinya, dia potong ari-arinya dan dibawanya ke kamar mandi untuk dibersihkan.
Kebahagiaan Fitri benar-benar memuncak ketika suara tangis Bayi itu mulai terdengar olehnya. Fitri menari dengan memutar-mutar tubuhnya beberapa kali, melupakan rasa nyeri yang masih hinggap di selangkangannya. Dia bersyukur, anaknya lahir dalam kondisi normal tanpa kekurangan apapun.Â
Sementara itu, Rahman- ayah Fitri terbangun oleh suara tangis Bayi. Dia bergegas untuk mengambil perjalin yang disimpannya di balik pintu dan meninggalkan istrinya yang menggigil ketakutan. Dia berjalan menuju kamar Fitri, salah satu anak perempuan yang dimilikinya. Dia yakin dari kamar itulah sumber suara tangisan itu berasal.Â
Rahman berhenti tapat di depan pintu kamar anaknya tepat ketika suara tangis bayi itu berhenti dan terdengar suara anjing yang sedang berjaga. Dia takut pada air liur najisnya dan pada gigitannya. " Jadi apa aku kalau anjing laknat itu menggigitku?" Gerutunya.
Rahman pergi ke ruang tamu mengambil kursi dan menjaga pintu Fitri. Dia sama berjaganya dengan Sasa yang berada di baliknya, seolah siap merobek apapun yang akan membuka pintu kamar Nyonya-nya.Â
Fitri membersihkan kasurnya, mengganti seprai yang penuh dengan darah. Dia menahan semua rasa sakit yang diakibatkan oleh persalinannya. Dia ingin memberikan contoh pada jagoan kecilnya yang belum bernama itu tentang arti kemandirian dan tanggung jawab. Bahwa apa yang diakibat oleh dirinya harus ditanggungnya sendiri dengan tanpa bantuan siapapun. Fitri mulai terpikir tentang nama anaknya, " Bagaimana jika aku memberimu nama Mabda'? Nama yang sangat disukai oleh bapakmu, nak."
Jauh di perkotaan, sebuah mobil vios melaju dengan gaya zig-zag menuju keluar kota. Beberapa kali, mobil itu membuat pengendara lain ketakutan hingga mengerem mendadak. Di dalamnya, terdapat dua orang lelaki dengan berpakaian preman yang duduk di depan dan seorang lelaki lain yang terikat di kursi belakangnya. Sesekali , lelaki yang duduk di bangku kiri memukulkan tangan kanannya ke kepala lelaki yang di belakang.Â
Sebuah nada dering handphone berbunyi kencang di meja ruang tamu. Â Ayu, Ibu Fitri mengambilnya dan kemudian menyerahkan Handphone yang masih berbunyi itu ke tangan suaminya.
" Halo. Bagaimana Tih?" Rahman membuka pembicaraan.
" Semua dalam keadaan baik Pa. Apa yang harus aku lakukan sekarang dengannya pa?" Suara kakak tertua Fitri, Fatih.Â
" Bawa dia ke Rumah!"Â
" Baik Pa. Akan aku aku hadiahkan dia untukmu."
Fatah, Kakak Fitri yang kedua masuk ke rumah dengan tergesa-gesa. Dia ingin masuk ke dalam kamar Fitri, namun Rahman menahannya.
" Apa urusanmu di sini?" Bentak Rahman.
" Bagaimanapun dia adalah adikku. Kamu harus ingat itu." Sanggah Fatah.
Fatah menyingkirkan ayahnya dengan paksa. Dia segera masuk ke dalam kamar Fitri.Â
" Bagaimana kabar anakmu Fit?" Tanya Fatah sambil menutup pintu kamar Fitri.
" Dia baik mas. Lihat, tampan sekali bukan?"
" Persis seperti ayahnya." Fatah tersenyum.
Di ruang tamu, Ayu telah bersama ketiga anaknya yang lain, Farida, Fatimah dan Farhat. Mereka sebentar-sebentar mengintip Ayah mereka yang sedang berjaga sambil membawa perjalin. Mereka takut, kalau sewaktu-waktu Ayahnya lepas kendali dan memukuli Fitri.
" Ini kejadian yang sangat memalukan. Mestinya Fitri lebih cerdas." Fatimah memulai pembicaraan.
" Hushhhhh." Ayu menaruh jari telunjuk di bibirnya. " jangan keras-keras. Jangan sampai Ayahmu dengar dan membuatnya emosi." Bisiknya.
" Aku juga perempuan. Aku hidup di kota orang juga. Namun aku lebih cerdas dari Fitri." Fatimah menurunkan suaranya.
" Harusnya dia bergabung bersama kita sekarang. Seandainya saja dia tidak melakukan kebodohan." Farida menyahut.
" Sudah, hentikan. Bagaimanapun itu, dia juga adikmu." Ayu mengingatkan.
" Ini semua gara-gara mas Fatah yang terlalu memanjakannya. Apapun yang dia minta dituruti. Mas Fatah harus bertanggung jawab mengenai ini." Farida berdiri meninggalkan ruang tamu.
Fatah memanggil Sasa, dia membukakan pintu kamar Fitri agar Sasa lari keluar menakuti Ayahnya. Ayahnya berlari ketakutan meninggalkan kamar Fitri dan ikut bergabung dengan anak-anaknya yang lain dan istrinya di ruang tamu. Kini Sasa berjaga di belakang ruang tamu, tepat di tengah pintu yang memisahkan ruang tamu dengan kamar Fitri.
" Anjing Iblis, dia selalu membuatku takut." Gerutu Rahman.Â
" Kamu sendiri yang mendidik anak kesayanganmu, hingga dia berani merawat anjing di rumah kita." Farida marah. Dia memang orang yang paling berani mengungkapkan perasaan dan pikirannya.
" Anjing Najis, seperti anak yang dilahirkan Fitri. Dia itu tidak mau menikah dan tiba-tiba pulang membawa anak haram itu ke rumah suci kita." Farhat seolah tidak merasakan apapun saat mengucapkannya.
Waktu terus berjalan, Ayu telah selesai menyajikan makan siang di meja makan. Saat perdebatan semakin memuncak di meja makan, saat itulah Ayu merasa orang yang paling tidak dianggap dalam keluarga. Selama ini, dia merasa menjadi orang yang paling tidak berguna. Dia tidak pernah diberikan kesempatan untuk memberikan pendapat. Dalam diam, Air mata Ayu mengalir deras.
" Diam, Aku akan mengirim anak haram itu ke panti asuhan. Sebelum tetangga tahu mengenai kelahirannya. Kita keluarga terhormat dan tidak semestinya muka kita dicoreng oleh kehadiran anak Haram itu." Rahman menutup perdebatan saat menyadari bahwa Istrinya telah bermandikan Air mata.
Fatah telah mempersiapkan segalanya. Alat untuk membawa si bayi, obat-obat penghilang rasa sakit, dan beberapa pakaian bersih yang telah di masukkan ke dalam tas rangselnya. Fitri pelan-pelan telah didudukkannya. Ari-ari si kecil Mabda' dimasukkan ke dalam kotak yang telah disediakannya dan dimasukkan ke dalam tasnya.
" Kamu ndak papa Fit?" Fatah membisiki adiknya.
" Tidak mas, hanya saja sakitnya sudah mulai terasa semua. Bolehkah aku membawa serta Sasa bersama kita mas?"
" Memang itu recananya. Biarkan Sasa membuka jalan dan kemudian dia mengawal perjalanan kita."
" Baik mas."
Mabda ditaruh di kereta bayi. Fatah menggendong Fitri sambil mendorong kereta. Meskipun agak kesusahan, Fatah nampak sangat bahagia melakukannya. Beberapa kali dia cium kening Fitri. Fatah keluar kamar dan kemudian berhenti tepat di depan pintu. Dia tampak kaget pada pemandangan yang ada dihadapannya. Matanya membelalak dan tubuhnya tiba-tiba tegak. Sasa megonggong dengan keras.
" Apa yang kamu lakukan padanya Tih?" Bentak Fatah.
Segera seluruh keluarga yang masih di ruang makan berhamburan menuju sumber suara. Kini Rahman mulai berada di tengah antara Fatih dan adiknya yang sedang bersitegang. Fatah menurunkan Fitri dan mendudukkannya di kursi tamu yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.
" Mana laki-laki yang telah mencemarkan nama baik keluarga kita?" Rahman segera berlari dan menghajar seorang lelaki yang masih terikat itu dengan perjalinnya. " lelaki brengsek, sudah berani bertindak tidak mau bertanggung jawab. Mau lari kemana kau?"
Seketika Fitri pingsang menyaksikan aksi bapaknya yang tampak dari jendela kaca rumahnya.Â
" Hentikan!" Bentak Fatah. " Aku tidak ingin apa yang terjadi di sini menarik perhatian tetangga." Fatah mengetahui kalau yang paling dipedulikan oleh keluarganya adalah tetangga sekitar rumahnya. " Aku tidak ingin, besok seluruh desa menggunjingkan kita." Suaranya merendah.
Fatih menggotong lelaki yang diikat itu dan membawanya masuk. Dia mendudukkan lelaki itu di samping Fitri yang masih tergeletak pingsang.Â
" Siapa namamu?" Tanya Rahman.
" Mike, Pak." Lelaki itu ketakutan. Tubuhnya gemetar. Tampak memar cukup banyak dibagian mukanya.
" Kau asli mana?" Tanya Fatih.
" Medan Bang."
" Owh, Anak medan rupanya kau." Fatih tertawa mengejek. " Kamu kira setelah membuat malu keluargaku dengan menghamili Adik perempuanku, kamu bisa hidup tenang?" Fatih mengunus parang yang diselipkan pada jaketnya.Â
" Sudah. Aku tidak ingin pertumpahan darah terjadi di saat kelahiran generasi baru keluarga kita." Fatah mencoba menengahi.
" Generasi baru?" Rahman berdiri sambil menggenggam erat perjalin, yang dia percaya dapat melumpuhkan semua jurus kebal. "Kau ingin memasukkan anak haram kedalam anggota keluarga kita?"
Fatah berdiri dan membalikkan badannya, sehingga ayahnya sekarang berada di belakang punggungnya. " baik, dia anggota keluargaku. Dia anak dari adikku. Tidak peduli kalian mengakuinya atau tidak." Fatih menghadapi tantangan ayahnya. Dia membalikkan badannya kembali. "Seandainyapun berdosa, itu dosa Fitri orang tuanya. Aku tidak ingin anaknya ikut menanggung akibatnya." Tegas Fatah.
Fitri sadarkan diri. Fatah kembali menggendong adiknya, membawanya keluar. Di depan rumah, mobil alphard miliknya telah menunggu tepat di depan teras. Di sana, istri cantiknya membukakan pintu untuk Fitri dan dirinya. Kemudian istrinya berlari untuk mengabil bayi yang dijaga Sasa. Dia membawa bayi itu dan Sasa mengikutinya dari belakang.Â
Fatih merasakan kejanggalan. Mike yang jauh-jauh dia datangkan dari kota sama sekali tidak mempengaruhi Fitri ataupun membuat Fitri merasakan simpati.
" Apa hubunganmu dengannya?" Fatih menodongkan pisaunya ke leher Mike.
" Aku ayah dari Bayinya." Mike tampak bersedih. " Aku sudah lama mengejarnya, sejak kuliah. Sampai sepuluh tahun setelah lulus, namun aku tetap tidak bisa memilikinya. Aku hanya diberikan hadiah anak, atas jerih payahku mengejarnya. Dia tetap tidak menjadi milikku." Air mata Mike mengalir deras.
Rahman ingat, bagaimana dia memaksa agar Fitri menikah dengan Raharjo, anak kepala desa setelah lulus dari SMA. Dia mengingat, Fitri kecil yang memar oleh pukulan Raharjo. Dia mengingat, pada suatu malam, Fatah pulang dengan Fitri digendongannya tanpa suara dan tanpa kesadaran.Â
" Jika kalian sentuh Fitri, adikku , Jangan salahkan jika salah satu anggota tubuhmu hilang. Aku ingin menyekolahkannya." Ancam Fatah.
Hari itulah hari pertama dia diancam oleh anaknya sendiri dan untuk kali terakhir dia mengetahui kabar Raharjo yang konon telinganya digigit oleh salah satu anjing Fatah saat mandi di Sungai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H