Mohon tunggu...
Tirto Karsa
Tirto Karsa Mohon Tunggu... Buruh Pabrik -

"Hidup hanya senda gurau belaka"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tenggelam

7 Februari 2018   09:43 Diperbarui: 7 Februari 2018   09:54 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gambaran dirinya tampak jelas terpampang dalam cermin persegi yang ditempel pada pojok kiri kamarnya di dekat jendela kayu yang tiap pagi dibukanya usai menunaikan sembahyang fajar. Dari tempat tidurnya, Roziqin berdiri meninggalkan istrinya yang sudah jauh berkelana bersama riak kehidupan bawah sadarnya. Dia mendekatkan dirinya pada cermin yang sebelumnya menampilan bayangan dirinya utuh. Sekarang, bayangannya yang tampak di cermin hanya separuh dari tubuhnya. 

Matanya beradu dengan mata bayangannya. " Hei, orang dalam cermin." Panggilnya sambil menarik napas panjang. " Kau telah banyak membantu orang agar dapat menjadi orator ulung. Sekarang, aku akan memintamu untuk membantuku kembali menjadi orator hebat." Roziqin tersenyum.

Dia mengeluarkan selembar kertas dari laci meja rias istrinya yang berada di samping kanannya. Dia buka kertas itu dengan tangan kanannya hingga tampak  tulisan tangan miliknya. Lembaran kertas itu dipindahkannya ke tangan kiri dan tangan kanannya mengambil Peci yang digantungkan di dinding dan mengenakananya di kepala. " Sudah siap." Gumamnya dalam hati.

"Dengan rahmat Tuhan yang Maha esa, kita  berkumpul di sini untuk menghadiri pembukaan Latihan Dasar Organisasi kita." Roziqin merasa kurang puas dengan nada tinggi -- rendah suaranya. Kurang lebih tiga kali dia berdeham dan kemudian mengulang-ngulang kalimatnya untuk menemukan nada yang tepat.  Namun, ingatannya pergi meninggalkan kesadarannya.

Roziqin mengingat pidatonya pada minggu lalu yang tidak seorangpun mendengarkannya. Dia terasa masih berada di depan hadirin yang abai pada materi yang telah seminggu sebelumnya dipersiapkannya. Keringat dinginnya tiba-tiba keluar dan tubuhnya gemetar. Roziqin kembali menatap sepasang mata dalam cermin. Dia meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia bakal mampu kembali seperti dulu, seorang orator ulung.

*** 

Tinggal di sebuah kota santri kecil yang terletak diperbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, Roziqin kecil tumbuh dalam budaya agama yang sangat kuat. Berkat itu pula, Roziqin kecil  mendapat kesempatan untuk menimba ilmu agama sejak masih duduk di kelas satu sekolah dasar. Sehingga pada saat memasuki Sekolah Menengah Pertama, Roziqin telah mampu menguasai ilmu Fiqih imam Syafi'i baik Karya lamanya ataupun yang baru.

Mengetahui kemampuan Roziqin kecil yang cukup menonjol dalam bidang fiqih, pihak pesantren tempat dia mengaji memutuskan untuk mengikutkannya dalam lomba da'i yang diadakan oleh pemerintah kabupaten. Pada awalnya, Roziqin menolak. Namun setelah mendapatkan paksaan dari kedua orang tuanya, akhirnya Roziqin kecil menerima permintaan pesantrennya.

Siang harinya sepulang dari sekolah, Roziqin kecil dikagetkan dengan keberadaan sebuah cermin yang ukurannya separuh dari tinggi badannya dan di taruh di samping jendala. Merasa cermin itu bukan miliknya, Roziqin kecil melempar tasnya ke atas kasur dan berlari keluar mencari Ayah atau ibunya. 

Waktu itu, Ayahnya sedang bersantai di ruang tamu, ketika Roziqin pemalu itu tergopoh-gopoh panik. Roziqin menghampiri Ayahnya.

" Yah, itu di kamarku kok ada cermin?"

" Aku yang membelikannya Qin."

" Untuk apa?"

" Untukmu berlatih pidato sebagai dai kecil."

" mengapa harus menggunakan cermin Yah latihannya"

" Dahulu para pemimpin kita melakukannya dan mereka berhasil menjadi pembicara di depat khalayak umum."

" Mengapa gedhe banget Yah?"

" Itu sesuai perhitungan fisika Qin. Agar kamu dapat melihat sekujur tubuhmu dalam cermin, minimal ukuran cermin harus separuh dari tubuhmu. Itu gak gedhe."

Roziqin, tidak begitu mengetahui maksud ayahnya. Dia hanya tahu, bahwa ayahnya membelikan cermin untuk latihan berpidato. Sejak saat itu pulalah, Cermin dari Ayahnya seringkali menemaninya saat dia ingin berpidato di acara, organisasi dan audien yang berbeda.

***   

Roziqin melanjutkan pidatonya, " Pelatihan ini merupakan awal dari pendidikan panjang anda di organisasi kita tercinta, sehingga nanti anda semua dapat menjadi seorang yang tangguh dalam menghadapi tantangan jaman." Roziqin mencoba menata suaranya kembali. " Seorang pemuda harus siap menghadapi perubahan dan di sini kita akan menjadi perintis dari perubahan itu". Suaranya terdengar sangat membara penuh gairah.

" Qin, Jangan keras-keras! Nanti bisa didengar tetangga. Jangan sampai mereka menganggap kita gila." Istrinya, zahro' terbangun dari tidurnya. 

" Baik cantik." Roziqin mendekat pada zahro'. Dia cium kening istrinya sambil mengelus rambutnya dan kemudian melanjutkan pidatonya. " Perubahan harus dimulai dari diri kita. Mulai dari hal kecil yang ada dalam diri kita dengan membiarkan diri menggerus kepentingan pribadi kita dan mengutamakan kepentingan umum." Kini suaranya tidak seperti sebelumnya yang membara. 

Roziqin merasa haus. Dia berhenti sejenak untuk mengambil air minum dari morong dekat tempat tidur istrinya. Dalam perjalanan menuju tempat tempat morong yang jaraknya hanya sekitar sepuluh langkah, tiba -- tiba tubuhnya lemas. Dia mencoba menjaga agar tubuhnya tetap seimbang.

Dia benar-benar kehilangan tenaganya, pandangan matanya terasa kabur. Kaki kirinya kehilangan tenaga. Kaki kanannya menyusul dan tubuhnya terasa oleng. Matanya gelap dan suara jangkrik yang terdengar merdupun lenyap dari pendengarannya.

*** 

Dengan membawa dua buah minuman coklat di tangannya, Reza mendatanginya usai kelas pengantar ekonomi pembangunan. 

" Harusnya, kau tidak sendirian di sini qin." 

" Aku rasa, ini tempat terbaik untukku za. Ada apa za, kok tumben kamu menyempatkan bicara denganku?"

Reza menyodorkan salah satu minumannya pada Roziqin. "Aku tadi membelinya di kantin."

" Terima kasih." keduanya saling berdiaman.

" Aku dengar kamu dulu pernah menjadi juara Da'i. Apakah itu benar qin?"

" Sudah lama itu za. Mana aku ingat."

" Temanku, ada yang satu kampung denganmu ."

" Benarkah? Siapa dia?" Roziqin penasaran.

" Fatimah, dia teman SMA ku."

" Kamu berarti sekolah di SMA 2 za?"

Reza menganggukkan kepala. " Bukankah kamu punya ketertarikan di agama Qin?"

Roziqin berdiri dan seolah-olah hendak meninggalkan Reza. Namun kemudian dia duduk kembali. " Kenapa kamu tanyakan itu Za?"

" Aku ingin mengajakmu masuk ke oraganisasi agama yang aku ikuti."

****  

Roziqin menemukan kesadarannya, dia pelan-pelan mencoba berdiri dengan menjadikan ranjang tempat istrinya sebagai tumpuan. Dia geser tubuhnya dan kemudian di rebahkan badannya di kasur, tepat di samping istrinya. 

Istrinya terbangun dari tidurnya. " Kamu kenapa Qin?"

" Aku baru saja pingsan. Badanku lemas." 

Istrinya kaget. Dia bangkit dari tidurnya. Dia ambil gelas di meja sampingnya dan kemudian mengisinya dengan air dari morong. " Sepertinya pikiranmu terlalu keras menghukum dirimu Qin." 

" Sepertinya aku tidak menyukai budaya dalam organisasi ini. Dan sebagai ketua, aku terjebak di dalamnya. Antara budaya lama dan hati nuraniku."

" Budaya apa maksudmu?"

*** 

Pagi itu saat hujan baru saja reda di Kota Garam, Seluruh peserta pelatihan dikumpulkan dalam sebuah aula di dekat kantor organisasi induk. Sebuah aula dengan bau Tinner dan semen yang masih tircium kuat.

Seorang laki-laki yang berusia setengah baya kemudian berdiri mendatangi para peserta. Roziqin pada akhirnya mengetahui kalau laki-laki itu adalah ketua dari organisasi yang dia masuki.

" Gedung ini baru saja dibangun. Biayanya berasal dari diri kita sendiri. Kita membangun semuanya secara swadaya tidak memberatkan pemerintah."

Peserta pelatihan bertepuk tangan sambil berteriak semangat. Roziqinpun merasa bangga bahwa organisasinya sangat mandiri. Bahwa Organisasinya sungguh merupakan organisasi yang sangat bersih. Tidak seperti organisasi lainnya yang mengandalkan dana dari pemerintah untuk bertahan hidup.

" Bagaimana caranya agar kita dapat terus membangun dan membesarkan nama organisasi kita?" Ketua itu berjalan di sela-sela peserta pelatihan. Dia memberikan Mic nya ke salah seorang peserta.

Dengan gugup dan setengah takut, peserta itu menjawab " Dengan Iuran."

" Ya, itulah maksud saya. Kita membutuhkan Iuran Rutin sebagai Infaq agar roda organisasi kita tetap dan terus berjalan." Ketua itu tersenyum. " Berapa besaran Infaq yang dapat kalian bayar?" 

Roziqin dengan semangat berdiri dan kemudian menjawab, " Sesuai Infaq yang berlaku sebelumnya."

Seluruh peserta pelatihan bertepuk tangan. Mereka menyalami Roziqin.

" Baik, akan saya catat. Pembayaran maksimal akhir bulan ini." Tutup ketua itu.

***

" Budaya yang berlaku di organisasi Tim. Organisasi kita tampak seperti mayat hidup, kekal namun tidak bernyawa." Roziqin menarik napas. " Yang paling menyedihkan, organisasi kita sudah seperti vampir, mayat hidup penghisap darah sesamanya. Bahkan organisasi kita dapat melahirkan penghisap darah baru tiap waktunya."

" Tetapi, bukankah itu umum terjadi di masyarakat kita?" Istrinya duduk tegak.

" Sudah umum, karena bukan hanya organisasi kita yang seperti itu. Namun semua organisasi di negara ini yang seperti itu."

" Mending kamu berhenti saja dan fokus mencari uang."

" Tentu aku lebih baik dari mereka. Aku masih merasa menyesal sedangkan mereka mungkin saja tidak pernah merasa menyesal."

Fatimah, istrinya menampar Roziqin dan kemudian pergi keluar kamar.

*** 

Malam itu semua anggota organisasi hadir dalam musayawarah, termasuk Roziqin. Roziqin yang baru saja menikah itu, hadir dengan mengenakan baju koko biru, hadiah pernikahan dari teman-temannya. Dia duduk tepat di tengah puluhan anggota organisasi yang duduk bersila dengan formasi melingkar.

Sebagaimana hasil rapat sebelumnya, Roziqin mendapatkan mandat untuk menjadi pembawa acara pada malam itu. Dia membuka acara dengan bacaan pembuka, menyanyikan lagu indonesia raya dan melanjutkannya dengan sambutan-sambutan. 

Usai menjalankan tugasnya, Roziqin kembali duduk di samping teman-temannya. Dia kembali memberikan arahan kepada teman-temannya untuk melakukan tugas mereka masing-masing. 

Setelah membacakan laporan dari kepengurusan sebelumnya, Pemimpin sidang mulai menawarkan siapa yang mau mencalonkan diri sebagai ketua selanjutnya. Berkali-kali dia ulang pertanyaannya, namun tidak seorangpun berani menjawab. Hingga akhirnya pimpinan sidang menawarkan kepada hadirin untuk mengusulkan orang-orang yang mereka inginkan menjadi ketua.

" Ayo siapa yang ingin mengusulkan calon?"

Berdirilah satu persatu hadirin untuk mengusulkan calon mereka masing-masing. Terdapat 20 orang calon yang diusulkan oleh hadirin.

" Saya berharap dapat meringkas jumlah calon, untuk mempermudah proses seleksi." Pimpinan sidang memberikan kesempatan kepada para hadirin untuk memberikan masukan.

" Kita perlu melakukan voting. One man One Vote, hingga muncul tiga calon terkuat." Usul salah seorang pemuda yang duduk di dekat pintu. " Pemilihan seesungguhnya kita lakukan untuk tiga terkuat itu." Lanjutnya.

Semua hadirin bersorak tanda setuju.

Roziqin berjalan mondar-mandir di depan gedung. Dia memastikan kalau dirinya lebih unggul dari pesaingnya. Dia pastikan pula, bahwa kemunculan namanya sesuai yang diharapkannya. Dimunculkan dengan alasan yang tepat oleh para pendukungnya. Dia berharap, dapat menyedot pemilih lain diluar loyalisnya.

Ketika sisa tiga kandidat calon ketua umum cabang, Reza, Fathul dan Roziqin. Roziqin segera melakukan manuver bersama dengan para pendukungnya. Mereka menerbitkan mosi tidak percaya kepada Fathul dan Reza yang sebelumnya telah menjabat sebagai pengurus. Roziqin telah mendapatkan deal dengan para hadirin untuk meregenerasikan semua pengurus yang pernah menjabat.

Pidato kemenangannya tentu menjadi pidato yang sangat ditungg-tunggu oleh sebagian besar pendukungnya. Pidatonya yang berisi tentang rejuvenasi gerakan organisasi yang selanjutnya  menggema di kepala setiap pendukungnya. Sehingga mereka memberikan ekspektasi khusus pada Roziqin dan bersedia menjadi loyalis roziqin.

*** 

" Bukankah sudah aku sampaikan berulangkali, kalau pidatomu minggu lalu itu hanya karena kondisimu yang kurang baik dan rasa kepercayaan dirimu yang hilang?" Fatimah kembali masuk ke kamar sambil membawa secangkir kopi. 

" Akupun pada awalnya berpikir demikian. Namun kenyataannya tidak demikian. Aku merasa diriku sudah tidak lagi layak memimpin organisasi ini." Roziqin menangis.

" Memimpin bukan mengenai layak atau tidaknya, melainkan bagaimana baiknya kedepan. Janganlah menjadi cengeng begini kamu." Fatimah memandangi mata Roziqin.

" Kau tidak tahu tim, kamu tidak mengetahui duduk persoalannya." Roziqin memeluk istrinya.

***

Ketika penarikan infaq diberlakukan kembali pada kepengurusannya, Roziqin berusaha menggunakan uang itu untuk kepentingan organisasi. Dia ingin membangun sumber dana abadi organisasi yang nantinya tidak memberatkan anggotanya. Dia berharap apa yang menimpa kepengurusan sebelumnya tidak menimpa kepengurusannya juga. 

Tetapi suasana politik sungguh berbeda. Sebagaimana yang diketahui banyak orang, kedekatan pimpinan organisasi dengan raja pemangku kekuasaan membuat organisasinya mendapat posisi khusus dimata penguasa. Penguasa menganggap organisasi Roziqin sebagai anak emasnya. 

Pada malam sebelum Roziqin Pidato yang berantakan, sebuah dana ratusan juta tertransfer ke rekening organisasi. Hal itu bersamaan dengan jutaan rupiah dana infaq yang tertransfer ke rekeningnya. Tidak seorangpun tahu peristiwa keduanya. Kecuali roziqin dan beberapa orang pengurusnya. 

Dana dari pemerintah tetap digunakan sebagai bekal usaha untuk organisasi. Tetapi apakah uang infaq juga bakal digunakan usaha juga? Roziqin kebingungan untuk memutuskannya.

*** 

Pandangan Roziqin tiba-tiba buram. Dalam gelap, tampak bayangan dirinya meminum sebotol prozax yang didapatkan dari psikeater kemarin lusa. "Tuhan..." desisnya pelan. Suara Fatimah terdengar semakin lama semakin jauh. Hingga pada suatu titik, tiada suara ataupun cahaya yang dapat di rasakannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun