Mohon tunggu...
Benny Wirawan
Benny Wirawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kedokteran dan blogger sosial-politik. Bisa Anda hubungi di https://www.instagram.com/bennywirawan/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Anak Penurut

17 Januari 2019   14:14 Diperbarui: 18 Januari 2019   09:22 908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu pagi Tina dan abangnya, Andi, dengan setia duduk di depan layar kaca. Mata terpana, mulut menganga, mereka menatap tingkah polah Doraemon dan Nobita dengan sesekali tertawa. Ritual di depan cembungnya layar televisi ini memang sudah menjadi tradisi saban Minggu pagi. Bocah-bocah kelas 1 dan 2 SD itu bangun pagi buta, menyalakan televisi di mana kartun kesayangan mereka setia menanti. Bersamaan, Papa bermain handphone sambil selonjoran di sofa dan Mama berjibaku dengan setumpuk pakaian untuk disetrika. Sebentar lagi, ketika setrikaan sudah habis bersamaan terdengarnya jingle penutup film kartun, Mama akan segera ke dapur untuk menyiapkan sarapan pagi bersama.

"Tina!" panggil Mama, tepat waktu. "Sini bantu Mama siapkan piring!"

"Aduh Mama, sekarang Tina mau nonton Barbie," kata Tina merajuk, sama seperti minggu yang sudah-sudah.

"Eh enak saja!" Andi menimpali, tangannya sigap merebut remot televisi. "Aku ngga mau nonton Barbie, kan kartun cewek. Aku mau nonton Dragon Ball."

"Tina, beri abangmu nonton. Kau bantu Mama di dapur."

"Kok Abang dikasih nonton? Kok aku engga? Kan aku juga mau nonton!"

"Biarkan saja abangmu, dia kan laki. Anak wanita itu harus bantu di dapur," kata Mama sambil menyelesaikan membereskan seterika lalu mendahului ke dapur.

"Hei, kau harus dengar Mama itu," kata Andi, mengejek. Televisi kini sudah milik Andi, Jingle Dragon Ball sudah mengisi. Sementara itu, Tina masih tepekur dilantai. Wajahnya cemberut, bibirnya ditekuk, ia merajuk.

"Tina, sejak kapan kau belajar melawan?! Siapa pula yang mengajar?! Sini, kau harus nurut sama orang tua! Atau mau Mama hitung?!" terdengar suara Mama dari dapur, mengancam.

Sebenarnya Tina sedang tak enak hati. Ada hal yang mengganjal dalam pikirannya suduah dua hari. Tapi apa daya. Kalau Mama sudah berhitung, Tina tak berani lagi. Ia tak tahu apa yang terjadi saat hitungan berhenti, tapi Tina tak ada niat menanti. Jika Mama sudah begitu, lebih baik menurut walau tak enak di hati. Akhirnya Tina segera bangun dari tepekur, langkah kecilnya menderap ke dapur.

Demikian satu lagi rutinitas Minggu pagi keluarga Tina dilalui. Tina membantu Mama menyiapkan piring dengan bibir yang terus cemberut. Bahkan setelah piring kembali dibereskannya selepas sarapan dan Tina sudah kembali ke posisi awal di depan cembungnya layar kaca wajahnya tetap ditekuk. Siaran film kartun di sisa Minggu pagi itu tak mampu memancing tawa Tina walaupun di sampingnya Andi terpingkal. Lelah merajuk Tina pun tertidur.

Siang hari menjelang sore Tina terbangun dari tidurnya. Ruang keluarga sudah sepi, Mama dan Bang Andi entah di mana. Hanya tersisa Papa yang mendengkur di atas sofa, handphonenya terpangku manis di dada. Tina bangun dan meregangkan badannya yang sedikit sakit karena tidur di kerasnya lantai.

Baru saja Tina bertanya-tanya ke mana abangnya pergi, yang dipikir muncul di pintu teras. Dengan bola diapit di ketiak dan temannya, Hendra, di sisinya Tina sudah tau abangnya hendak ke mana.

"Tin, kebetulan kau sudah bangun. Kau dipanggil Mama, disuruh bantu angkat jemuran," kata Andi pada Tina.

"Abang hendak ke mana?"

"Kalau Mama tanya, bilang saja aku belajar sama Hendra."

"Belajar kok bawa bola?"

"Sudah, kau bilang saja seperti yang kubilang. Adik itu harus nurut sama kakaknya," tukas Andi lalu ngeloyor pergi. Hendra tak banyak berkata, bak orang bisu tuli. Dari pintu yang tidak ditutup Tina bisa lihat sekelompok bocah bermain dan bercanda. Ada pula Dewi dan Tiwi, sobat-sobatnya.

Baru saja terbangun, wajah Tina sudah kembali cemberut. Aku pun ingin main, batinnya. Kakinya terasa berat saat diseret ke tempat cuci di belakang rumah. Tina malas, tapi dalam batinnya ia tidak berani tidak patuh.

Mama sudah menunggu Tina di tempat jemuran. Keranjang baju tergeletak di sebelahnya baru terisi satu dua lembar.

"Tina sudah bangun? Sini bantu Mama. Mana abangmu?" tanya Mama.

"Eh... abang bilang mau belajar Ma. Sama Bang Hendra," kata Tina ragu-ragu.

"Ah dasar anak badung! Persis kaya bapaknya!" kata Mama sambil membanting selembar kemeja Papa ke keranjang. "Kau jangan ikut-ikutan abangmu ya! Sudah Mama bilang tadi supaya ikut bantu malah membangkang. Sudah keluyuran keluar, anak badung itu berbohong pula!"

"Eh... tapi Ma, aku pun ingin main. Tadi kulihat Dewi dan Tiwi bermain di lapangan seberang," kata Tina, matanya menatap nanar pada kedua jempol kakinya di lantai.

"Heh, kau mau jadi pembangkang juga, seperti abangmu? Mau kumarah pula bersama dia nanti?" tanya Mama mengancam. "Sudah, kau pakai itu sandal lalu sini bantu angkat jemuran. Bocah lelaki pembangkang itu biasa, nanti biar Mama pukul pantatnya dengan wajan. Tapi kau ini anak wanita, harus menurut kata orang tua. Mengerti Tina?"

"Iya Ma," kata Tina, masih pada kedua jempol kakinya. Perlahan Tina pakaikan sandal pada kedua kakinya dan beranjak mengambil posisi di sebelah Mama. Jadi anak itu harus penurut, batinnya, tak boleh melawan. Apalagi jadi anak perempuan, jangankan melawan membalas bicara pun rasanya tak sopan. Ia hanya bisa diam dan menahan semua keinginan.

Selagi Tina bekerja waktu tampak bergerak perlahan. Setelah jemuran terangkat pun pekerjaan Tina belum usai. Selanjutnya ada pula setumpuk baju yang sudah dicuci, siap menggantikan tempat temannya yang sudah kering di tali jemuran. Tak perlu diminta, Tina segera mengambil tempat membantu Mama. Hingga akhirnya mentari telah jingga seiring datangnya senja ketika Papa akhirnya muncul dari tidurnya di atas sofa.

"Ma, sudah masak belum? Papa lapar," itulah kata-kata pertama yang Tina dengar dari Papa hari itu.

"Belum Pa, sebentar lagi ya. Ini sudah hampir selesai," kata Mama patuh. Papa kembali menghilang ke dalam rumah dan Mama semakin bergegas menjemur pakaian.

Rutinitas hari Minggu pagi pun berlanjut ke malam hari. Mama dan Tina menyiapkan makan malam di dapur. Kini giliran Papa yang menguasai televisi untuk menonton berita hari ini. Andi datang menjelang petang dan, sesuai janji pada Tina, Mama mendapratnya sebelum mengijinkannya makan.

Selepas makan Maghrib pun tiba dan Papa memimpin mereka menegakkan salat, Papa menjadi imamnya. Selesai salat semua kembali ke posisi semula: Papa menonton berita, Mama dan Tina hanya diam di sofa, Andi membaca komik, pembangkangan dan hukumannya sore hari sudah terlupa. Malam tiba. Papa sudah beranjak ke peraduannya, Tina dan Andi pun sudah beringsut ke ranjang susun mereka. Andi sudah lelap di ranjang atas ketika Mama masuk untuk bicara pada Tina.

"Tina, hari ini Mama banyak marah pada Tina ya? Mama minta maaf," kata Mama sembari duduk di tepi ranjang, kepalanya menunduk agar tidak terantuk ranjang atas.

"Tina tidak apa-apa kok Ma," kata Tina pelan.

"Tina mengerti kan maksud Mama? Kalau ada orang tua bicara, Tina jangan melawan. Kalau orang tua menyuruh, Tina harus menurut. Kalau Tina seperti itu pasti tidak dimarah lagi," kata Mama lagi.

"Semua orang tua Ma? Kalau Tante Ambar bagaimana? Kalau Pak Tono di sekolah?" tanya Tina polos. Tante Ambar itu adik Mama yang sering juga memarahi Tina, terutama ketika Mama tak ada. Sementara Pak Tono adalah wali kelas Tina yang sering meminta Tina melakukan... hal yang Tina pun tak mengerti itu apa, hal yang mengganjal pikiran Tina dua hari lamanya.

Mama menghelas nafas mendengar pertanyaan Tina, seperti kembali menahan amarah. Tina jadi kembali takut dibuatnya.

"Iya Tina, pokoknya kalau orang tua yang suruh kamu harus nurut," kata Mama akhirnya. "Tidak boleh melawan. Mengerti?"

"Iya Mama. Tina akan jadi anak penurut," janji Tina, patuh. Sebenarnya banyak yang ingin Tina tanya. Kenapa ia harus selalu membantu? Bukankah Bang Andi bermain sepanjang hari, bahkan ayahnya hanya tidur di sofa dan menonton televisi? Pembangkangan Bang Andi sore tadi pun sudah terlupa oleh Mama yang kini mengingatkan Tina akan kesalahannya. Tapi Tina tak mau bertanya lagi, takut dimarahi. Tina memilih bisu. Patuh.

"Nah, begitu dong anak Mama. Pintar," kata Mama sembari mengecup kening Tina. Ia terlihat lega karena Tina berhenti bertanya. Lalu Mama menyelimuti Tina dan mengucapkan selamat malam. Lalu Mama mematikan lampu dan menutup pintu, waktunya tidur.

Sinar mentari memasuki jendela tanda Senin pagi telah datang menyapa. Tina dan Andi sudah selesai mandi, lengkap berseragam sudah siap sekolah. Papa pun lengkap berkemeja dan dasi akan ke kantor mencari rejeki. Tak lupa Mama menyemarakkan meja dengan hidangan untuk sarapan. Maka rutinitas Minggu pagi hari kemarin diganti dengan rutinitas pagi hari Senin.

Jam sekolah datang dan pergi. Tina berjalan kaki ke sekolah bersama Andi. Guru, pelajaran, dan permainan jam istirahat terlewat silih berganti hingga tiba yang dinanti. Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi.

"Tina jangan pulang dulu ya, ada yang mau Bapak bicarakan," kata Pak Tono. Ia memang sering menahan Tina pulang, hampir saban hari ada yang 'dibicarakan'. Tina sudah berjanji pada Mama akan menurut pada orang tua. Maka Tina tidak menggendong tas dan tetap duduk di bangkunya.

Setelah kelas kosong, Pak Tono dengan sigap menutup dan mengunci pintu. Tak lupa semua tirai jendela pun ditutupnya. Anak-anak yang berlarian di lapangan tinggal hanya terdengar suaranya riuh redam, pun yang di luar tak dapat lagi melihat ke dalam. Setelah yakin situasi aman Pak Tono segera beralih pada Tina yang masih duduk diam.

"Tina cantik. Baik sekali hari ini, anak cantik dan pandai. Masih ingat kan yang Bapak ajarkan hari Jumat silam?" kata Pak Tono.

Tina masih ingat semuanya. Sudah beberapa bulan Pak Tono suka mengajak Tina 'bicara' selepas bel pulang berbunyi. Tina mengerti bicara sebagai elusan dan rabaan, kadang kecupan di pipi. Lalu Jumat yang silam Pak Tono meminta Tina membuka baju seragam dan duduk dipangkuannya. Tina ingat tangan Pak Tono yang kasar berbulu pada dada dan perutnya, membelai dan meraba. Bibir basah dan kumis kasar pada pipi dan leher dalam kecupannya. Kini pun ingatan itu membuatnya merinding. Ngeri. Inilah yang mengganjal hati Tina.

Ia lihat Pak Tono sudah duduk menunggu pada sebuah bangku. Ia longgarkan dua kancing bajunya, menampilkan singlet putih lusuh dan dada yang berbulu. Pula telah ia lepaskan sabuk kulit dari pinggangnya, kedua ujungnya dibiarkannya menggantung di depan celana. Pandangannya tajam, bibirnya menyeringai, menampilkan emosi tertentu yang Tina belum tahu. Apapun itu, Tina tak suka melihatnya. Ia takut, kakinya kaku.

Tapi bukankah Pak Tono gurunya? Ia ingat seorang dewasa yang berkata guru adalah orang tuanya di sekolah. Tina pun teringat kata-kata Mama kemarin, ia harus menurut pada kata orang tua, termasuk Pak Tono. Tina juga ingat kalau tidak menurut nanti bisa dimarah seperti Mama kemarin marah padanya.

Maka Tina pun memendam rasa tak nyamannya dalam-dalam. Ia sudah berjanji pada Mama. Tina akan jadi anak penurut. Lagi pula, menjadi anak penurut itu baik bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun