"Ah dasar anak badung! Persis kaya bapaknya!" kata Mama sambil membanting selembar kemeja Papa ke keranjang. "Kau jangan ikut-ikutan abangmu ya! Sudah Mama bilang tadi supaya ikut bantu malah membangkang. Sudah keluyuran keluar, anak badung itu berbohong pula!"
"Eh... tapi Ma, aku pun ingin main. Tadi kulihat Dewi dan Tiwi bermain di lapangan seberang," kata Tina, matanya menatap nanar pada kedua jempol kakinya di lantai.
"Heh, kau mau jadi pembangkang juga, seperti abangmu? Mau kumarah pula bersama dia nanti?" tanya Mama mengancam. "Sudah, kau pakai itu sandal lalu sini bantu angkat jemuran. Bocah lelaki pembangkang itu biasa, nanti biar Mama pukul pantatnya dengan wajan. Tapi kau ini anak wanita, harus menurut kata orang tua. Mengerti Tina?"
"Iya Ma," kata Tina, masih pada kedua jempol kakinya. Perlahan Tina pakaikan sandal pada kedua kakinya dan beranjak mengambil posisi di sebelah Mama. Jadi anak itu harus penurut, batinnya, tak boleh melawan. Apalagi jadi anak perempuan, jangankan melawan membalas bicara pun rasanya tak sopan. Ia hanya bisa diam dan menahan semua keinginan.
Selagi Tina bekerja waktu tampak bergerak perlahan. Setelah jemuran terangkat pun pekerjaan Tina belum usai. Selanjutnya ada pula setumpuk baju yang sudah dicuci, siap menggantikan tempat temannya yang sudah kering di tali jemuran. Tak perlu diminta, Tina segera mengambil tempat membantu Mama. Hingga akhirnya mentari telah jingga seiring datangnya senja ketika Papa akhirnya muncul dari tidurnya di atas sofa.
"Ma, sudah masak belum? Papa lapar," itulah kata-kata pertama yang Tina dengar dari Papa hari itu.
"Belum Pa, sebentar lagi ya. Ini sudah hampir selesai," kata Mama patuh. Papa kembali menghilang ke dalam rumah dan Mama semakin bergegas menjemur pakaian.
Rutinitas hari Minggu pagi pun berlanjut ke malam hari. Mama dan Tina menyiapkan makan malam di dapur. Kini giliran Papa yang menguasai televisi untuk menonton berita hari ini. Andi datang menjelang petang dan, sesuai janji pada Tina, Mama mendapratnya sebelum mengijinkannya makan.
Selepas makan Maghrib pun tiba dan Papa memimpin mereka menegakkan salat, Papa menjadi imamnya. Selesai salat semua kembali ke posisi semula: Papa menonton berita, Mama dan Tina hanya diam di sofa, Andi membaca komik, pembangkangan dan hukumannya sore hari sudah terlupa. Malam tiba. Papa sudah beranjak ke peraduannya, Tina dan Andi pun sudah beringsut ke ranjang susun mereka. Andi sudah lelap di ranjang atas ketika Mama masuk untuk bicara pada Tina.
"Tina, hari ini Mama banyak marah pada Tina ya? Mama minta maaf," kata Mama sembari duduk di tepi ranjang, kepalanya menunduk agar tidak terantuk ranjang atas.
"Tina tidak apa-apa kok Ma," kata Tina pelan.