Mohon tunggu...
Benny Benke
Benny Benke Mohon Tunggu... -

the walkers. touch me at benkebenke@gmail.com,

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Wiro Sableng Digaet Fox International Production

4 April 2017   13:58 Diperbarui: 10 April 2017   18:00 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

JAKARTA -- Fox International Productions (FIP) yang merupakan anak perusahaan dari perusahaan film raksasa

20th Century Fox Film Corporation secara resmi telah melakukan penandatanganan kerjasama dengan rumah

produksi Lifelike Pictures, untuk memproduksi film Wiro Sableng 212.

FIP yang dibuat untuk melakukan kerjasama dengan filmfilm lokal dari negara di seluruh dunia itu, dalam kerjasama

nanti, akan mendapatkan bagian akan memulas dan menyempurnakan persoalan teknis film arahan sutradara Angga

D. Sasongko. Sedangkan pelakon utamanya dipercayakan kepada Vino G Bastian. Yang tidak lain adalah putra dari

penulis Bastian Tito, kreator Wiro Sableng 212.

Dalam versi filmnya yang menurut rencana akan tayang pada tahun 2018 itu, diambil dari seri buku Wiro Sableng

Kapak Maut Naga Geni 212. Untuk menajamkan dan mendalamkan kekuatan ceritanya, skenarionya ditulis oleh Lala

Sheila Timothy, Tumpal Tampubolon, dan Seno Gumira Ajidarma. Sedangkan untuk urusan pengatur laga,

dipercayakan kepada Yayan Ruhiyan. Yang turut menata adegan laga di film Raid.

Sebagaimana diceritakan Sheila Timoty, produser Lifelike Pictures, yang sebelumnya telah memproduksi film Pintu

Terlarang (2008), Modus Anomali (2012) dan Tabula Rasa (2014) penggarapan film Wiro Sableng 212 diharapkan

dapat memberikan pengalaman menonton, sekaligus memuaskan penikmat film silat di Indonesia.

Apalagi, film ini sekaligus dilakoni oleh anak penulis bukunya, yang notabene mempunyai ikatan batin yang sangat

kuat dengan ceritanya. Karena menjadi saksi langsung dan hidup atas lahirnya sejumlah seri buku Wiro Sableng,

yang terdiri dari 185 judul. Dengan rentang waktu dari tahun 1967-2006. Dan juga bukan kebetulan juga, jika Vino

adalah suami dari Marsha Timothy, yang tak lain adalah adik dari Sheila Timoty. Marsha Timothy bersama Sherina

Munaf, juga dilibatkan dalam proyek ini.

Secara garis besar, menurut Sheilla, FIP dan Lifelike Pictures akan secara bersama-sama membangun, memproduksi

dan mendistribusikan hasil jadi film ini bukan hanya di wilayah Indonesia, tapi juga di mancanegara. Oleh karena itu,

Sheila Timothy berposisi sebagai produser, sedangkan executive producer dipegang Michael J Werner, mantan

orang nomor satu di Fortissimo Films yang saat ini menjadi konsultan di FIP.

"Yang pasti, dengan pengalaman panjang FIP, kita yakin film ini akan menjadi suguhan yang berkualitas. Dengan

demikian penonton Indonesia akan mendapatkan mutu tontonan yang terjaga pula," Ujar Sheila Timothy sembari

merujuk nama Presiden FIP Tomas Jegeus, dan Michael Werner, orangorang penting di FIP yang menurutnya sangat

antusias menggarap film ini.

Sebagai catatan, di wilayah Asia, FIP juga telah bekerjasama dengan sejumlah sineas di Korea, memproduksi film

seperti “The Yellow Sea” (2010) arahan Na Hong-jin, dan pada tahun 2016 film “The Wailing, ” garapan sutradara

yang sama, bahkan masuk dalam Cannes Film Festival. Di Asia Tenggara, baru kali pertama, film Indonesia diajak

bekerjasama dengan FIP. Menurut Tomas Jegeus, 'Wiro Sableng' adalah proyek film pertama FIP dengan rumah

produksi di Asia Tenggara, yang menurut akan menjadi sangat istimewa dan akan menginspirasi.

Meski belum disebutkan akan dipasarkan di Eropa atau AS, pemerhati film Shandy Gasella bersaksi, sebenarnya Vino

G Bastian, sejatinya hanya ingin berlakon di belakang layar film Wiro Sableng 212, dan emoh menjadi pelakon

utamanya. Vino saat itu beranggapan, kalau dia sampai memerankan tokoh Wiro Sableng ciptaan ayahnya sendiri,

dia akan mengemban beban yang sangat besar. Takut mengecewakan ekpektasi mendiang ayahnya.

Bahwa sekarang dia mau menerima, pertimbangannya, pertama film di Indonesia, membutuhkan star power untuk

menggaet penonton. "Dan Vino dianggap mempunyai power sebagai star untuk menarik penonton," katanya kepada

Suara Merdeka.

Shandy menambahkan, jika rumah produksi Sony Pictures Classic, anak perusahaan Sony Pictures hanya membeli

hak edar Film Raid dan Raid 2, untuk kemudian diedarkan di Amerika Utara, tanpa harus turut memproduksi film itu,

tapi tidak demikian dengan FIP. Karena akan turut memproduksinya juga.  

Dipastikan FIP akan mengeluarkan uang dan kreatifitas, meski secara teknis belum jelas besaran uangnya. "FIP juga

akan memberikan arahan dan masukan, agar film ini memiliki daya tarik tidak hanya untuk pasar Indonesia. Karena

FIP mempunyai rumusan utnuk menggait penoton film internasional, seperti contoh film Korea “The Yellow Sea”

(2010) dan “The Wailing, ”  (2016) yang laris di dunia internasional. Meski pada saat bersamaa, FIP memberikan

kebebasan sepenuhnya kepada para sineas Korea," imbuh dia.

Apakah FIP akan melakukan treatment yang sama dengan Wiro Sableng 212, dengan cita rasa Indonesia, tapi tetap

memasukkan bumbu Hollywood, sebagaimana pendekatannya kepada sineas dan rumah produksi Korea? Yang paling

peting, menurut Shandy, film ini akan mempunyai distribusi internasional selain di Indonesia. Lalu bagaimana dengan

sistem kerjasama dan pembagian hasilnya? Sejauh ini tidak dan belum dibuka, juga bujetnya besaran

pembuatannya. Alasannya klise, rahasia dapur tidak diperkenankan diketahui publik.  

Lalu apa paramater FIP mau bekerjasama dengan film produksi lokal? Patokan utamanya tetaplah bisnis, dengan

cakupan jumlah penotnon yang besar, Indonesia adalah pasar yang menggiurkan. Contohnya di China, FIP sudah

banyak bekerjasama dengan sineas dan rumah produksi asli China. Seperti dalam menggarap bareng film "Hot

Summer Days" (2010), Love in Space/ Quan Qui Re Lian (2011) dan Xin Niang Da Zuo ZHan (2015) yang merupakan

remake film Hollywood, Bride Wars. Kesemua film itu disutradarai oleh Tony Chan.

Dengan jumlah penonton yang potensial seperti Indonesia, FIP tentu mempunyai pertimbangan strategis, di luar

pasar China dan Korea. "Buktinya setelah sukses di Korea, mereka mempunyai rencana membuat film di Korea,

paling tidak bisa dua judul per tahun. Dengan demikian jika FIP sukses di Indonesia, bisa bekerjasama dengan rumah

produksi yang sama, atau yang lain di Indonesia. Karena setidak tidaknya filmnya mempunyai production value yang

luar biasa, karena bujetnya di atas standar," ujar Shandy Gasella. (bb).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun