Mohon tunggu...
Benny Benke
Benny Benke Mohon Tunggu... -

the walkers. touch me at benkebenke@gmail.com,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nani Wijaya: Menularkan Seni Peran

14 Oktober 2016   09:21 Diperbarui: 4 April 2017   17:14 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

JAKARTA --SEPULUH TAHUN  lalu, atau tepatnya pada awal Agustusan, penulis sempat bersilaturahmi dan bersilangan nasib, dengan salah satu aktris senior Indonesia, Nani Wijaya. Sebagai  salah satu artis senior yang masih tersisa dan disegani di dunia perfilman Indonesia, Nani Wijaya, ternyata pada mulanya tidak pernah benar-benar berniat menjadi artis. Perempuan kelahiran Cirebon, Jawa Barat, 10 November 1944, ini ketika kecil bercita-cita menjadi diplomat.

Karena itulah, tidak mengherankan jika dia memutuskan masuk di Universitas Indonesia Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (1962-1963). Bahkan saat remaja pun dia tetap ingin menjadi diplomat. "Tapi apa boleh buat, ternyata daya tarik dunia seni peran lebih menggoda," ujar istri tokoh film Misbach Yusa Biran ini.

Hanya bisa merampungkan jenjang pendidikan sampai Sarjana Muda di jurusan Kriminologi, dia akhirnya menetapkan diri terjun 100 persen menekuni dunia seni peran. "Mulyana W Kusumah itu adik kelas saya jauh. Kalau saya rampungkan kuliah saya mungkin sekarang sudah mendapat gelar Dra," kisah ibu Nina Kartika (37), Tita Fitrah Soraya (35), Cahya Kamila (32), Firdausi (31), Farry Hanief (30), dan almarhum Sukma Ayu ini.

Sejak kecil, Nani memang dekat dengan dunia seni, teristimewa seni tari. Dia bahkan pernah bergabung dengan organisasi kesenian Tunas Mekar di bawah naungan RRI (Radio Republik Indonesia) sekitar 1955-1956-an. "Kegiatan saya macem-macem, dari tari, nyanyi, deklamasi, sampai musik. Tapi karena saya seneng menari, saya mendalami tari. Saya masih ingat...waktu itu sedang ngetren tari dari Sumatera, Serampang Dua Belas."

Dari kepandaian menari inilah pintu karier di dunia layar lebar mulai terkuak. Menjadi juara umum pada ulang tahun Tunas Mekar, membuat namanya diberitakan beberapa media Jakarta.

Kebetulan saat itu perusahaan film Anom Pictures memerlukan pemain-pemain baru sehingga jalan kesuksesan mulai terbuka. Setelah dihubungi oleh perusahaan film yang sekarang sudah bubar itu, bermainlah dia dalam film Darah Tinggi. "Waktu itu, 1958, saya masih SMP, tentu saja masih genit-genitnya. Cuman bedanya saya nggak pernah ikut lomba putri-putrian," kata Nani sambil menebar tawa, "Waktu itu bintang film Indonesia yang sedang ngetop antara lain Ida Noorsanti, Bambang Hermanto, dan Bambang Irawan."

Dalam film arahan sutradara Lilik Sugiyo itulah arti seni peran mulai dirasakan dari aktor-aktris lawan main seperti almarhum Bagyo, Wolly Sutinah (Mak Wok), Iskak, dan Endang Kustiningsih. "Dan di sinilah saya baru menyadari main film lebih susah dari menari. Karena musti ada kamera, make up, skenario dan sebagainya."

Setelah itulah puluhan film mulai dilakoni dengan tekun dan penuh perjuangan. Hasilnya? Ketika memerani tokoh Ibu dalam Yang Muda Yang Bercinta (1977), dan RA Kartini (1982) arahan Sjuman Djaja, Piala Citra untuk kategori Pemeran Pembantu Wanita Terbaik berhasil diraih. Dan peran ibu dalam Bajaj Bajuri pula yang membuat dia dianugerahi The 1st Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF). Selain itu, tentu penghargaan tersebut, dia terima karena telah berdedikasi besar pada perfilman Indonesia.

Kini, ibu di dunia nyata yang terpukul dengan kemeninggalan anak bungsunya, Sukma Ayu, itu, hanya mempunyai sebuah keinginan. "Saya hanya ingin mendirikan sekolah seni peran. Saya ingin menularkan apa pun yang saya bisa. Ya, meski hanya pengalaman-pengalaman kecil selama mendalami dunia seni peran, saya kira akan berguna dan bermanfaat bagi orang lain."

Di tengah kesibukan menjadi ibu yang diakui sangat berat sekali pada zaman sekarang ini, dia meyakini bahwa proses belajar tidak akan pernah rampung. "Belajar apa pun, dari mana pun dan kepada siapa pun, akan saya lakukan," kata Nani, semangat.

Film Kita Akan Bangkit Lagi.


SENI peran atau akting seolah telah sirna sejak aktor-aktris kuat di industri perfilman Tanah Air meninggal atau meninggalkan gelanggang. Dari sedikit aktris senior yang masih tersisa, nama Nani Wijaya patut disebut. Prestasinya tidak tanggung-tanggung. Yang jelas, tahun ini dia mendapat penghargaan The 1st Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF). Selain itu dia memperoleh Piala Citra sebagai Pemeran Pembantu Terbaik dalam film Yang Muda Yang Bercinta pada 1977 dan RA Kartini pada 1982.

Apakah sekarang ini seni peran telah mati? Apa yang harus dilakukan para artis masa kini? Pada pagi yang cerah, di kawasan sekitar 50 kilometer dari Jakarta, di Taman Besakih VII/17 Bukit Sentul Selatan, Bogor, aktris berpembawaan santun ini menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Berikut petikan perbincangannya. Bersama JB Kristanto, Anda baru saja mendapat penghargaan The 1st Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) sebagai tokoh yang berdedikasi terhadap perfilman Indonesia. Apa makna pernghargaan itu bagi Anda?

Sangat positif dan berarti sekali. Terus terang kali pertama mendengar saya sempat tidak menyangka bakal mendapat penghargaan itu. Ya, saya yang sudah setua ini kok ternyata masih mendapatkan perhatian. Penghargaan ini juga sekaligus sebagai cambuk bagi saya dan kawan-kawan seusia untuk terus berkarya semaksimal mungkin. Anda juga dinilai berhasil menghidupkan karakter Emak dalam komedi situasi Bajaj Bajuri. Bagaimana Anda mewujudkan peran itu?

Pertama, sinergisitas antara kru dan artis dalam komedi situasi ini sangat erat dan kuat. Selain itu, disiplinnya juga tinggi. Yang paling penting, saya main apa adanya, sehingga sangat nyaman sekali memerankan tokoh Emak. Kedua, mungkin karena sutradara memberikan kebebasan untuk menginterpretasikan tokoh Emak, sehingga saya mampu mengeksplorasi peran itu. Ketiga,para pemain lain bagus sekali.

Anda pernah merasa bosan pada peran Emak?

Mungkin karena suasana kekeluargaan dalam komedi situasi ini kuat, saya jadi nggak bosan. Malah enjoy aja. Ha ha ha.

Apa yang paling Anda sukai dari tokoh Emak ?

Banyak sekali. Meski saat berperan sebagai Emak, saya sangat jahil kepada siapa pun, tetapi ternyata banyak orang menyukai peran itu. Sungguh saya heran. Meskipun demikian saya mengharapkan penonton jangan meniru peran emak...ha ha ha. Selain itu saya bermain jujur dengan menggambarkan kehidupan masyarakat kelas menengah ke bawah. Tapi ingat, ini hanya permainan. Hanya, percayalah peran seperti Emak itu benar-benar ada. Buktinya jika ada orang seusia ketemu saya, mereka bilang, "Persis seperti ibu saya, persis mertua saya."

Anda kerap memerani tokoh ibu dalam berbagai film dan sinetron. Bagaimana Anda membedakan karakter ibu satu dari yang lain?

Setiap saya memasuki sebuah karakter pasti dengan semangat nol. Tidak tahu apa-apa. Saya selalu membawa pertanyaan, "Siapa sih tokoh ini? Kemudian saya membuat background, membuat bayangan, dan menciptakan karakter sendiri. Tentu saja saya bertukar pikiran dengan sutradara. Dari situlah saya mulai mendapatkan gambaran-gambaran tokoh yang akan saya mainkan.

Bisa Anda ceritakan kembali saat memerani tokoh Ibu Ngasirah (Ibu Kartini) dalam film RA Kartini arahan Sjuman Djaja?

Ya ya. Pertama, perlu saya katakan di Indonesia atau mungkin di dunia jarang yang tahu siapa itu Ngasirah. Inilah tantangannya buat saya. Coba bayangkan, dalam skenario misalnya diceritakan Kartini sedang melakukan ini, ini, dan ini...sementara Ngasirah hanya berdiri di pojok. Kemudian saya bicara dengan Sjuman, "Gimana ini?" Dia menjawab, "Itu tantangan. Terserah kamu."

Karena mendapat perlakuan semacam itu, saya mulai mencari karakter Ngasirah yang sebenarnya. Setelah tahu lokasi syutingnya di Jepara, saya langsung bersyukur. Saya bersyukur, karena saya akan bisa melakukan observasi kepada orang-orang sekitar tentang bagaimana kehidupan Ngasirah pada masa lampau. Untung saya mendapat banyak masukan dari orang sepuh sekali - saya lupa namanya- yang pernah menyaksikan kehidupan Kartini. Lewat peran ini, alhamdulillah, saya mendapatkan Piala Citra.

Anda juga menjadi tokoh Ibu Rendra dalam Yang Muda Yang Bercinta? Apakah tantangannya lebih sulit?

Tantangan terbesar saya dalam film ini adalah ketika harus berhadapan dengan Rendra. Pada saat itu nama dia sedang top-topnya. Saya berpikir, "Jangan sampai ketika bermain dengan dia, akting saya di atas Rendra dan namanya turun gara-gara saya."

Rendra sendiri tak memasalahkan hal itu. Ada atau tidak ada film, namanya tetap besar dan nyatanya memang tetap besar. Dan kebetulan Rendra, orangnya baik sekali. Apa yang saya omongkan, dia dengar. Apa yang saya tanyakan, dia jawab. Dan hasil diskusi antara lain dengan Rendra, alhamdullilah, membuat saya kembali mendapatkan Piala Citra. Rendra ikut senang. Dia memberi selamat kepada saya.

Bisa Anda ceritakan pengalaman bekerja sama dengan sutradara-sutradara top Indonesia? Siapa yang paling berjasa terhadap karier Anda?

Setiap sutradara mempunyai kriteria sendiri-sendiri. Ada sutradara yang suka marah-marah. Ada juga yang memberikan kebebasan kepada pemain. Jika berhadapan dengan sutradara yang memberikan kebebasan, enak sekali. Akan tetapi saya harus membalas kebebasan itu dengan keseriusan berlipat. Yang jelas, sebagai pemain saya harus sudah mengetahui peran saya sebagai apa. Saya harus menelaah skenario itu terlebih dahulu. Setelah itu baru saya berbicara dengan sutradara. Idealnya seperti itu.

Dulu para pekerja film sering mengadakan script conference prasyuting, sehingga tahu kerja masing-masing. Dan kebetulan di antara sekian sutradara itu, Sjuman senantiasa memberikan kebebasan kepada saya. Ini bukan lantaran di tangan dia saya mendapatkan dua Piala Citra loh. Meski sebenarnya dia orangnya cuek-cuek aja, tetapi ternyata sangat berisi. Selain Sjuman, ada nama besar lain, yaitu Nya' Abas Acub.

Apakah sejak kecil Anda bercita-cita menjadi artis?

Nggak. Sejak kecil saya hanya bisa menari. Mungkin karena itu, menjadi lebih mudah menyeberang ke seni peran, karena di seni tari kan juga ada ceritanya.

Bagaimana dunia film diperbincangkan di rumah Anda?

Waktu masih ada Sukma Ayu perbincangan tentang dunia film di rumah ini intens sekali. Mungkin karena dia juga terjun di dunia seni peran. Kami sering diskusi tentang dunia seni peran dengan berbagai dinamikanya. Anak-anak yang lain? Oo, mereka adalah pengkritik film saya terbaik. Sampai ke ide cerita pun mereka ikut memberikan masukan. Bahkan cucu-cucu saya menjadi penikmat seni peran saya. Cucu saya terheran-heran kok kalau di televisi Oma jahil, tetapi di rumah baik sekali. Selain itu masih suami yang menjadi kawan setia diskusi.

Sebagi peraih Piala Citra, apakah Anda merasa akting aktor dan artis kita sekarang tidak berkualitas atau sebaliknya?

Pertama, memasuki dunia seni peran adalah hak setiap orang. Kenyataannya, memang menggembirakan sekali. Kita bisa melihat sekian banyak aktor dan artis bermain dalam sinetron dan film sekarang ini. Hanya, saya menilai aktor dan artis sekarang kurang mengasah diri. Mungkin karena sejak awal mereka tidak mengetahui dunia seni peran itu seperti apa. Mungkin mereka tidak sempat belajar. Bukankah belajar itu tidak melulu lewat institusi formal? Kan bisa lewat buku dan sebagainya. Intinya, dalam pekerjaan apa pun pengasahan diri wajib kita lakukan. Mengapa ini saya katakan? Saya merasa sedih melihat mereka tidak tahu siapa Haji Usmar Ismail. Bahkan mereka juga tidak tahu gedung film itu ada di mana saja.

Apakah ini yang menjadi penyebab perfilman kita surut dan sinetron jadi pasang. Bagaimana Anda menyikapinya?

Bisa jadi begitu. Meskipun demikian sebenarnya saya melihat akting di sinetron maupun film itu tidak berbeda. Yang penting kita harus memberikan sesuatu yang diinginkan oleh cerita. Tapi intinya saya yakin dunia film kita akan bangkit lagi.

Dengan demikian perfilman Indonesia masih memiliki masa depan cerah?

Pasti. Dan itu tidak akan lama lagi. Apalagi dengan kondisi sumber daya manusia (SDM) yang ada sekarang, pasti perfilman kita akan maju. Sayang, SDM kita masih memiliki berbagai kekurangan. Untuk aktor dan aktris sudah lumayan. Hanya kurang polesan. Dari segi penulis skenario, sutradara, kita masih memiliki kekurangan. Mereka terlalu sibuk menggarap beberapa proyek. Bagaimana bisa merampungkan sebuah film yang bagus jika terlalu sibuk dengan banyak proyek? Ya, to? (Benny Benke)

tulisan ini pernah diunggah di laman:Nani Wijaya: Film Kita Akan Bangkit Lagi
SENI peran atau akting seolah telah sirna sejak aktor-aktris kuat di industri perfilman Tanah Air meninggal atau meninggalkan gelanggang. Dari sedikit aktris senior yang masih tersisa, nama Nani Wijaya patut disebut. Prestasinya tidak tanggung-tanggung. Yang jelas, tahun ini dia mendapat penghargaan The 1st Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF). Selain itu dia memperoleh Piala Citra sebagai Pemeran Pembantu Terbaik dalam film Yang Muda Yang Bercinta pada 1977 dan RA Kartini pada 1982.

Apakah sekarang ini seni peran telah mati? Apa yang harus dilakukan para artis masa kini? Pada pagi yang cerah, di kawasan sekitar 50 kilometer dari Jakarta, di Taman Besakih VII/17 Bukit Sentul Selatan, Bogor, aktris berpembawaan santun ini menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Berikut petikan perbincangannya.

Bersama JB Kristanto, Anda baru saja mendapat penghargaan The 1st Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) sebagai tokoh yang berdedikasi terhadap perfilman Indonesia. Apa makna pernghargaan itu bagi Anda?

Sangat positif dan berarti sekali. Terus terang kali pertama mendengar saya sempat tidak menyangka bakal mendapat penghargaan itu. Ya, saya yang sudah setua ini kok ternyata masih mendapatkan perhatian. Penghargaan ini juga sekaligus sebagai cambuk bagi saya dan kawan-kawan seusia untuk terus berkarya semaksimal mungkin.

Anda juga dinilai berhasil menghidupkan karakter Emak dalam komedi situasi Bajaj Bajuri. Bagaimana Anda mewujudkan peran itu?

Pertama, sinergisitas antara kru dan artis dalam komedi situasi ini sangat erat dan kuat. Selain itu, disiplinnya juga tinggi. Yang paling penting, saya main apa adanya, sehingga sangat nyaman sekali memerankan tokoh Emak. Kedua, mungkin karena sutradara memberikan kebebasan untuk menginterpretasikan tokoh Emak, sehingga saya mampu mengeksplorasi peran itu. Ketiga,para pemain lain bagus sekali.

Anda pernah merasa bosan pada peran Emak?

Mungkin karena suasana kekeluargaan dalam komedi situasi ini kuat, saya jadi nggak bosan. Malah enjoy aja. Ha ha ha.

Apa yang paling Anda sukai dari tokoh Emak ?

Banyak sekali. Meski saat berperan sebagai Emak, saya sangat jahil kepada siapa pun, tetapi ternyata banyak orang menyukai peran itu. Sungguh saya heran. Meskipun demikian saya mengharapkan penonton jangan meniru peran emak...ha ha ha. Selain itu saya bermain jujur dengan menggambarkan kehidupan masyarakat kelas menengah ke bawah. Tapi ingat, ini hanya permainan. Hanya, percayalah peran seperti Emak itu benar-benar ada. Buktinya jika ada orang seusia ketemu saya, mereka bilang, "Persis seperti ibu saya, persis mertua saya."

Anda kerap memerani tokoh ibu dalam berbagai film dan sinetron. Bagaimana Anda membedakan karakter ibu satu dari yang lain?

Setiap saya memasuki sebuah karakter pasti dengan semangat nol. Tidak tahu apa-apa. Saya selalu membawa pertanyaan, "Siapa sih tokoh ini? Kemudian saya membuat background, membuat bayangan, dan menciptakan karakter sendiri. Tentu saja saya bertukar pikiran dengan sutradara. Dari situlah saya mulai mendapatkan gambaran-gambaran tokoh yang akan saya mainkan.

Bisa Anda ceritakan kembali saat memerani tokoh Ibu Ngasirah (Ibu Kartini) dalam film RA Kartini arahan Sjuman Djaja?

Ya ya. Pertama, perlu saya katakan di Indonesia atau mungkin di dunia jarang yang tahu siapa itu Ngasirah. Inilah tantangannya buat saya. Coba bayangkan, dalam skenario misalnya diceritakan Kartini sedang melakukan ini, ini, dan ini...sementara Ngasirah hanya berdiri di pojok. Kemudian saya bicara dengan Sjuman, "Gimana ini?" Dia menjawab, "Itu tantangan. Terserah kamu."

Karena mendapat perlakuan semacam itu, saya mulai mencari karakter Ngasirah yang sebenarnya. Setelah tahu lokasi syutingnya di Jepara, saya langsung bersyukur. Saya bersyukur, karena saya akan bisa melakukan observasi kepada orang-orang sekitar tentang bagaimana kehidupan Ngasirah pada masa lampau. Untung saya mendapat banyak masukan dari orang sepuh sekali - saya lupa namanya- yang pernah menyaksikan kehidupan Kartini. Lewat peran ini, alhamdulillah, saya mendapatkan Piala Citra.

Anda juga menjadi tokoh Ibu Rendra dalam Yang Muda Yang Bercinta? Apakah tantangannya lebih sulit?

Tantangan terbesar saya dalam film ini adalah ketika harus berhadapan dengan Rendra. Pada saat itu nama dia sedang top-topnya. Saya berpikir, "Jangan sampai ketika bermain dengan dia, akting saya di atas Rendra dan namanya turun gara-gara saya."

Rendra sendiri tak memasalahkan hal itu. Ada atau tidak ada film, namanya tetap besar dan nyatanya memang tetap besar. Dan kebetulan Rendra, orangnya baik sekali. Apa yang saya omongkan, dia dengar. Apa yang saya tanyakan, dia jawab. Dan hasil diskusi antara lain dengan Rendra, alhamdullilah, membuat saya kembali mendapatkan Piala Citra. Rendra ikut senang. Dia memberi selamat kepada saya.

Bisa Anda ceritakan pengalaman bekerja sama dengan sutradara-sutradara top Indonesia? Siapa yang paling berjasa terhadap karier Anda?

Setiap sutradara mempunyai kriteria sendiri-sendiri. Ada sutradara yang suka marah-marah. Ada juga yang memberikan kebebasan kepada pemain. Jika berhadapan dengan sutradara yang memberikan kebebasan, enak sekali. Akan tetapi saya harus membalas kebebasan itu dengan keseriusan berlipat. Yang jelas, sebagai pemain saya harus sudah mengetahui peran saya sebagai apa. Saya harus menelaah skenario itu terlebih dahulu. Setelah itu baru saya berbicara dengan sutradara. Idealnya seperti itu.

Dulu para pekerja film sering mengadakan script conference prasyuting, sehingga tahu kerja masing-masing. Dan kebetulan di antara sekian sutradara itu, Sjuman senantiasa memberikan kebebasan kepada saya. Ini bukan lantaran di tangan dia saya mendapatkan dua Piala Citra loh. Meski sebenarnya dia orangnya cuek-cuek aja, tetapi ternyata sangat berisi. Selain Sjuman, ada nama besar lain, yaitu Nya' Abas Acub.

Apakah sejak kecil Anda bercita-cita menjadi artis?

Nggak. Sejak kecil saya hanya bisa menari. Mungkin karena itu, menjadi lebih mudah menyeberang ke seni peran, karena di seni tari kan juga ada ceritanya.

Bagaimana dunia film diperbincangkan di rumah Anda?

Waktu masih ada Sukma Ayu perbincangan tentang dunia film di rumah ini intens sekali. Mungkin karena dia juga terjun di dunia seni peran. Kami sering diskusi tentang dunia seni peran dengan berbagai dinamikanya. Anak-anak yang lain? Oo, mereka adalah pengkritik film saya terbaik. Sampai ke ide cerita pun mereka ikut memberikan masukan. Bahkan cucu-cucu saya menjadi penikmat seni peran saya. Cucu saya terheran-heran kok kalau di televisi Oma jahil, tetapi di rumah baik sekali. Selain itu masih suami yang menjadi kawan setia diskusi.

Sebagi peraih Piala Citra, apakah Anda merasa akting aktor dan artis kita sekarang tidak berkualitas atau sebaliknya?

Pertama, memasuki dunia seni peran adalah hak setiap orang. Kenyataannya, memang menggembirakan sekali. Kita bisa melihat sekian banyak aktor dan artis bermain dalam sinetron dan film sekarang ini. Hanya, saya menilai aktor dan artis sekarang kurang mengasah diri. Mungkin karena sejak awal mereka tidak mengetahui dunia seni peran itu seperti apa. Mungkin mereka tidak sempat belajar. Bukankah belajar itu tidak melulu lewat institusi formal? Kan bisa lewat buku dan sebagainya. Intinya, dalam pekerjaan apa pun pengasahan diri wajib kita lakukan. Mengapa ini saya katakan? Saya merasa sedih melihat mereka tidak tahu siapa Haji Usmar Ismail. Bahkan mereka juga tidak tahu gedung film itu ada di mana saja.

Apakah ini yang menjadi penyebab perfilman kita surut dan sinetron jadi pasang. Bagaimana Anda menyikapinya?

Bisa jadi begitu. Meskipun demikian sebenarnya saya melihat akting di sinetron maupun film itu tidak berbeda. Yang penting kita harus memberikan sesuatu yang diinginkan oleh cerita. Tapi intinya saya yakin dunia film kita akan bangkit lagi.

Dengan demikian perfilman Indonesia masih memiliki masa depan cerah?

Pasti. Dan itu tidak akan lama lagi. Apalagi dengan kondisi sumber daya manusia (SDM) yang ada sekarang, pasti perfilman kita akan maju. Sayang, SDM kita masih memiliki berbagai kekurangan. Untuk aktor dan aktris sudah lumayan. Hanya kurang polesan. Dari segi penulis skenario, sutradara, kita masih memiliki kekurangan. Mereka terlalu sibuk menggarap beberapa proyek. Bagaimana bisa merampungkan sebuah film yang bagus jika terlalu sibuk dengan banyak proyek? Ya, to? (Benny Benke-35)

tulisan ini pernah diunggah di laman http://www.suaramerdeka.com/harian/0608/20/bincang02.htm, dan http://www.suaramerdeka.com/harian/0608/20/bincang01.htm





Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun