Ya ya. Pertama, perlu saya katakan di Indonesia atau mungkin di dunia jarang yang tahu siapa itu Ngasirah. Inilah tantangannya buat saya. Coba bayangkan, dalam skenario misalnya diceritakan Kartini sedang melakukan ini, ini, dan ini...sementara Ngasirah hanya berdiri di pojok. Kemudian saya bicara dengan Sjuman, "Gimana ini?" Dia menjawab, "Itu tantangan. Terserah kamu."
Karena mendapat perlakuan semacam itu, saya mulai mencari karakter Ngasirah yang sebenarnya. Setelah tahu lokasi syutingnya di Jepara, saya langsung bersyukur. Saya bersyukur, karena saya akan bisa melakukan observasi kepada orang-orang sekitar tentang bagaimana kehidupan Ngasirah pada masa lampau. Untung saya mendapat banyak masukan dari orang sepuh sekali - saya lupa namanya- yang pernah menyaksikan kehidupan Kartini. Lewat peran ini, alhamdulillah, saya mendapatkan Piala Citra.
Anda juga menjadi tokoh Ibu Rendra dalam Yang Muda Yang Bercinta? Apakah tantangannya lebih sulit?
Tantangan terbesar saya dalam film ini adalah ketika harus berhadapan dengan Rendra. Pada saat itu nama dia sedang top-topnya. Saya berpikir, "Jangan sampai ketika bermain dengan dia, akting saya di atas Rendra dan namanya turun gara-gara saya."
Rendra sendiri tak memasalahkan hal itu. Ada atau tidak ada film, namanya tetap besar dan nyatanya memang tetap besar. Dan kebetulan Rendra, orangnya baik sekali. Apa yang saya omongkan, dia dengar. Apa yang saya tanyakan, dia jawab. Dan hasil diskusi antara lain dengan Rendra, alhamdullilah, membuat saya kembali mendapatkan Piala Citra. Rendra ikut senang. Dia memberi selamat kepada saya.
Bisa Anda ceritakan pengalaman bekerja sama dengan sutradara-sutradara top Indonesia? Siapa yang paling berjasa terhadap karier Anda?
Setiap sutradara mempunyai kriteria sendiri-sendiri. Ada sutradara yang suka marah-marah. Ada juga yang memberikan kebebasan kepada pemain. Jika berhadapan dengan sutradara yang memberikan kebebasan, enak sekali. Akan tetapi saya harus membalas kebebasan itu dengan keseriusan berlipat. Yang jelas, sebagai pemain saya harus sudah mengetahui peran saya sebagai apa. Saya harus menelaah skenario itu terlebih dahulu. Setelah itu baru saya berbicara dengan sutradara. Idealnya seperti itu.
Dulu para pekerja film sering mengadakan script conference prasyuting, sehingga tahu kerja masing-masing. Dan kebetulan di antara sekian sutradara itu, Sjuman senantiasa memberikan kebebasan kepada saya. Ini bukan lantaran di tangan dia saya mendapatkan dua Piala Citra loh. Meski sebenarnya dia orangnya cuek-cuek aja, tetapi ternyata sangat berisi. Selain Sjuman, ada nama besar lain, yaitu Nya' Abas Acub.
Apakah sejak kecil Anda bercita-cita menjadi artis?
Nggak. Sejak kecil saya hanya bisa menari. Mungkin karena itu, menjadi lebih mudah menyeberang ke seni peran, karena di seni tari kan juga ada ceritanya.
Bagaimana dunia film diperbincangkan di rumah Anda?