“Tidak, Suamiku. Aku hanya ingin… merasa lebih nyaman.” Dedes merendahkan suara, datar.
“Duhai, Dedes… kenyamanan macam apa yang tak mampu kuberikan kepada permaisuri terkasih? Takhta telah kauterima. Begitu pula ini sukma. Tak adakah di benak seorang wanita, kecuali keraguan?”
“Bukan itu masalahnya.”
“Lalu apa?”
“Apakah Kakang tetap beranggapan aku ayu, bahkan pada saat aku tidak ayu sekali pun?” Entah kenapa tiba-tiba Dedes bisa bermanja-manja pada suami barunya, yang tentu saja baru saja membunuh suami lamanya.
“Oh, Dedes…” Arok bergeming. Dia sejenak membiarkan kemanjaan sang istri berlalu.
“Mengapa kau diam, Kakang?”
“Tak adakah perbincangan yang lebih berisi selain melulu membicarakan masalah keayuanmu yang tak terbantahkan?”
“Kalau begitu berbicaralah kepadaku tentang c-i-n-t-a.” O, apa pula ini. “Tak akan pernah ada cinta sesungguhnya dalam sejarah peradaban anak manusia. Tidak di sini, tidak di sana. Tidak sekarang, tidak nanti. Cinta sudah lama mati sebelum ia ada, meski tak ada yang membunuhnya. Cinta sudah sedemikian jauh dibengkokkan maknanya. Berbicara tentang cinta, Dedes, adalah berbicara tentang omong kosong belaka. Meski, bukan kesia-siaan.” Ketus, Arok berkhotbah seperti resi atau empu saja.
“Lalu, bagaimana dengan hubungan kita?” kejar Dedes.
“Dalam banyak hal, cukup aku yang merasakan. Kau tak perlu tahu. Begitu pula sebaliknya. Biarkan ia tersimpan rapi menjadi misteri.”