Mohon tunggu...
Benny Benke
Benny Benke Mohon Tunggu... -

the walkers. touch me at benkebenke@gmail.com,

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Arok...

13 Oktober 2016   12:16 Diperbarui: 13 Oktober 2016   13:14 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekali lagi, sebelum keris Ametung sampai benar ke sasaran, kilauan sabetan keris Arok merobek lambungnya. Terburailah isi perut sang Akuwu Tumapel, menyudahi sejarahnya, mengakhiri riwayatnya.

Hujan belum juga reda.

***

Di taman larangan pakuwuan, Dedes, meski membenci mendiang sang suami, ia tetap tak dapat menerima begitu saja kematian Ametung. Bagaimanapun Dedes pernah menghabiskan dan melewatkan sebagian rona garis nasibnya bersama Ametung. Bening air mata menyungai di pipinya. Dedes menyesali tindakan kedua lelaki yang sama-sama membuta mencintainya. Dedes berbicara dengan suara mengiba dalam kegundahan.

“Bodoh! Di belahan bumi mana pun apa yang dipertontonkan para lelaki tak lebih dari kebodohan belaka. Atas nama angkara mereka menghunus keris dan menumpahkan darah diantaranya sendiri. Setelah itu bersorak sorai seraya berkacak pinggang, menentang langit, dan berpekik layaknya ayam aduan. Tak adakah jalan yang lebih wajar dan sederhana? Tak bisakah kalian bersanding tanpa saling mencidera?

“Arok! Kaurebut takhta lantaran wanita atau kuasa? Dan kau, Ametung! Kaupertahankan singgasana lantaran daya atau wanita? Atau kalian berdua memang tak pantas mendapatkan keduanya? Celakalah aku yang lepas dari mulut serigala lalu jatuh ke pelukan singa.

“O…, tak adakah jaminan ketenteraman dalam garis hidupku? Bagaimana mungkin aku mendapatkan kesejahteraan dari seorang lelaki yang dengan mudah merampas kehidupan orang lain, kemudian dengan bangga membusungkan dada, mempersembahkan buah angkaranya kepadaku sebagai kado istimewa? Alangkah durjananya!

“Di mana aku harus menemukan kemuliaan di antara dua lelaki yang sama-sama mengaku ksatria? Sementara itu di dada mereka bersemayam kesumat dendam.” Dedes makin mengisak. “Sebenarnya aku bersuka cita lepas dari kungkungan Ametung yang tak pernah tahu, dan tak mau tahu belajar memperlakukan dan menghargai wanita. Namun celakanya, berandalan yang telah membebaskan aku ini…., misteri apa yang membuat aku jatuh hati kepadanya? Jangan-jangan dia hanya memanfaatkan aku sebagai boneka belaka. Simbol di depan rakyatku, di samping takhta rampasannya?”

Mata Dedes nanap menatap kosong ke depan, menerawang kepada... “Arok! Bicaralah. Jangan kau mematung batu membiarkan kegundahanku. Bicaralah, Arok. Aku akan menuntutmu bersumpah atas nama kedua kuburan orang tua yang melahirkanmu, meski kau tak tahu di mana kubur itu, tentang kesungguhanmu menyandingku.”

Seketika, seperti biasa, Arok datang dan pergi tanpa permisi, penuh misteri. Arok menyua Dedes pelan, pelan sekali. Seperti santun, melenakan. Dedes tak mengira Arok tiba-tiba menyusul ke taman larangan. Laksana terpana Dedes menyembah kepada Arok. Menata hati.

“Matamu keruh, Dedes. Kegundahan pasti mengaduk-aduk kebeningannya. Jika ada sesuatu yang mengganggu pikiran permaisuriku, aku, suamimu, wajib menghalaunya. Barangkali tak cukupkah persembahanku kepadamu? Atau, memang beginikah cara dan balasan seorang permaisuri kepada rajanya?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun