Di bawah siraman hujan lebat, kebencian, amarah, kesumat, dan angkara, Ametung berlari kecil penuh kepastian dan kesungguhan ke arah Arok. Dia mengarahkan keris ke jantung seterunya, sedangkan tombak di tangan kiri siap dia tolakkan dari jarak yang dia yakini. Arok, yang tersongsong, masih mematung. Beranjak tak. Mencabut gaman tak. Namun sorot matanya tak lepas dari langkah Ametung yang mendekat penuh ketegapan. Kepastian.
Jarak menipis. Hujan menjadi-jadi. Petir menari-nari. Sembari berlari Ametung menolakkan tombak. Dalam hitungan jenak, jika Arok bergeming, sia-sialah legenda yang selama ini mengelilingi kebesaran namanya. Seketika, dalam detik yang berdetak, “Blarrrrr!” Gemuruh petir meluluhlantakkan mata dan batang tombak yang mengarah tepat ke jantung Arok. Lalu…, jerit kesakitan membahana. Belum usai keterkejutan Ametung karena kilauan petir menyilaukan pandang dan menyisakan rasa perih di dada kiri yang tak tersarikan, lawan yang dia tuju raib, entah ke mana.
“Di sini, Akuwu.”
Sejurus kemudian Ametung membalikkan badan. Musuhnya yang baru saja lenyap tiba-tiba, tepat telah berada di depan mata. Kali ini Arok sembari menggenggam keris. Ada sisa darah segar menetes dari keris itu. Dan Ametung…, pandang matanya mengabur. Di luar kesadaran tangan kiri Ametung membekap dada kirinya. Darah segar mengintip dari balik jari-jarnyai. Ya, jantung Ametung cedera. Keris Arok penyebabnya.
“Kalaupun tidak sekarang engkau tumpas, esok sebelum matahari terbit KAU telah berkalang tanah, Arok!” Ametung masih menebar ancaman.
“Sesumbarlah, Ametung. Pedih perihmu tak akan terobati hanya dengan menumpasku.”
“Kalaupun engkau belum tumpas juga, pada saat purnama belum sempurna, saat itulah semua petaka menyertaimu.”
“Kutukanmu tak ubahnya mantra tak menemu mangsa. SIA-SIA.”
Dengan jantung robek di dada kiri, Ametung berlari sejurus ke arah Arok, memburu dan memusatkan sisa-sisa tenaga dengan keris teguh tergenggam tangan kanan. Di benak Ametung cuma ada satu tujuan: tiji tibeh, mati siji mati kabeh.
“Enyahlah manusia terkutuk!”
“Binasalah bersama nasibmu, Tua Bangka!”