JAKARTA -- JARANG ada yang tahu, pada sebuah masa ketika Sawung Jabo masih tinggal di Australia, pernah saking kesepiannya, gitar kesayangannya pernah pengen diahancurkan. Apalagi pada waktu itu, dia juga belum mendapatkan permanen residen, dan masih bekerja di pabrik steker, “Dari pagi sampai sore, dengan menjadi kuli panggul, dengan bayaran 5 dolar Australia per jam,” kenangnya ketika mengumumkan persiapan konser Sawung Jabo dan Sirkus Barock: “Menembus Batas,” yang telah digelar pada 23 Mei 2015 di GBB Taman Ismail Marzuki (TIM).
Jabo, yang meniatkan konser nanti sebagai syukuran 40 tahun Sirkus Barock yang berdiri sejak tahun 76, mendedikasikan konsernya,”Untuk orang-orang penuh daya hidup,” katanya di TIM, Kamis (21/5/2015) sembari menyebut sejumlah kawan lama sesama musisi yang telah wafat, seperti mendiang Inisisri, Buche Ceking, Nanoe dan lain sebagaimananya.
Sejak dibentuk di Yogya oleh anak-anak Surabaya, Sirkus Barock, sepenceritaan Jabo, sudah beranak pinak anggotanya, hingga200-an orang. Dia berharap, konser nanti seperti pilihan musikalitasnya, “Ibarat perahu kreatif yang tanpa henti mengarungi luasnya samudra tanpa batas.”
Jabo menuturkan, buat dirinya, lagu bukan sekedar lagu, tapi statemen hidup. “Kalau saya tahu sedikit, saya ngomong sedikit, kalau tahu banyak, jangan ngomong terlalu banyak,” katanya.
Jabo menambahkan, terlalu banyak kesalahan yang dia perbuat dalam hidup. Meski sering kali, sebagai manusia, dia hanya juga cenderung hanya menghitung sisi keberhasilan hidup. “Jadi konser nanti, separuh urusan ‘jeroan’ atau kenyataan hidup, sisanya, opini. Aku pengen jujur aja, mengalir, meski hidup bukan sekedar bernafas.”
Mendapatkan pertanyaan, sampai kapan dia akan terus bermusik, suami Susan itu menjawab,”Saya tidak sedang bermusik, tapi menjalani keyakinan pilihan hidup. Dalam bahasa kerennya, terus bergerak sampai jantung berhenti bergerak. Karena aku cuman bisa bermusik, makanya tak tuntaskan aja, nggak tanggung-tanggung, kesulitannya, sulit menjual musiknya. Tapi saya mendapat rejeki dari pergaulan hidup saya,” terangnya sembari menegaskan, dirinya sedang tidak melawan arus besar. “Tapi, kalau bisa menciptakan arus kecil, tapi lancar, kenapa tidak”.
Pada hari H, ketika konser Sawung Jabo dan Sirkus Barock: “Menembus Batas,” benar-benar digelar, bisa ditebak apa yang terjadi. Penonton menyemut dan tuntas semuanya. Tumpah semuanya. Katarsis. Mengingatkan pada konser serupa yang digelar pada awal Agustus 2006.
SAAT itu, lagilagi secara kebetulan penulis berada di antara ratusan penonton yang memulikan Jabo. Hasilnya, sama saja, Jabo menumpahkan semua yang dirasakannya. Singkat kata, tidak ada kata yang pantas disematkan kepadanya, selain, luar biasa.
Demikianlah yang dirasakan ratusan penonton yang menyaksikan konser “Antalogi Sawung Jabo: Satu Langkah Sejuta Cakrawala” di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Sabtu (5/8/2006) malam. Penyandang nama asli Mochamad Djohansyah kelahiran Surabaya 4 Mei 1951 itu seolah tak memberikan ruang bernafas kepada penikmatnya selama 90 menit aksinya.
Betapa tidak, begitu WS Rendra usai merampungkan sajak pembuka, dia bersama 12 musisi pendukungnya langsung menggeber lagu layaknya kereta. Nyaris tidak ada jeda. Setiap tembang purna dilantunkan, tanpa basa basi atau retorika dia melanjutkan ke tembang selanjutnya. Demikian seterusnya sampai-sampai penonton harus bersabar menepukkan kegembiraan dan keterpesonaan mereka hingga konser benar-benar usai.
Suami Susan Piper yang malam itu tampak kalem, santun, dan matang itu memang jauh dari stigmanya selama ini. Masih hangat dalam ingatan ketika dia biasanya binal dan liar di atas panggung. Baik ketika masih bergabung dengan kelompok Swami, Kantata Takwa, maupun Sirkus Barock, dialah yang biasanya paling pertama mengobarkan keliaran. Dalam konser yang juga disaksikan teman-teman tercintanya seperti Jockie Soerjoprajogo, Setiawan Djodi, Eros Djarot, dan beberapa nama sohor lainnya, tak ada lagi pekikan lepas, tidak juga teriakan, apalagi kaos yang terlepas dari tubuhnya.
Bahkan beranjak dari tempat duduknya pun tidak Jabo lakukan. Semua mengalir dengan detail, kusyuk, terperi, dan melenakan. Di atas panggung, Jabo hanya bersila seperti orang mengaji yang takzim dengan dirinya sendiri. Aura Kedalaman. Dalam tempo lambat lagunya tak jarang dia hanya menggerak-gerakkan jarinya ke atas, sembari menggoyangkan sedikit tubuhnya ke kiri dan ke kanan. Sementara matanya cenderung terpejam seperti sedang merasakan sebuah aura kedalaman.
Bila sebuah lagu telah jeda, dia hanya mengatupkan kedua tangannya di muka dan dahinya, sembari sedikit menundukkan kepala, tanda penghormatan kepada penonton. Selanjutnya, tanpa memberikan kesempatan kepada penonton yang hendak memberikan penghormatan balik dengan tepukan tangan, dia mengalirkan lagu selanjutnya. Semua lagu hits Jabo yang terangkum dalam single album Anak Setan (1975), Fatamorgana (1994), Jula Juli Anak Negeri (2001), Musik dari Seberang Laut (1997), dan Ada Suara tanpa Bentuk (2001) mengalir dengan apik dalam aransemen baru.
Musisi pendukungnya seperti Totok Tewel, Inisisri, Gondrong Gunarto, Baruna, dan istri tercinta Susan Viper, serta beberapa nama lainnya, dengan andal dan penguasaan musik yang matang, semakin membuat bernas konser yang akan dikelilingkan di Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya itu.”Saya hanya ingin menggambarkan konser ini dalam sebuah tarikan napas dari persenyawaan pengalaman hidup dan pengalaman batin saya,” katanya di belakang panggung.
MELOMPAT kembali pada Mei 2014, Sawung Jabo saat itu bersama Sirkus Barock lagi-lagi menyajikan makanan jiwa. Sawung Jabo, salah satu legenda hidup musik folklore Indonesia bersama Leo Kristi kembali datang. Bersama kelompoknya, Sirkus Barock (SB), musisi yang memegang peran kunci di sejumlah kelompok band seperti SWAMI, Dalbo hingga KANTATA itu, bersiap memberikan makanan jiwa kepada penontonnya.
Dalam konser ‘Akustik Perkusi’ bertajuk Sirkus Barock; Anak Wayang (Belajar Memaknai Hidup), Jabo didukung sejumlah musisi diantaranya Joel Tampeng, Toto Tewel, Ucok Hutabarat, Edi baraque dan beberapa nama lainnya.
Sebagaimana dikatakan Edi Haryono, pemikir kelompok SB, di tengah arus industri yang mendikte seniman, Jabo bersama SB masih mampu berdiri tegak sebagai seniman yang sulit dan menolak didikte kepentingan industri. Oleh karenanya Erwiyantoro (Toro)–mantan wartawan Suara Merdeka–selaku promotor menggagas kembali pertunjukan SB, yang akan digelar pada Sabtu malam, 10 Mei di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Dalam konser Sawung Jabo & Sirkus Barock, yang tagline berbunyi, “Hidup semakin kering, semakin bising, dan kami menolak menjadi sinting,” itu, Jabo menjelaskan betapa susahnya mengolah ketegangan menjadi ketenangan. “Karena itulah asyiknya bersenyawa. Tidak mudah, tapi sangat seksi untuk mengolah ketegangan kreatif,” katanya ihwal sejumlah musisi muda yang terlibat dalam SB kali ini di TIM, Jakarta, Rabu (7/5/2014) petang.
Dengan proses kreatif yang panjang, marathon dan ketat, Jabo dalam latihan persiapan konser nanti, mengaku berusaha sebisa mungkin menghormati waktu teman-teman kreatifnya. Meski proses kreatif persiapan konser itu,”Latihannya seperti orang kerja kantoran dan ketat,” imbuh dia.
Edi menjelaskan, menikmati konser Jabo menurut dia, tidak sekedar menikmati keindahan panca indra, “Tapi ada greget dan rohnya,” ujarnya. Penonton, imbuh dia, diberi ruang untuk mengaktualisasi susana batinnya dalam semua keterbatasannya.
Jabo yang usianya sudah tidak muda lagi, menjelaskan, menjaga elan vital kekaryaan baginya sama saja dengan menjaga cita-cita. Dalam hidup, ujarnya, banyak pilihan, “Dan saya memilih menjadi seniman musik. Dan sekarang saya bukan sekedar bermain musik, tapi menjalankan keyakinan hidup saya”.
Toro mengatakan, perjalanan musik di Indonesia abad 21, menurut dia, sudah tidak ada legenda hidup di dunia musik Indonesia. Legenda hidup musik hanya ada di abad 20, dengan segala batasannya. Oleh karena itu, Toro yang juga sangat dekat dengan Iwan Fals, menghadirkan Sawung Jabo & Sirkus Barock ke atas panggung.
Lalu di mana posisi Sawung Jabo jika disejajarkan dengan nama Iwan Fals, dan Leo Kristi? Menurut Edi Haryono, Iwan Fals mempunyai kelebihan pada suaranya, dengan disiplin vokal yang bagus, “Bahkan Rendra memuji, karena artikulasinya jelas, dengan daya ucap yang bagus sekali. Daya ucap ini yang menarik semua kalangan dengan kandungan lirik yang intelektual,” ujarnya.
Tetapi Iwan Fals, imbuh dia, tidak punya folklore atau naluri masyarakat atau tradisi. Dalam kehidupan ini, imbuhnya, dibutuhkan folklore.
Dan Jabo mempunyai kekuatan folklore yang kuat. Selain itu, Jabo tidak sekedar indah, tapi ada aura kehadiran dan keterwakilan penonton ketika dia berada di atas panggung. Sehingga membuat orang sampai menitikkan air mata ketika menekuni pertunjukannya. “Yang paling luar biasa dari Jabo adalah beat-nya luar biasa. (Padahal) untuk dapat beat susah sekali. Jabo adalah penyuguh pertunjukan yang meremajakan bagaian jiwa sesorang, yang pentasnya dicari orang,” katanya.
Sedangkan penyanyi besar dengan unsur folklore yang lain adalah nama Leo Kristi, “Leo kalau menyanyi semangatnya dari ujung kaki hingga ujung rambut. Sayangnya, membawa ke atas panggung seorang Leo Kristi susah sekali”. Dan sebagaimana konser terkini di tahun 2015, juga konser Jabo di tahun 2006, pada konsernya di tahun 2014 Jabo juga masih perkasa sekaligus lembah manah.
MUNDUR kebelakang lagi pada Desember 2005, Jabo saat itu bersaksi dengan para sabatnya, teristimewa mendiang WS Rendra. Simaklahlah aksinya:
//Aku mendengar suara/ Jerit makhluk terluka, luka, luka, hidupnya/ Orang memanah rembulan/ Burung sirna sarangnya, sirna, sirna, hidupnya/ Orang-orang harus dibangunkan/ Aku bernyanyi, menjadi saksi.//
Tembang ”Kesaksian” yang dinyanyikan Aning Katamsi dan Trie Utami dengan iringan Jockie Soeryoprayogo (organ), Sawung Jabo (gitar akustik), Totok Tewel (gitar), Doddy Katamsi (bas), dan Inisisri (drum), menutup perayaan ulang tahun WS Rendra.
Lebih dari seribu orang yang memenuhi arena Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, turut menyanyikan lagu karya pimpinan Bengkel Teater itu. Penyair, budayawan, sastrawan, dan aktor kelahiran 7 November 1935 di Jayengan, Solo itu pun hanya tersenyum haru disamping kawan dekatnya, Adnan Buyung Nasution dan Panda Nababan.
Rampung sudah rangkaian perayaan ulang tahun ke-70 Rendra yang dilangsungkan 27 – 29 November 2005. Puncak acara bertema ”Menimbang Gerakan Kebudayaan Rendra” diawali dengan pemutaran film dokumenter perjalanan hidup dan karier Rendra. Film produksi Yayasan Lontar sepanjang 33 menit ini mengisahkan nukilan sepak terjang Si Burung Merak.
Setelah pemutaran film dokumenter, secara bergilir kawan-kawan dekat Rendra membacakan sajak-sajak buah karyanya. Diawali tampilan Panda Nababan yang membacakan sajak ”Aku Tulis Pamflet” ini, Ratna Riantiarno (Surat Kepada Bunda Tentang Calon Menantunya), Renny Djayusman (Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta), Wowok Hesti Prabowo (Orang-Orang Miskin), Haris Kertorahardjo (Kangen) dan Jajang C Noer (Perempuan yang Tergusur).
Setelah itu tampillah para personil Kantata Takwa, minus Setiawan Djodi dan Iwan Fals. ”Ini adalah Kantata Takwa minus Iwan dan Djodi. Selamat ulang tahun mas…” kata Sawung Jabo memberi salam dam selamat ulang tahun kepada guru dan kawannya itu.
Selanjutnya, tembang-tembang yang berangkat dari syair-syair Rendra seperti ”Sogokan”, ”Paman Doblang”, ”Sajak Pertemuan Mahasiswa”, ”Rajawali” dan ”Kesaksian” menyulap suasana tak ubahnya konser akbar dadakan yang membuat semua yang hadir memberikan tepuk soraknya.
Dan di atas panggung, di antara koor tembang ”Kesaksian” yang masih mengalun, disamping Adi Kurdi yang menuntun keseluruhan acara, Rendra dengan haru berujar, ”Terima kasih atas kedermawanan saudara-saudara yang hadir disini. Semoga anugerah usia ini semakin membuat saya berserah pada Yang Widi, Tuhan Yang Maha Esa”.
Willibrodus Surendra Broto yang kemudian dikenal dengan nama WS Rendra pernah kuliah di Jurusan Sastra Barat Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, namun tidak sampai tamat. Dia kemudian memperdalam ilmunya di American Academy of Dramatical Arts, AS (1964-1967). Kembali ke Tanah Air, Rendra membentuk Bengkel Teater di Yogyakarta.
Sebelumnya pada 1964, suami Ken Zuraida ini mengikuti seminar internasional di Harvard, AS. Dan pada 1971 dan 1979 mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda. Sajak-sajaknya pernah dibacakan di sejumlah kota besar dunia seperti di Amsterdam, Berlin, Koln, Hamburg, Melbourne, Sidney, New York, Moskow dan Leiden.
Karya drama WS Rendra berjudul Orang-Orang di Tikungan Jalan meraih Hadiah Pertama Sayembara Drama Bagian Kesenian Kementrian P dan K, Yogyakarta, tahun 1954. Pada tahun yang sama ia pergi ke Moskow, Rusia. Tahun 1956 cerpennya mendapat hadiah dari majalah Kisah. Tahun 1957 mendapat Hadiah Sastra Nasional BMKN untuk kumpulan sajak Ballada Orang-Orang Tercinta (1957).
Sastrawan ini juga meraih berbagai penghargaan antara lain Hadiah Sastra Horison (1968), hadiah Pertama dari Yayasan Buku Utama Departemen P dan K untuk bukunya ”Tentang Bermain Drama” (1976), Anugerah Seni dari Pemerintah RI atas karya ”Drama Mini Kata” (1970), Hadiah Akademi Jakarta (1974). Rendra juga pernah mendapatkan Habibie Awards untuk perannya dalam dunia sastra dan budaya.
Sedangkan karya-karya monumentalnya antara lain ”Empat Kumpulan Sajak” (1961, 1978), ”Ia Sudah Berpulang” (1963), ”Blues untuk Bonnie” (1971), ”Sajak-Sajak Sepatu Tua” (1972), ”Potret Pembangunan dalam Puisi” (1980). Kumpukan sajaknya terdiri atas ”Orang-orang dari Rangkasbitung”, ”Mencari Bapa”, ”Penabur Benih”.
Sajak-sajaknya telah dialihbahasakan ke berbagai bahasa, antara lain Ingris, Belanda, Prancis, Jepang, dan Rusia. Rendra juga menerjemahkan drama-drama monumental ke dalam bahasa Indonesia, seperti Sophokles Oedipus Sang Raja (1976), Oedipus di Kolonus (1976), dan Antigone (1976). Selain itu juga melahirkan karya saduran; Perampok, dan Kereta Kencana.
KEMBALI melompat pada September 2013. Jabo kala itu hadir bersama Swami. Sebagai sebuah grup, Swami dicatat sejarah kenyang dari upaya cegah tangkal atau cekal yang dilakukan pemerintah Orde Baru. Lantaran lirik lagunya acap menyindir bahkan menghujat segala bentuk kebobrokan pemerintah kala itu.
Berkali-kali pementasannya tak mendapatkan izin. Itulah grup Swami. Sepertinya cara represif itu tidak berlaku dalam sejumlah pertunjukan grup musik Swawi, yang diinisiasi oleh Iwan Fals, Sawung Jabo, Naniel, Nanoe, dan Innisisri. Via super single seperti “Bento” dan “Bongkar” mereka berteriak- teriak di lapangan terbuka, yang umumnya lapangan sepak bola yang disulap menjadi panggung pertunjukan, alias panggung perlawanan. Santunitas menjadi nisbi dalam terma perlawanan grup Swami.
Demikian halnya dengan Kantata Takwa yang diperkuat Iwan Fals, Sawung Jabo, Jockie Surjoprajogo, Setiawan Djody dan mendiang penyair dan sastrawan WS Rendra. Yang judul lagunya seperti Kantata Takwa, Kesaksian, Paman Doblang, dan Air Mata seolah menjadi lagu wajib perlawanan. Konser mereka di tahun 1990 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, dan diulang di Parkir Timur, Senayan pada 1998 dan 2003 juga dibanjiri massanya.
Para dedengkot perlawanan itu, dibantu sejumlah musisi seperti Toto Tewel, Innisisri, Mates, Eddy Kemput, Hendy, dan Doddy Katamsi, plus marching band dan beberapa grup reog Ponorogo menyajikan pertunjukan sekaligus perlawanan yang berbeda. Pada konser mereka versi tahun 2003, seluruh tembang diambil dari tiga album mereka, yakni Kantata Takwa (1990), Kantata Samsara (1997) dan Kantata Revolvere (1999).
Tidak sebagaimana pergelaran Guruh, dalam konser Kantata Takwa, kerusuhan sepertinya gemar mengintip dan menawarkan aroma kerusuhan. Buktinya, dalam konser bertajuk “Kesaksian 2003 Kantata Takwa” tiga orang pingsan karena berhimpit-himpitan. Semangat dan stamina tidak akur dalam perlawanan model Kantata Takwa.
Bahkan penonton yang tidak mendapatkan tempat, boleh melakukan apa pun untuk memaksakan kehendaknya memasuki arena konser. Hasilnya, tipikal konser Swami, Kantata Takwa dan konser di tempat terbuka lainnya, para musisi di atas panggung harus menyeru-nyeru menentramkan suasana. Perlawanan dan kerusuhan berjarak sebenang di tangan Kantata Takwa.
Tapi kerusuhan itu tidak terjadi ketika Konser Kantata Barock kembali di gelar di dalam stadion GBK pada 2011. Minus mendiang WS Rendra dan drummer Inisisri serta keyboardist sekaligus pencipta lagu Yockie Suryoprayogo yang ngambek dan berseberangan ide dengan konser Kantata Barock, Iwan Fals, Sawung Jabo dan Setiawan Djody masih cukup mampu menyajikan sejumlah lagu perlawanan. Seperti “Balada Pengangguran”.
Bahkan dalam catatan Suara Merdeka, dalam Konser Kantata Barock, Iwan Fals yang bertukar dialog dengan Djody, juga Sawung Jabo, tanpa sungkan-sungkan mengolokngolok pelaku penyelenggara pemerintah. Yang gemar meminggirkan kejujuran, dan menjunjung ’kegoblokan’, sebelum mengalirkan lagu berjudul Partai Bonek.
Iwan dengan enteng bahkan berseru- seru dari atas panggung besar yang bermandikan cahaya dengan tata suara yang mega, sembari membacakan semacam pamflet perlawanan, yang isinya mengkritisi perangai penyelenggara negeri, ’’Yang bertingkah layaknya keco-ak,’’ katanya. Dalam sesi lagu ini, iringan latar belakang aransemen lagu yang sayupsayup terdengar seperti refrain lagu, “Genjer-genjer”, yang pernah menjadi momok orde baru.
Apalagi, pada sesi itu, sejumlah penari dengan berbagai atribut wong cilik dan petani dihadirkan ke atas panggung. Setelah itu, meluncurkan single Megalomania, Badut, dan Mata Dewa. Di tangan Kantata Takwa, juga Jabo, perlawanan adalah pekikan via nyanyian, yang ketajamannya diwakilkan oleh lirik yang menghunjam. (Benny Benke)
tulisan ini pernah dimuat di laman: http://berita.suaramerdeka.com/blogjurnalis/terus-bergerak/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H