Lalu di mana posisi Sawung Jabo jika disejajarkan dengan nama Iwan Fals, dan Leo Kristi? Menurut Edi Haryono, Iwan Fals mempunyai kelebihan pada suaranya, dengan disiplin vokal yang bagus, “Bahkan Rendra memuji, karena artikulasinya jelas, dengan daya ucap yang bagus sekali. Daya ucap ini yang menarik semua kalangan dengan kandungan lirik yang intelektual,” ujarnya.
Tetapi Iwan Fals, imbuh dia, tidak punya folklore atau naluri masyarakat atau tradisi. Dalam kehidupan ini, imbuhnya, dibutuhkan folklore.
Dan Jabo mempunyai kekuatan folklore yang kuat. Selain itu, Jabo tidak sekedar indah, tapi ada aura kehadiran dan keterwakilan penonton ketika dia berada di atas panggung. Sehingga membuat orang sampai menitikkan air mata ketika menekuni pertunjukannya. “Yang paling luar biasa dari Jabo adalah beat-nya luar biasa. (Padahal) untuk dapat beat susah sekali. Jabo adalah penyuguh pertunjukan yang meremajakan bagaian jiwa sesorang, yang pentasnya dicari orang,” katanya.
Sedangkan penyanyi besar dengan unsur folklore yang lain adalah nama Leo Kristi, “Leo kalau menyanyi semangatnya dari ujung kaki hingga ujung rambut. Sayangnya, membawa ke atas panggung seorang Leo Kristi susah sekali”. Dan sebagaimana konser terkini di tahun 2015, juga konser Jabo di tahun 2006, pada konsernya di tahun 2014 Jabo juga masih perkasa sekaligus lembah manah.
MUNDUR kebelakang lagi pada Desember 2005, Jabo saat itu bersaksi dengan para sabatnya, teristimewa mendiang WS Rendra. Simaklahlah aksinya:
//Aku mendengar suara/ Jerit makhluk terluka, luka, luka, hidupnya/ Orang memanah rembulan/ Burung sirna sarangnya, sirna, sirna, hidupnya/ Orang-orang harus dibangunkan/ Aku bernyanyi, menjadi saksi.//
Tembang ”Kesaksian” yang dinyanyikan Aning Katamsi dan Trie Utami dengan iringan Jockie Soeryoprayogo (organ), Sawung Jabo (gitar akustik), Totok Tewel (gitar), Doddy Katamsi (bas), dan Inisisri (drum), menutup perayaan ulang tahun WS Rendra.
Lebih dari seribu orang yang memenuhi arena Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, turut menyanyikan lagu karya pimpinan Bengkel Teater itu. Penyair, budayawan, sastrawan, dan aktor kelahiran 7 November 1935 di Jayengan, Solo itu pun hanya tersenyum haru disamping kawan dekatnya, Adnan Buyung Nasution dan Panda Nababan.
Rampung sudah rangkaian perayaan ulang tahun ke-70 Rendra yang dilangsungkan 27 – 29 November 2005. Puncak acara bertema ”Menimbang Gerakan Kebudayaan Rendra” diawali dengan pemutaran film dokumenter perjalanan hidup dan karier Rendra. Film produksi Yayasan Lontar sepanjang 33 menit ini mengisahkan nukilan sepak terjang Si Burung Merak.
Setelah pemutaran film dokumenter, secara bergilir kawan-kawan dekat Rendra membacakan sajak-sajak buah karyanya. Diawali tampilan Panda Nababan yang membacakan sajak ”Aku Tulis Pamflet” ini, Ratna Riantiarno (Surat Kepada Bunda Tentang Calon Menantunya), Renny Djayusman (Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta), Wowok Hesti Prabowo (Orang-Orang Miskin), Haris Kertorahardjo (Kangen) dan Jajang C Noer (Perempuan yang Tergusur).
Setelah itu tampillah para personil Kantata Takwa, minus Setiawan Djodi dan Iwan Fals. ”Ini adalah Kantata Takwa minus Iwan dan Djodi. Selamat ulang tahun mas…” kata Sawung Jabo memberi salam dam selamat ulang tahun kepada guru dan kawannya itu.