Para dedengkot perlawanan itu, dibantu sejumlah musisi seperti Toto Tewel, Innisisri, Mates, Eddy Kemput, Hendy, dan Doddy Katamsi, plus marching band dan beberapa grup reog Ponorogo menyajikan pertunjukan sekaligus perlawanan yang berbeda. Pada konser mereka versi tahun 2003, seluruh tembang diambil dari tiga album mereka, yakni Kantata Takwa (1990), Kantata Samsara (1997) dan Kantata Revolvere (1999).
Tidak sebagaimana pergelaran Guruh, dalam konser Kantata Takwa, kerusuhan sepertinya gemar mengintip dan menawarkan aroma kerusuhan. Buktinya, dalam konser bertajuk “Kesaksian 2003 Kantata Takwa” tiga orang pingsan karena berhimpit-himpitan. Semangat dan stamina tidak akur dalam perlawanan model Kantata Takwa.
Bahkan penonton yang tidak mendapatkan tempat, boleh melakukan apa pun untuk memaksakan kehendaknya memasuki arena konser. Hasilnya, tipikal konser Swami, Kantata Takwa dan konser di tempat terbuka lainnya, para musisi di atas panggung harus menyeru-nyeru menentramkan suasana. Perlawanan dan kerusuhan berjarak sebenang di tangan Kantata Takwa.
Tapi kerusuhan itu tidak terjadi ketika Konser Kantata Barock kembali di gelar di dalam stadion GBK pada 2011. Minus mendiang WS Rendra dan drummer Inisisri serta keyboardist sekaligus pencipta lagu Yockie Suryoprayogo yang ngambek dan berseberangan ide dengan konser Kantata Barock, Iwan Fals, Sawung Jabo dan Setiawan Djody masih cukup mampu menyajikan sejumlah lagu perlawanan. Seperti “Balada Pengangguran”.
Bahkan dalam catatan Suara Merdeka, dalam Konser Kantata Barock, Iwan Fals yang bertukar dialog dengan Djody, juga Sawung Jabo, tanpa sungkan-sungkan mengolokngolok pelaku penyelenggara pemerintah. Yang gemar meminggirkan kejujuran, dan menjunjung ’kegoblokan’, sebelum mengalirkan lagu berjudul Partai Bonek.
Iwan dengan enteng bahkan berseru- seru dari atas panggung besar yang bermandikan cahaya dengan tata suara yang mega, sembari membacakan semacam pamflet perlawanan, yang isinya mengkritisi perangai penyelenggara negeri, ’’Yang bertingkah layaknya keco-ak,’’ katanya. Dalam sesi lagu ini, iringan latar belakang aransemen lagu yang sayupsayup terdengar seperti refrain lagu, “Genjer-genjer”, yang pernah menjadi momok orde baru.
Apalagi, pada sesi itu, sejumlah penari dengan berbagai atribut wong cilik dan petani dihadirkan ke atas panggung. Setelah itu, meluncurkan single Megalomania, Badut, dan Mata Dewa. Di tangan Kantata Takwa, juga Jabo, perlawanan adalah pekikan via nyanyian, yang ketajamannya diwakilkan oleh lirik yang menghunjam. (Benny Benke)
tulisan ini pernah dimuat di laman: http://berita.suaramerdeka.com/blogjurnalis/terus-bergerak/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H