"Kakek, lihat!" Tanganku menunjuk ke arah langit ada kerlip cahaya yang bergerak melesat ke suatu arah.
Kakek menghentikan langkahnya ia tertegun menatapku sayu terlihat tubuhnya sedikit gemetar.
"Kakek kenapa?"
Dia mengusap-usap rambutku dengan lembut, lalu mendekap dan mencium kepalaku sedikit lama. Berjuta tanda tanya di langit-langit pikiranku melihat sikap kakek.
Kejadian dua belas tahun lalu masih kuingat, bukan karena kerlip cahaya bintang beralih yang orang bilang fenomena alam, melainkan sikap kakek kepadaku setelah peristiwa itu.
Kakek selalu berkata kepadaku untuk selalu bersabar dan lapang dada. Entah apa yang sedang ia sembunyikan dariku.
"Hey! Minggir!" sedikit dorongan kurasakan pada bahuku, perasan aku sudah benar-benar menepi, tapi kenapa masih juga tersenggol sampai mangkuk bakso yang kupegang hampir tumpah.
"Halo Asfa, wih ... sudah di sini aja gak ajak-ajak."
Segerombolan remaja cowok menghambur masuk dalam kantin, aku cuma senyum-senyum, lalu mempercepat menghabiskan bakso agar segera bisa ngacir dan aman.
Suasana kelas riuh begitu bel istirahat usai. Aku melihat teman-teman yang masuk kelas ibarat ikan gatul yang bergerombol meluncur di selokan.
"Ah kamu lagi-kamu lagi, ngapain sih di situ!" teman perempuanku yang jutek mulai sengit padaku.
Kukemasi buku dan tasku lalu mencari bangku lain yang lebih ke belakang.
Hari ini aku sudah pamit pulang sedikit sore karena ada ekstrakurikuler. Aku sebenarnya ingin bisa menjaga diriku dengan mengikuti ekstra bela diri, tapi entah banyak pilihan yang membuatku bingung hingga kuputuskan untuk memilih, jurnalistik.
"Asfa, apa laporan beritamu hari ini?" Pembina ekskul menanyakan tugas yang harus aku serahkan.
Aku hanya nyengir saja, sebenarnya tidak tahu bagaimana menjadi seorang jurnalistik, bosan. Harusnya aku ikut pencak silat saja, cukup modal gerakan badan, gak mikir berat gini.
"Asfa!"
"Kantin, Mas."
"Mana tulisan tentang kantin?"
Kusodorkan selembar kertas dengan beberapa paragraf yang menarasikan suasana kantin saat istirahat tadi.
"Tidak buruk, tapi perlu diperbaiki supaya lebih renyah dibaca."
Gramatikalku memang sangat kacau, hanya punya ide tema yang menarik, kurang bisa menuangkan dalam kalimat yang apik.
"Asfa, kamu ditunggu Nurul nanti sepulang ekskul di depan, katanya penting." Seli berbisik manja di telingaku, aku balas dengan anggukan.
Usai ekskul aku segera mendekati Nurul yang sedang memainkan karet gelang di tangannya. "Ada perlu apa Rul? Ada yang bisa aku bantu?"
"Ada yang bilang padaku kamu ngata-ngatain aku."
"Ngatain gimana? Siapa yang bilang? Kapan?"
"Tidak perlu kusebut namanya, aku ingin kamu jujur, benar apa tidak, aku tidak ingin bertengkar."
"Ya, aku juga tidak tertarik untuk berselisih, itu buang-buang waktu saja. Mau kamu apa? Menanyakan itu saja? Tapi tidak mau memberitahu siapa yang bilang."
Aku gebrak bangku yang menahan pantatku dan pantatnya, dan telunjukku mulai mengarah ke langit. "Aku tidak mau bersumpah, tapi aku berkata dengan sebenar-benarnya, siapa yang memfitnahku akan tahu akibatnya."
"Ya sudah, aku cuma tanya, kalau enggak ya sudah, jangan marah."
Sial, sungguh sial, apa maksudnya coba, bikin kesal, aku hanya ingat nasihat kakek.
***
Yang aku tahu kala itu hari selalu cerah dan harus ceria. Mungkin kepekaanku minus atau Tuhan melindungiku, entahlah.
Masih kuingat ketika aku menerima hadiah dari temanku dan aku membalasnya memberi sesuatu tanpa ada embel-embel rasa. Hanya terbiasa dari kecil untuk membalas kebaikan orang lain. Tapi yang kudapat sebuah berita menyakitkan.
Aku cuma bisa bercerita pada kakek, tapi kakek malah tertawa lalu menghiburku.
"Kakek kan sudah bilang, kamu harus sabar dan lapang dada, karena itu akan berulang selama hayatmu."
"Apa?" nada suaraku sedikit meninggi, hingga kakek memberi kode dengan meletakkan telunjuk di bibirnya. "Nanti ibumu terbangun, biarkan dia menikmati mimpinya setelah seharian bekerja."
"Kek, kalau aku terus mengalami seperti itu bagaimana?"
"Kamu harus kuat, apa yang kamu harapkan memang akan berbanding terbalik. Semua harus kamu alami walau kamu mencoba untuk menghindar."
"Kakek sudah berusaha, tapi itulah garismu, keberuntungan yang selalu kamu nikmati akan beriringan dengan kemalangan yang akan menimpa. Tidak apa-apa, yang kuat saja."
Aku hanya mengerjapkan mata, malam bersama kakek di beranda menjadi sangat sunyi dan dingin. Kami terdiam lama dalam pikiran masing-masing. Suara katak dan jengkerik yang bersahutan seolah mengamini perkataan kakek.
"Buruk sekali ya Kek?" suaraku menyeruak sepinya malam, langit masih terlihat cerah dengan hiasan kerlip bintang nun jauh di sana. Kakek hanya diam dan bermain dengan asap rokok tembakau tingwenya (ngelinting dewe). Aku paling suka menciumi aroma tembakau sebelum dilinting, bagai aroma terapi yang membuat kepalaku sedikit ringan setelah menghirup baunya.
"Hidup ini cuma lakon saja Asfa, yang kita butuhkan hanya selamat. Maka dari itu kakek menitipkan doa pada namamu, Asfaleisa."
Kuhabiskan malam bersama kakek yang menceritakan sejarah namaku, katanya diambil dari bahasa Yunani yang artinya selamat. Entah kakek tahu dari mana, padahal kami hanya orang desa. Mungkin dari sobekan koran, bekas bungkus cabe.
Ya, setidaknya aku masih selamat ketika ibu terjatuh dari boncengan bapak, saat akan memeriksakan kandungan ke bidan karena terserempet motor ugal-ugalan, yang menyebabkan aku tak mengenal wajah bapakku.
"Kek, boleh aku tahu arti bintang beralih atau jatuh yang kulihat saat kecil?"
Kakek memandangku lekat, matanya yang tua semakin terlihat kelam, lalu melanjutkan lagi menghisap rokok tembakaunya dalam-dalam. Kakek hanya berkata bahwa itu sudah garis hidupku.
"Kek, Â bukannya itu meteor jatuh?"
Kakek hanya menggeleng, aku semakin tidak mengerti, mencoba menghubungkan antara ilmu pengetahuan dengan metafisika, aku mingira itu hanya mitos belaka.
"Suatu saat kamu akan mengerti. Pesan kakek, sabar dan hati-hati. Akan banyak duri yang tidak kau sadari dalam perjalanan hidupmu nanti."
Kakek menghela napas dengan berat hingga sedikit terbatuk-batuk. "Dirimu tercipta sebagai doa. Yang kakek khawatirkan saat kamu kecewa dan luka."
Aku semakin bingung dan memilih untuk tenggelam dalam malam berselimut wejangan-wejangan kakek.
****
"Kamu akan menjadi orang yang selalu dicurigai, dibenci bahkan dicap buruk."
Kalimat kakek empat tahun lalu masih mengendap dalam pikiranku. Walau aku sudah hati-hati aku akan tetap selalu mengalami kesialan, meskipun mendapat keberuntungan, begitulah tanda yang sudah terbaca oleh kakek.
Dulu, kemarin dan kini kalimat kakek sudah terbukti. Hari ini aku mendapat bonus atas prestasi kerjaku dan di hari yang sama, seorang teman menuduhku sebagai penghianat. Uftth, kesal.
Manusia yang egois memang akan berprilaku seenak sendiri pada manusia lain. Ya, manusia memang bukan malaikat juga bukan setan, tapi kadang sifat baik cenderung kalah dengan sifat kurang baik.
Andai kakek masih ada di sini, tentu sudah kutumpahkan semua sampah yang ada di hati dan kepalaku. Tak mungkin aku berbagi sedih dengan ibu. Dia sudah lama memendam rasa kehilangan tanpa banyak kata dan bicara hingga saat ini, bahkan denganku.
"Asfa, dari tadi aku lihat kok bengong saja di atas motor, gak pulang?"
Aku sedikit terkejut, saat Hana menepuk pundakku. Gelengan lalu anggukan kepala dan senyum tipis sepertinya sudah cukup buatku untuk membalas sapanya. Â Segera kutancap gas dan melambaikan tangan pada Hana.
Melaju di jalan yang tak begitu ramai lalu lalang kendaraan membuat lamunan tentang kejadian demi kejadian menyeruak. Lalu gelap.
Sentuhan lembut dan aroma obat membuat mataku merasakan cahaya yang menyilaukan. Segera aku bangun dan menemukan raut wajah ibu dihiasi genangan air mata.
"Apa yang terjadi, Bu?"
"Motormu hancur."
Mataku terbelalak, dan segera memeriksa sekujur tubuhku, tidak ada yang sakit, lengkap, hanya luka-luka kecil.
Seorang perawat masuk ke ruangan dan menjelaskan panjang lebar pada ibu. Aku hanya berusaha mengingat kejadian sore itu.
Dalam penglihatanku saat melaju ada sebuah jalan yang menyimpang yang tidak pernah kulihat sebelumnya, tampak sejuk dan indah. Entah mengaba tiba-tiba motor kubelokkan mengikuti jalan itu hanya sekadar ingin tahu, lalu gelap.
"Asfa, ibu sangat bersyukur kamu selamat." Beribu kecemasan kutangkap di wajahnya, kasihan ibu bila terjadi cedera yang serius pada diriku. Aku mengangguk dan kami saling menggenggam untuk  menguatkan.
***
Bahu kiri masih terasa ngilu, mungkin benturan keras yang kualami tempo hari membuat gerakku sedikit lamban dalam bekerja. Butuh waktu untuk benar-benar sembuh total.
"Asfa, kamu ternyata punya nyawa ganda ya, wah keren."
"Mau pinjam Van? Biar kalau kamu lagi ikut balap sepeda jadi aman, hehehe."
Deesh!Â
"Aow! Edan kamu, sakit tahu! Malah ditonjok."
"Hahaha mana ada ceritanya wonder women sakit, gombal."
"Awas kamu, kubalas suatu saat."
"Oke, aku tunggu balasanmu!" Â Ivan berteriak sambil ngeloyor pergi ke ruangannya, sampai semua mata memandang ke arahku, aku cuma bisa cengar cengir saja.
Aku ingin punya banyak teman, manusiawi, tapi aku mulai malas bila merasa ada yang enggan denganku, aku lebih suka menarik diri, agar semua aman dan baik-baik saja.
Terserah dan masa bodo dengan penilaian orang atau seorang psikolog pun tentang sikap dan sifatku. Toh di alam kubur tidak ditanyakan jumlah temanku. Mangkanya aku lebih sering terlihat sendirian daripada bergerombol dengan teman kerja. Yang penting bagaimana aku bisa menciptakan pelangi di hatiku dan aroma  nyaman dalam menjalani waktu bersama ibu.
Aroma masakan lezat ibu sudah tercium sampai teras rumah, ibu sudah datang lebih awal, biasanya kami hampir bersamaan atau aku yang lebih dulu sampai rumah. Motor kukandangkan dan ingin segera melihat apa yang dimasak ibu.
"Aku pulang, wah ibu masak apa nih, aromanya membuat cacing di perutku jingkrak-jingkrak."
"Cuma masakan instan Korea, sesekali ibu pingin tahu rasanya."
"Owh. Sambil lihat drakor lawas yang daebak ya, hehehe."
Saat menikmati sore dengan ibu, terdengar ada suara memanggil namaku. Kuintip dari balik kelambu jendela ruang tamu, seorang wanita. Segera aku buka dan mempersilakan duduk. Kami berbicara sedikit lama dan sangat serius, hampir amarahku meledak bila tidak ingat nasihat kakek.
"Mbak bisa mengatakan itu pada saya, apa ada buktinya?"
"Saya tidak perlu menunjukkan bukti, saya ke sini untuk mengingatkan Anda, agar tidak kepo dengan rumah tangga orang."
Rasanya bunga janda bolong yang menghiasi teras rumah ingin kukunyah saja, secara sepihak aku disalahkan atas tuduhan yang tidak kulakukan.
"Bisa kan, mbak?" perempuan itu makin nyebelin aku heran siapa yang menjadi profokatornya.
"Begini ya, Mbak. Saya hanya pegawai biasa di perusahaan itu yang tidak mau tahu dan tidak kepo dengan kehidupan teman-teman saya, tapi bukan berarti saya tidak peduli. Kalau ada yang membutuhkan bantuan saya, pasti akan saya usakan semampunya.. Jadi kalau tempo hari saya menolong suami Mbaknya bukan berarti Mbak seenaknya menyebut saya pelakor."
Dari pada pembicaraan makin tidak penting maka, aku usir tamu itu secara halus dengan alasan aku kebelet ke belakang dan butuh waktu lama serta konsentrasi penuh.
***
Gawai ditanganku hanya aku buat mainan saja gulir atas gulir bawah, tidak tahu apa yang kulihat. Kucing kesayangan ibu sudah pulas dari tadi di sebelahku, mungkin hanya pura-pura merem, kulihat telinganya masih bergerak-gerak.
Bintang jatuh sudah tidak kutemui lagi sampai sekarang, mungkin saja bila malam ini terjadi aku bisa berteriak  terima kasih atas berlapis-lapis luka hati yang kualami.
Aku hanya bisa geram dan tersenyum kecut, rasa takterima dalam dada makin menyesak, mungkin aku takbisa membalas sakit hati ini, tapi aku mohon pada penguasa bumi untuk mengadili.
"Asfa, sudah malam, ayo masuk, besok kamu kan kerja."
"Sebentar lagi, Bu. Asfa ingin menikmati malam di teras seperti dulu waktu bersama kakek."
"Jadi dulu kamu tidurnya selalu malam hanya untuk menemani kakek?"
"Iya, kami membicarakan banyak kisah, banyak nasihat kakek. Kakek tempat Asfa bercerita."
Sekarang masalah silih berganti, takada tempatku menuangkan sampah. Aku hanya bisa berkata benar semua perkataan kakek saat itu, setelah aku melihat bintang jatuh. Ternyata melihat bintang jatuh tidak seperti cerita dongeng yang selalu mendapat keberuntungan.
"Ehem." Deheman ibu adalah kode agar aku menghentikan lamunanku.
"Ada masalah?" Pertanyaan ibu seperti pernyataan bagiku
"Kecil, masih bisa diatasi."
"Syukur kalau begitu. Tapi sebaiknya walau kecil jangan disimpan, dia akan menjadi bom waktu suatu ketika."
Malam itu pertama kali aku bersama ibu bertukar cerita, kerinduanku bersama kakek sedikit terobati.
"Asfa, kamu harus berhati-hati saat kecewa dan luka. Karena pengaduanmu pada langit akan menjadi bencana pada orang yang menyakitimu."
Bunyi panggilan telepon gawaiku memotong pembicaraan ibu, segera kuangkat tanpa melihat penelponnya.
"Halo."
"Asfa, teman kita berduka. Malam ini Hana kehilangan suami dan anaknya."
*End*
Sore, 22102021
Cerita ini hanya khayalan semata, bila ada kesamaan nama saya mohon ampun
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H