Aku ingin punya banyak teman, manusiawi, tapi aku mulai malas bila merasa ada yang enggan denganku, aku lebih suka menarik diri, agar semua aman dan baik-baik saja.
Terserah dan masa bodo dengan penilaian orang atau seorang psikolog pun tentang sikap dan sifatku. Toh di alam kubur tidak ditanyakan jumlah temanku. Mangkanya aku lebih sering terlihat sendirian daripada bergerombol dengan teman kerja. Yang penting bagaimana aku bisa menciptakan pelangi di hatiku dan aroma  nyaman dalam menjalani waktu bersama ibu.
Aroma masakan lezat ibu sudah tercium sampai teras rumah, ibu sudah datang lebih awal, biasanya kami hampir bersamaan atau aku yang lebih dulu sampai rumah. Motor kukandangkan dan ingin segera melihat apa yang dimasak ibu.
"Aku pulang, wah ibu masak apa nih, aromanya membuat cacing di perutku jingkrak-jingkrak."
"Cuma masakan instan Korea, sesekali ibu pingin tahu rasanya."
"Owh. Sambil lihat drakor lawas yang daebak ya, hehehe."
Saat menikmati sore dengan ibu, terdengar ada suara memanggil namaku. Kuintip dari balik kelambu jendela ruang tamu, seorang wanita. Segera aku buka dan mempersilakan duduk. Kami berbicara sedikit lama dan sangat serius, hampir amarahku meledak bila tidak ingat nasihat kakek.
"Mbak bisa mengatakan itu pada saya, apa ada buktinya?"
"Saya tidak perlu menunjukkan bukti, saya ke sini untuk mengingatkan Anda, agar tidak kepo dengan rumah tangga orang."
Rasanya bunga janda bolong yang menghiasi teras rumah ingin kukunyah saja, secara sepihak aku disalahkan atas tuduhan yang tidak kulakukan.
"Bisa kan, mbak?" perempuan itu makin nyebelin aku heran siapa yang menjadi profokatornya.