Dulu, kemarin dan kini kalimat kakek sudah terbukti. Hari ini aku mendapat bonus atas prestasi kerjaku dan di hari yang sama, seorang teman menuduhku sebagai penghianat. Uftth, kesal.
Manusia yang egois memang akan berprilaku seenak sendiri pada manusia lain. Ya, manusia memang bukan malaikat juga bukan setan, tapi kadang sifat baik cenderung kalah dengan sifat kurang baik.
Andai kakek masih ada di sini, tentu sudah kutumpahkan semua sampah yang ada di hati dan kepalaku. Tak mungkin aku berbagi sedih dengan ibu. Dia sudah lama memendam rasa kehilangan tanpa banyak kata dan bicara hingga saat ini, bahkan denganku.
"Asfa, dari tadi aku lihat kok bengong saja di atas motor, gak pulang?"
Aku sedikit terkejut, saat Hana menepuk pundakku. Gelengan lalu anggukan kepala dan senyum tipis sepertinya sudah cukup buatku untuk membalas sapanya. Â Segera kutancap gas dan melambaikan tangan pada Hana.
Melaju di jalan yang tak begitu ramai lalu lalang kendaraan membuat lamunan tentang kejadian demi kejadian menyeruak. Lalu gelap.
Sentuhan lembut dan aroma obat membuat mataku merasakan cahaya yang menyilaukan. Segera aku bangun dan menemukan raut wajah ibu dihiasi genangan air mata.
"Apa yang terjadi, Bu?"
"Motormu hancur."
Mataku terbelalak, dan segera memeriksa sekujur tubuhku, tidak ada yang sakit, lengkap, hanya luka-luka kecil.
Seorang perawat masuk ke ruangan dan menjelaskan panjang lebar pada ibu. Aku hanya berusaha mengingat kejadian sore itu.